Minum Sisa Air dari Gelas Kiai
Yang menjadi pertanyaan saya, apakah ada tuntunan dari Nabi SAW terkait hal ini? Atau bagaimana pandangan Islam mengenai perbuatan tersebut?. Simak jawabannya melalui konsultasi berikut!

Assalamu'alaikum Wr Wb.
Semoga Ustaz dan tim selalu dalam keadaan sehat walafiat, aamiin.
Sering kali saya melihat sebagian masyarakat kita meminum air bekas sisa minum Kiai atau Ustaz setelah kajian. Hal ini biasanya terjadi setelah sang Kiai atau Ustaz meninggalkan tempat. Bahkan, tidak jarang pula terjadi perebutan antar jamaah untuk meminum air tersebut.
Yang menjadi pertanyaan saya, apakah ada tuntunan dari Nabi SAW terkait hal ini? Atau bagaimana pandangan Islam mengenai perbuatan tersebut?
Demikian pertanyaan saya, terima kasih atas pencerahannya.
Wassalam.
Jawaban:
Wa'alaikumussalam Wr Wb.
Memang benar, kebiasaan meminum air bekas Kiai atau Ustaz masih dilakukan oleh sebagian orang. Bahkan, kebiasaan ini masih ada di beberapa pondok pesantren di negeri kita hingga sekarang.
Sebenarnya, bukan hanya air sisa minum yang menjadi perhatian. Sisa makanan pun kadang menjadi rebutan para santri. Namun, kebiasaan ini tidak terjadi di semua pesantren, hanya di sebagian saja. Pada kenyataannya, kebiasaan ini kini sudah berkurang, kemungkinan besar karena perkembangan zaman.
Jika pertanyaannya adalah mengenai hal ini, maka ada beberapa poin penting yang perlu kita garis bawahi, yaitu:
- Para sahabat terbiasa melakukan tabaruk (mencari berkah) dari Nabi SAW semasa beliau hidup.
- Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa sebagian sahabat juga tetap bertabaruk setelah wafatnya Rasulullah, seperti dengan menjadikan jubah beliau sebagai usaha untuk menyembuhkan penyakit.
Nah, yang menjadi pertanyaan, apakah boleh bertabaruk kepada orang-orang saleh seperti para ulama, sebagaimana yang Anda tanyakan di atas.
Untuk tidak memperpanjang pembahasan, kami akan menyampaikan salah satu hadis Rasulullah SAW yang berkaitan dengan tabaruk. Karena hadis ini cukup panjang, kami akan menyajikan cuplikan singkat yang sesuai dengan inti bahasannya, yaitu:
أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ وَهُوَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ أَنْكَرْتُ بَصَرِي وَأَنَا أُصَلِّي لِقَوْمِي وَإِذَا كَانَتْ الْأَمْطَارُ سَالَ الْوَادِي الَّذِي بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ وَلَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ آتِيَ مَسْجِدَهُمْ فَأُصَلِّيَ لَهُمْ وَدِدْتُ أَنَّكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَأْتِي فَتُصَلِّي فِي مُصَلًّى فَأَتَّخِذَهُ مُصَلًّى قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَفْعَلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ قَالَ عِتْبَانُ فَغَدَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ حِينَ ارْتَفَعَ النَّهَارُ فَاسْتَأْذَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنْتُ لَهُ فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى دَخَلَ الْبَيْتَ ثُمَّ قَالَ أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ مِنْ بَيْتِكَ قَالَ فَأَشَرْتُ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنْ الْبَيْتِ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَبَّرَ فَقُمْنَا وَرَاءَهُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ. (رواه مسلم).
"Bahwa 'Utban bin Malik -seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang turut serta dalam perang badar, dari kaum Anshar- pernah menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata; "Wahai Rasulullah, aku tidak lagi percaya terhadap penglihatanku (pandangan sudah kabur) dan aku terbiasa salat mengimami kaumku, jika hujan turun, maka lembah yang berada antara aku dan mereka mengalir deras, sehingga aku tak bisa mendatangi masjid mereka dan salat mengimami mereka. Aku sangat berkeinginan sekiranya anda datang dan salat di musala kaumku, sehingga aku menjadikannya sebagai musala. Beliau bersabda: "Baiklah, saya akan datang insya Allah." Itban berkata; "Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berangkat bersama Abu Bakar As sidiq ketika hari agak siang. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta izin, setelah aku memberinya izin, beliau tidak duduk hingga masuk rumah, kemudian beliau bertanya: "Dimanakah engkau menginginkan supaya aku salat di rumahmu?" Maka aku tunjukan ke sudut rumah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun berdiri dan bertakbir, lalu kami berdiri di belakangnya dan beliau mendirikan salat dua rakaat, kemudian beliau mengucapkan salam." (HR. Muslim)."
Penekanan dari hadis di atas adalah bahwa Itban bin Malik RA meminta kepada Rasulullah SAW agar berkenan salat di rumahnya. Tempat yang digunakan oleh Rasulullah SAW untuk salat tersebut kemudian akan dijadikan oleh Itban bin Malik sebagai tempat salatnya setiap hari.
Mengenai hadis ini, Al-Imam An-Nawawi memberikan komentar sebagai berikut:
وفي حديث عتبان هذا فوائد كثيرة تقدمت في كتاب الإيمان ، منها : أنه يستحب لمن قال : سأفعل كذا أن يقول : إن شاء الله ؛ للآية والحديث ومنها : التبرك بالصالحين وآثارهم ، والصلاة في المواضع التي صلوا بها ، وطلب التبريك منهم[1] .
“Dalam hadis Itban ini terdapat banyak manfaat yang telah dibahas dalam kitab iman, di antaranya: disunahkan bagi seseorang yang mengatakan, "Saya akan melakukan ini atau itu," untuk menyebutkan "Insya Allah" (jika Allah menghendaki), sesuai dengan ayat dan hadis. Selain itu, terdapat juga anjuran untuk mencari berkah (tabaruk) dari orang-orang saleh dan jejak-jejak mereka, salat di tempat-tempat yang mereka salat di sana, serta memohon berkah dari mereka.”
Jadi, menurut Al-Imam An-Nawawi dibolehkan bertabaruk melalui orang-orang saleh seperti para ulama, kiai atau ustaz.
Dengan demikian, meminum air atau makan makanan sisa dari orang-orang saleh dengan maksud ngalap berkah adalah boleh.
Namun, yang perlu diperhatikan juga adalah aspek kesehatan. Misalnya, jika seorang kiai yang sedang tertimpa penyakit menular, maka tabaruk melalui sisa makanan atau minuman beliau tentu tidak diperkenankan.
Demikian dan semoga bermanfaat.
Foto : Freepik
Wallahu A’lam.
[1] An-Nawawi, Yahya Ibn Syaraf, Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, Muassasah Qurthubah, Cetakan Kedua, 1414 H/1994 M, Juz 5, Hal. 225.