Sudah Takdir?
Digundulinya hutan atau tidak, banjir bandang tetap saja terjadi. Hal itu merupakan takdir dari Allah. Benarkah pandangan demikian? Simak jawabnnya melalui konsultasi berikut!
Assalamu'alaikum Wr Wb.
Semoga Ustaz dan tim selalu mendapat keberkahan dari Allah, aamiin.
Bangsa Indonesia sedang berduka akibat musibah banjir bandang yang melanda berbagai daerah di Sumatera pada akhir November ini. Semoga para korban yang meninggal dunia mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Bagi yang selamat, semoga diberikan kekuatan dan kesabaran oleh Allah SWT. Aamiin.
Sebenarnya, ada sesuatu yang membuat saya bingung, Ustaz. Belum lama ini, seseorang mengatakan kepada saya bahwa semua musibah yang terjadi adalah kehendak Allah. Dalam konteks banjir bandang yang baru saja terjadi, kita tidak perlu menyalahkan siapa pun, karena menurut pandangan tersebut, kejadian itu sudah ditetapkan oleh Allah sejak zaman azali.
Menurut orang yang berpendapat demikian, kita tidak perlu menghujat, membenci, atau mencari kambing hitam atas penggundulan hutan. Apakah hutan digunduli atau tidak, banjir bandang tersebut tetap akan terjadi. Menyalahkan orang lain sebagai penyebab banjir bandang, menurut mereka, sama saja dengan menyalahkan Allah, karena tidak ada yang dapat menghalangi kehendak Allah SWT.
Jujur, Ustaz, saya yang awam ini merasa sangat bingung dan marah melihat pembalakan hutan secara besar-besaran. Namun, setelah mendengar pendapat tersebut, saya tidak dapat sepenuhnya menyalahkannya, karena menurut saya, ada logika di balik pandangan itu. Lalu, apakah benar jika kita hanya pasrah dan tidak menyalahkan siapa pun, atau dengan kata lain, membiarkan hutan menjadi gundul?
Mohon pencerahannya, agar saya tidak salah memahami. Terima kasih.
Wassalam.
Jawaban:
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita harus membahasnya secara runut dan semoga Anda sabar untuk mencermatinya.
Pertama, semua musibah, apapun bentuknya, termasuk banjir bandang, merupakan kehendak Allah SWT dan hal tersebut sudah ditetapkan jauh sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Untuk poin ini, pendapat yang mengatakan bahwa semua yang terjadi di alam ini merupakan kehendak Allah, adalah benar. Berikut firman Allah SWT:
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ.
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauḥ Maḥfūẓ) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (Q.S. Al-Hadid: 22).
Al-Syaikh Wahbah Az-Zuhail dalam At-Tafsir Al-Wajiz menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:
ما اصابكم ايها الناس من مصيبة فى الأرض كااجدب و نقص الثمار, و الأفة الزراعية, و غلاء السعر و غير ذلك, و فى أنفسكم كالمرض و الفقر و فقد الولد الا هو مكتوب فى للوح المحفوظ من قبل ان نخلق الانفس, ان اثبات ذلك فى كتاب الله امر سهل يسير على الله تعالى,[1]
“Tidaklah yang menimpa kalian wahai manusia berupa musibah di bumi seperti kegersangan, kurangnya buah-buahan, wabah penyakit tanaman, mahalnya harga dan lain-lain serta musibah yang menimpa diri kalian seperti sakit, kefakiran dan kehilangan anak itu kecuali telah ditulis di Lauhil Mahfudz sebelum kami menciptakan apapun. Bagi Allah SWT, menetapkan hal itu dalam kitabNya merupakan perkara yang mudah.”
Kedua, walapun Allah telah menetapkan segala sesuatu di Lauh Mahfuz, termasuk musibah banjir bandang, Allah bisa saja merubah keputusan tersebut, sebagaimana firman-Nya berikut ini:
يَمْحُوا۟ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ ٱلْكِتَٰبِ.
"Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat Ummul-Kitāb (Lauḥ Maḥfūẓ)." (Q.S. Ar-Ra’d: 39).
Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam tafsir jalalain menjelaskan:
(يَمْحُو اللَّه} مِنْهُ {مَا يَشَاء وَيُثْبِت} بِالتَّخْفِيفِ وَالتَّشْدِيد فِيهِ مَا يَشَاء مِنْ الْأَحْكَام وَغَيْرهَا {وَعِنْده أُمّ الْكِتَاب} أَصْله الَّذِي لَا يَتَغَيَّر مِنْهُ شَيْء وَهُوَ مَا كَتَبَهُ فِي الْأَزَل.[2]
“(Allah menghapuskan) daripada kitab itu (apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan) dapat dibaca dengan takhfif dan tasydid, yaitu yutsbitu atau yutsabbitu, artinya hukum-hukum dan masalah-masalah lainnya yang dikehendaki-Nya untuk dihapus atau ditetapkan (dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab) asal kitab yang tidak berubah sedikit pun daripadanya, yaitu apa yang Ia tulis di zaman azali.”
Ketiga, melalui ayat diatas, tentu manusia dipersilakan untuk meminta qadha’ (ketetapan Allah) yang baik dan melindungi kita dengan cara menghapus qadha yang buruk. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berdoa. Simak hadis berikut:
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ . (رواه الترمذى)
Dari Salman dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada yang dapat mencegah takdir kecuali doa dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali amal kebajikan." (HR. Tirmidzi)
Mengenai hadis ini, Al-Imam Al-Mubarakfuri berkomentar (Tuhfat Al-Ahwadzi):
لا يرد القضاء إلا الدعاء ) القضاء هو الأمر المقدر وتأويل الحديث أنه إن أراد بالقضاء ما يخافه العبد من نزول المكروه به ويتوقاه فإذا وفق للدعاء دفعه الله عنه فتسميته قضاء مجاز على حسب ما يعتقده المتوقى عنه ، يوضحه قوله صلى الله عليه وسلم في الرقى : هو من قدر الله .
وقد أمر بالتداوي والدعاء مع أن المقدور كائن على الناس وجودا وعدما ولما بلغ عمر الشام وقيل له إن بها طاعونا رجع ، فقال أبو عبيدة : أتفر من القضاء يا أمير المؤمنين ؟ فقال : لو غيرك قالها يا أبا عبيدة ! نعم نفر من قضاء الله إلى قضاء الله ، أو أراد برد القضاء إن كان المراد حقيقته تهوينه وتيسير الأمر حتى كأنه لم ينزل ، يؤيده ما أخرجهالترمذي من حديث ابن عمر إن الدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل ، وقيل : الدعاء كالترس والبلاء كالسهم والقضاء أمر مبهم مقدر في الأزل.[3]
“(Tidak ada yang dapat menolak takdir kecuali doa} Takdir adalah ketentuan yang telah ditentukan, dan makna hadis tersebut adalah bahwa jika yang dimaksud dengan takdir adalah hal yang ditakutkan oleh seseorang, seperti datangnya keburukan yang dihindari, maka jika ia berdoa, Allah akan menghindarkan hal tersebut darinya. Penyebutan takdir dalam konteks ini adalah secara kiasan, sesuai dengan yang diyakini oleh orang yang menghindari keburukan itu. Hal ini dijelaskan oleh sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadis tentang ruqyah: 'Itu adalah dari takdir Allah.'
Allah memerintahkan umat untuk berobat dan berdoa, meskipun segala sesuatu yang ditakdirkan sudah pasti terjadi, baik adanya maupun ketiadaannya. Ketika Umar bin Khattab tiba di Syam dan mendengar bahwa di sana sedang terjadi wabah penyakit (tha'un), beliau pun kembali. Lalu Abu Ubaidah bertanya, 'Apakah Anda lari dari takdir, wahai Amirul Mu'minin?' Umar menjawab, 'Seandainya orang lain yang mengucapkannya, wahai Abu Ubaidah! Ya, kami lari dari takdir Allah kepada takdir Allah.' Atau bisa jadi beliau ingin menunjukkan bahwa takdir yang kita inginkan bisa dirubah dengan doa, seolah-olah hal tersebut tidak terjadi, karena doa itu membantu dan mempermudah urusan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar: 'Doa itu bermanfaat, baik untuk hal yang telah terjadi maupun yang belum terjadi.' Ada pula yang berkata, 'Doa itu seperti perisai, dan cobaan itu seperti anak panah, sementara takdir adalah suatu ketentuan yang samar yang telah ditentukan sejak azali.'"
Keempat, selain berdoa, kita juga bisa berikhtiar secara nyata agar qadha buruk dirubah oleh Allah SWT. Simak ayat berikut:
وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ.
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. Al-A’raf: 56).
Ayat di atas adalah larangan sangat tegas tentang berbuat kerusakan di atas muka bumi. Contoh paling nyata misalnya penggundulan hutan secara masif. Jika hal ini dilanggar manusia, tentu saja banjir bandang bisa terjadi. Logika sehat mengatakan, jika hutan tetap terjaga kelestariannya, maka banjir tidak terjadi. Allah tentu menghargai dan mengapresiasi usaha kita untuk taat kepada-Nya, di antaranya adalah menaati perintah agar tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Tapi jika kerusakan terus dilakukan, maka qadha buruk tentu terjadi. Simak firman Allah:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Demikian dan semoga jawaban kami bisa membantu.
Wallahu A’lam.
Foto : Freepik
_________
[1] Wahbah Az-Zuhaili, At=Tafsir Al-Wajiz, Dar Al-Fikr, Damaskus, CetakanKedua, 1416 H/1996 M, Hal. 541.
[2] JalaluddinAs-Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain Al-Muyassar, Maktabah Nasyirun, Lebanon. Cetakan Pertama, 2003M. Hal. 254
[3] Muhammad Abdurahman Al-Mubarakfuri, Tuhfat Al-Ahwadzi Bi Syarh Jami’ At-Tirmidzi, Dar Al-Fikr, t.t. Juz 6, Hal. 347.