Mencium Tangan Guru
Mencium tangan guru, orang tua dan orang kita muliakan itu bagus atau kultus? Simak bahasannya melalu konsultasi berikut!

Assalamu'alaikum Wr Wb.
Terima kasih kepada Tim Cordofa yang telah memberikan kepada saya kesempatan untuk berkonsultasi.
Sebetulnya saya ragu, apakah pertanyaan yang akan saya sampaikan ini pertanyaan yang layak ditanyakan atau tidak. Pertanyaan saya ini sebetulnya masalah keseharian yang sudah sangat umum dan hampir tidak ada yang mempermasalahkannya.
Bermula saat saya salat jamaah di sebuah masjid bersama kawan saya. Kami melakukan safar ke luar kota. Setelah selesai salat, kami melihat salah satu jamaah yang terlihat sangat teduh dan wajahnya memancarkan kewibawaan dan kemuliaan.
Tak lama kemudian, hampir seluruh jamaah bersalaman dan tentunya cium tangan kepada beliau. Saya bertanya kepada salah satu jamaah yang sudah bersalaman dengan beliau. “Maaf, Pak, itu siapa ya?,” tanya saya. “Oh, itu Kiai Salman, beliau adalah salah satu dari alim ulama yang sangat disegani di kampung kami,” jawabannya.
Mendengar jawaban dari jamaah tersebut, saya spontan mengajak kawan saya untuk turut bersalaman, namun kawan saya tidak mau dan terkesan tidak menyukai perbuatan saya. Semua itu sangat terlihat dari wajah dan gestur tubuhnya. Saya tidak memperdulikannya dan langsung menemui sang kiai lalu saya bersalaman dan mencium tangan beliau.
Setelah itu kami keluar masjid dan dengan agak jengkel, teman saya berkata: “Ngapain sih pake salaman, apalagi sampai bungkuk dan cium tangan segala. Yang begitu ga pernah dicontohin Nabi. Coba cari hadisnya, apakah pernah Nabi bersalaman dengan sahabat lalu Rasulullah cium tangan? Lagian kalo salaman pake cium tangan, itu termasuk kultus, ga boleh!”
Saya tentu heran dan kaget dengan komentar kawan saya tersebut. Dulu dia tidak seperti itu. Akhir-akhir ini saja sikapnya agak aneh dan selalu mengkritik amalan masyarakat yang sudah umum dilakukan.
Saya merespon dan menjawab: “Salaman dan cium tangan kiai, ustaz, guru atau orang yang kita muliakan itu sudah sangat biasa dilakukan dari dulu dan sekarang. Jika hal itu dilarang, mana mungkin para kiai kita mendiamkannya!”
“Biasa itu belum tentu benar, Banyak dilakukan oleh orang itu belum tentu benar. Agama butuh dalil, bukan kebiasaan dan patokannya adalah banyaknya orang yang melakukannya. Salaman cium tangan itu ga ada dalilnya, walaupun sama orang tua sekalipun, apalagi sama kiai!” jawabnya tambah angkuh.
Karena saya tidak suka berdebat, akhirnya saya tidak menimpali dan kami meneruskan perjalanan.
Pertanyaan saya, apakah mencium tangan orang yang kita hormati dan muliakan tidak boleh?
Demikian dan mohon maaf jika pertanyaan saya terkesan kurang pantas. Terima kasih atas pencerahannya.
Jawaban:
Wa'alaikumussalam wr wb.
Terima kasih atas pertanyaannya. Untuk kalangan awam seperti kita, sebetulnya tidak membutuhkan dalil teks (nash) dari Al-Qur’an maupun Hadis untuk mengetahui hukum suatu perbuatan yang sudah biasa dilakukan orang banyak dan tidak ada yang mengingkarinya. Apalagi, perbuatan tersebut juga dilakukan para alim ulama, seperti salaman dengan mencium tangan seseorang yang kita muliakan.
Baiklah, jika tujuannya adalah ilmu, kami sampaikan beberapa dalil mengenai mencium tangan para ulama, diantaranya:
Para Sahabat Mencium Tangan dan Kaki Rasulullah SAW.
حَدَّثَتْنِي أُمُّ أَبَانَ بِنْتُ الْوَازِعِ بْنِ زَارِعٍ عَنْ جِدِّهَا زَارِعٍ وَكَانَ فِي وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ قَالَ وَانْتَظَرَ الْمُنْذِرُ الْأَشَجُّ حَتَّى أَتَى عَيْبَتَهُ فَلَبِسَ ثَوْبَيْهِ ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ إِنَّ فِيكَ خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا أَتَخَلَّقُ بِهِمَا أَمْ اللَّهُ جَبَلَنِي عَلَيْهِمَا قَالَ بَلْ اللَّهُ جَبَلَكَ عَلَيْهِمَا قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَبَلَنِي عَلَى خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ
Telah menceritakan kepadaku Ummu Aban bintil Wazi' bin Zari'dari kakeknya Zari' saat itu ia sedang bersama rombongan utusan Abdul Qais, ia berkata: Ketika kami tiba di Madinah, kami saling berlomba memacu kendaraan kami, lalu kami mencium tangan dan kaki beliau." Ia (perawi) berkata: "Sedangkan Al Mundzir Al Asyaj masih menunggu hingga tempat pakaiannya tiba, lalu ia kenakan pakaiannya tersebut. Setelah itu ia datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau lantas bersabda kepada Al Mundzir: "Sesungguhnya engkau mempunyai dua tabiat yang disukai oleh Allah dan rasul-Nya: santun dan sabar." Al Mundzir bertanya: "Wahai Rasulullah, memang aku berakhlak demikian atau Allah yang memberikan itu kepadaku?" beliau menjawab: "Allah yang memberikan itu kepadamu." Al Mundzir berkata: "Segala puji milik Allah yang telah memberiku dua tabiat yang disukai oleh Allah dan rasul-Nya." (HR. Abu Daud).
Hadis ini jelas-jelas menunjukan bahwa Nabi tidak mengingkari perbuatan sahabat ketika mereka mencium tangan dan kaki Nabi SAW. Andai perbuatan para sahabat RA ini dianggap berlebihan dan “kultus” kepada seseorang, tentu Nabi melarang mereka berbuat demikian.
Al-Imam Syaraf Al-Haq Al-Azhim Abadi, penyusun kitab Aun Al-Ma’bud ‘Ala Syarh Sunan Abi Daud menegaskan bahwa hadis ini menjadi dalil bolehnya mencium kaki seseorang.[1]
Sahabat Mencium Tangan Sahabat
عَنْ تَمِيْمٍ بِنْ سَلَمَةَ قَالَ: "لَمَّا قَدِمَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الشَّامَ اسْتَقْبَلَهُ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، فَقَبَّلَ يَدَهُ، ثُمَّ خَلَوْا يَبْكِيَانِ". قَالَ: فَكَانَ يَقُولُ تَمِيمٌ: "تَقْبِيلُ الْيَدِ سُنَّةٌ". (رواه البيهقى).[2]
Dari Tamim Bin Salamah RA dia berkata: “Ketika Umar bin Khattab datang ke Syam (sekarang Suriah), ia disambut oleh Ubaidah bin Al-Jarrah. Al-Jarrah lalu mencium tangan Umar dan keduanya sama-sama menangis. Tamim berkata: Mencium tangan adalah sunah.” (HR. Al-Baihaqi).
Dari hadis ini juga diketahui bahwa para sahabat juga bersalaman dan mencium tangan. Periwayat hadis ini Tamim Bin Salamah mengatakan bahwa mencium tangan adalah sunah.
Fathimah RA Mencium Tangan Rasulullah
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ سَمْتًا وَهَدْيًا وَدَلًّا وَقَالَ الْحَسَنُ حَدِيثًا وَكَلَامًا وَلَمْ يَذْكُرْ الْحَسَنُ السَّمْتَ وَالْهَدْيَ وَالدَّلَّ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فَاطِمَةَ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهَا كَانَتْ إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ قَامَ إِلَيْهَا فَأَخَذَ بِيَدِهَا وَقَبَّلَهَا وَأَجْلَسَهَا فِي مَجْلِسِهِ وَكَانَ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ وَأَجْلَسَتْهُ فِي مَجْلِسِهَا (رواه ابو داود).
Dari Ummul Mukminin 'Aisyah radliyallahu 'anha ia berkata: "Aku tidak pernah melihat seseorang yang mirip dalam kesopanan, ketenangan, kesabaran dan dalam memberi petunjuk (Al Hasan menyebutkan: "dalam berbicara dan bertutur kata." namun Al Hasan tidak menyebutkan "kesabaran dan dalam memberi petunjuk.") dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam selain dari pada Fathimah -semoga Allah memuliakan wajahnya-. Jika Fathimah datang menemui beliau, maka beliau berdiri, meraih tangannya, mencium dan mendudukkannya di tempat duduknya. Dan jika beliau datang menemuinya, maka ia akan meraih tangan beliau, mencium dan mendudukkannya di tempat duduknya." (HR. Abu Daud).
Al-Imam Syaraf Al-Haq Al-Azhim Abadi, penyusun kitab Aun Al-Ma’bud ‘Ala Syarh Sunan Abi Daud mengomentari hadis ini bahwa bagian tubuh Rasulullah yang dicium Rasulullah SAW adalah tangan, berikut:[3]
(فقبلته) اى عضوا من اعضائه الشريفة و الظاهر انه اليد المنيفة.
Dia (Fathimah) mencium beliau, mencium anggota tubuh beliau yang mulia, dan zahir hadis adalah tangan beliau yang mulia”.
Dari hadis ini bisa dipahami bahwa seorang anak boleh mencium tangan orang tuanya.
Para ulama memaknai hadis-hadis di atas bahwa mencium tangan orang yang dimuliakan merupakan adab atau akhlak yang mulia.
Al-Imam An-Nawawi, seorang alim yang banyak menjadi rujukan lintas mazhab, mengomentari masalah mencium tangan seseorang sebagai berikut:
إذا أرادَ تقبيلَ يد غيرهِ، إن كان ذلك لزهدهِ وصلاحه، أو علمه، أو شرفه وصيانته، أو نحو ذلك من الأمور الدينية لم يُكره، بل يُستحبّ، وإن كان لغناهُ ودنياهُ وثروته وشوكته، ووجاهته عند أهل الدنيا، ونحو ذلك، فهو مكروهٌ شديدُ الكراهةِ. وقال أبو سعد المتولّي من أصحابنا: لا يجوزُ؛ فأشار إلى أنه حرامٌ.[4]
"Jika seseorang ingin mencium tangan orang lain, apabila itu dilakukan karena kesalehan dan kezuhudannya, atau ilmunya, atau kehormatannya atau karena hal-hal lain yang berkaitan dengan urusan agama, maka hal itu tidaklah dimakruhkan, bahkan disunahkan. Namun, jika hal itu dilakukan karena kekayaannya, keduniaan, kekuatan, ketenarannya di hadapan orang-orang yang mencintai dunia dan semacamnya, maka hal itu sangat dimakruhkan. Abu Saad al-Mutawalli, salah seorang dari kalangan kami, mengatakan bahwa hal itu tidak diperbolehkan yang tentu mengisyaratkan bahwa hal itu adalah haram.”
Dengan demikian, salaman dengan mencium tangan orang tua, atau orang yang kita muliakan seperti guru, orang yang lebih tua, kakak, paman, atau orang alim, orang saleh atau juga orang dermawan hukumnya sunah dan tentunya merupakan adab dan akhlak mulia.
Demikian dan semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam.
Foto : Freepik
-----------
[1] Syaraf Al-Haq Al-Azhim Abadi, Aun Al-Ma’bud ‘Ala Syarh Sunan Abi Daud, Dar Ibn Hazm, Beirut, Cetakan Pertama: 1426 H/2005 M, Hal. 2.368.
[2] Abu Bakar Ahmad Ibn Al-Husain Ibn Ali Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, Dar Al-Fikr, Tanpa Tahun, Juz 7, Hal. 101.
[3] Syaraf Al-Haq Al-Azhim Abadi, Aun Al-Ma’bud ‘Ala Syarh Sunan Abi Daud, Dar Ibn Hazm, Beirut, Cetakan Pertama: 1426 H/2005 M, Hal 2.366.
[4] Al-Imam Yahya Ibn Syaraf An-Nawawi, Al-Adzkar An-Nawawiyah, Percetakan Dr. Muhammad Fayyadh Al-Barudi & Dar Al-Mallah, 1.391 H/1971 M, Hal. 224