Larangan Menggunakan Wadah Dari Emas Dan Perak

Benarkah menggunakan wadah yang dilapisi emas dan perak dilarang dalam Islam? Simak penjelasanya melalui konsultasi berikut!

Da'i Ambassador

Assalamu'alaikum Wr Wb.

Maaf Ustaz, saya mengetahui bahwa kaum pria dilarang menggunakan perhiasan yang terbuat dari emas. Begitupun menggunakan sutera bagi laki-laki.

Nah, pada kesempatan kali ini saya ingin bertanya mengenai hukum menggunakan wadah seperti piring, mangkuk dan gelas yang terbuat atau dilapisi emas dan perak. Apakah menggunakannya haram? Apakah keharaman tersebut hanya bagi laki-laki saja? Atau wanita juga?

Jika berkenan, boleh disertakan hadisnya dan apa yang menjadi alasan keharamannya?

Demikian dan terima kasih?

Wassalam.

Jawaban:

Wa'alaikumussalam wr wb.

Larangan menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan perak haram hukumnya, baik bagi laki-laki dan perempuan. Beberapa hadis terkait, diantaranya:

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سَيْفُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ قَالَ سَمِعْتُ مُجَاهِدًا يَقُولُ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي لَيْلَى أَنَّهُمْ كَانُوا عِنْدَ حُذَيْفَةَ فَاسْتَسْقَى فَسَقَاهُ مَجُوسِيٌّ فَلَمَّا وَضَعَ الْقَدَحَ فِي يَدِهِ رَمَاهُ بِهِ وَقَالَ لَوْلَا أَنِّي نَهَيْتُهُ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ كَأَنَّهُ يَقُولُ لَمْ أَفْعَلْ هَذَا وَلَكِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَلْبَسُوا الْحَرِيرَ وَلَا الدِّيبَاجَ وَلَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَنَا فِي الْآخِرَةِ.

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim berkata; telah menceritakan kepada kami Saif bin Abu Sulaiman ia berkata; aku mendengar Mujahid berkata; telah menceritakan kepadaku 'Abdurrahman bin Abu Laila bahwasanya mereka sedang berada di sisi Hudzaifah, lalu ia (Hudzaifah) minta minum lantas seorang Majusi memberinya minum. Ketika Majusi tersebut meletakkan gelas pada tangannya, Hudzaifah langsung membuangnya seraya berkata; "Kalau bukan karena aku telah melarang sekali atau dua kali, " seakan ia mengatakan; 'Aku tidak akan melakukan ini (membuang gelas). Sungguh, aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Janganlah kalian memakai sutera atau Dibaj (kain bersulam sutera), jangan minum dari bejana emas dan perak, dan jangan makan di baskom mereka, sesungguhnya barang-barang itu adalah untuk mereka di dunia dan untuk kita di akhirat kelak.' (HR. Bukhari dan Muslim).

Begitu pula dengan hadis berikut:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَرِبَ فِي إِنَاءٍ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ فَإِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارًا مِنْ جَهَنَّمَ.

Dari Ummu Salamah dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang minum dari bejana yang terbuat dari emas dan perak, sebenarnya ia menuangkan neraka Jahanam ke dalam perutnya." (HR. Muslim).

Al-Imam An-Nawawi, salah seorang tokoh ulama mazhab Syafi’I mengomentari hadis kedua (komentar tidak kami kutip semua), sebagai berikut:[1]

فحصل مما ذكرناه أن الإجماع منعقد على تحريم استعمال إناء الذهب وإناء الفضة في الأكل والشرب والطهارة ، والأكل بملعقة من أحدهما ، والتجمر بمجمرة منهما ، والبول في الإناء منهما ، وجميع وجوه الاستعمال ، ومنها المكحلة ، والميل ، وظرف الغالية ، وغير ذلك ، سواء الإناء الصغير والكبير ، ويستوي في التحريم الرجل والمرأة بلا خلاف ، وإنما فرق بين الرجل والمرأة في التحلي لما يقصد منها من التزيين للزوج والسيد.

"Maka dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ijma' (kesepakatan) ulama telah menetapkan haramnya penggunaan wadah emas dan perak untuk makan, minum, dan berwudu, serta menggunakan sendok dari keduanya, menggunakan pembakaran dari keduanya, buang air kecil dalam wadah keduanya, dan semua bentuk penggunaan lainnya, termasuk penggunaan dalam alat alis, alat pengukur, tempat untuk parfum, dan lain-lain. Baik itu wadah kecil atau besar, larangan ini berlaku sama bagi pria dan wanita tanpa ada perbedaan pendapat. Yang dibedakan antara pria dan wanita adalah penggunaan perhiasan yang bertujuan untuk memperindah diri bagi suami dan tuannya.

‏قال أصحابنا ويحرم استعمال ماء الورد والأدهان من قارورة الذهب والفضة ، قالوا : فإن ابتلي بطعام في إناء ذهب أو فضة فليخرج الطعام إلى إناء آخر من غيرهما ، ويأكل منه ، فإن لم يكن إناء آخر فليجعله على رغيف إن أمكن ، وإن ابتلي بالدهن في قارورة فضة فليصبه في يده اليسرى ، ثم يصبه من اليسرى في اليمنى ، ويستعمله . قال أصحابنا : ويحرم تزيين الحوانيت والبيوت والمجالس بأواني الفضة والذهب هذا هو الصواب ، وجوزه بعض أصحابنا . قالوا : وهو غلط .

Para ulama kami berpendapat bahwa penggunaan air mawar dan minyak wangi dalam botol emas atau perak juga haram. Mereka mengatakan, jika seseorang terpaksa makan dengan wadah emas atau perak, hendaknya ia memindahkan makanan tersebut ke wadah lain yang bukan dari emas atau perak, lalu makan dari wadah tersebut. Jika tidak ada wadah lain, maka dapat diletakkan pada sepotong roti jika memungkinkan. Jika seseorang terpaksa menggunakan minyak dari botol perak, hendaknya ia menuangkan minyak tersebut ke tangan kiri terlebih dahulu, kemudian memindahkannya dari tangan kiri ke tangan kanan untuk digunakan. Para ulama kami juga berpendapat bahwa menghias toko, rumah, dan ruang tamu dengan wadah emas atau perak adalah haram. Ini adalah pendapat yang benar, meskipun beberapa ulama kami memperbolehkannya, namun mereka salah.

قال الشافعي والأصحاب : لو توضأ أو اغتسل من إناء ذهب أو فضة عصى بالفعل ، وصح وضوءه وغسله ، هذا مذهبنا ، وبه قال مالك وأبو حنيفة والعلماء كافة ، إلا داود فقال : لا يصح ، والصواب الصحة ، وكذا لو أكل منه أو شرب عصى بالفعل ، ولا يكون المأكول والمشروب حراما ، هذا كله في حال الاختيار ، وأما إذا اضطر إلى استعمال إناء فلم يجد إلا ذهبا أو فضة فله استعماله في حال الضرورة بلا خلاف ، صرح به أصحابنا ، قالوا : كما تباح الميتة في حال الضرورة . قال أصحابنا : ولو باع هذا الإناء صح بيعه ؛ لأنه عين طاهرة يمكن الانتفاع بها بأن تسبك . ‏‏وأما اتخاذ هذه الأواني من غير استعمال فللشافعي والأصحاب فيه خلاف ، والأصح تحريمه . والثاني كراهته ، فإن كرهناه استحق صانعه الأجرة ، ووجب على كاسره أرش النقص ، وإلا فلا ، وأما إناء الزجاج النفيس فلا يحرم بالإجماع ، وأما إناء الياقوت والزمرد والفيروزج ونحوها فالأصح عند أصحابنا جواز استعمالها ، ومنهم من حرمها ، والله أعلم.

Imam Syafi'i dan para ulama kami berpendapat: jika seseorang berwudu atau mandi menggunakan wadah emas atau perak, ia telah berdosa, tetapi wudunya atau mandinya sah. Ini adalah pendapat kami, dan ini juga yang dikatakan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan seluruh ulama, kecuali Daud yang berpendapat bahwa wudu atau mandi dari wadah tersebut tidak sah. Tetapi pendapat yang benar adalah bahwa wudu dan mandi tetap sah. Demikian pula, jika seseorang makan atau minum dari wadah emas atau perak, ia telah berdosa, namun makanan dan minumannya tidak haram. Semua ini berlaku dalam keadaan normal. 

Adapun jika seseorang terpaksa menggunakan wadah tersebut karena tidak ada pilihan lain selain emas atau perak, maka diperbolehkan dalam keadaan darurat tanpa ada perbedaan pendapat, sebagaimana diperbolehkannya makan bangkai dalam keadaan darurat.

Para ulama kami juga berpendapat bahwa jika seseorang menjual wadah emas atau perak, jual beli tersebut sah karena benda tersebut dianggap benda suci yang bisa dimanfaatkan kembali setelah dilebur.

Sedangkan untuk membuat wadah dari emas dan perak tanpa ada tujuan penggunaan, maka ada perbedaan pendapat antara Imam Syafi'i dan para ulama lainnya. Pendapat yang benar adalah bahwa membuatnya haram. Pendapat kedua adalah makruh. Jika kita menganggapnya makruh, maka pembuatnya berhak mendapatkan upah, dan yang memecahnya harus memberikan kompensasi atas kerusakannya, jika tidak, maka tidak perlu.

Adapun wadah dari kaca yang berharga tinggi, maka tidak haram menurut ijma' (kesepakatan). Adapun wadah dari yakut, zamrud, atau firoza dan sejenisnya, pendapat yang benar menurut para ulama kami adalah bahwa penggunaannya diperbolehkan, meskipun ada sebagian yang mengharamkannya. Wallahu A'lam."

Demikian penjelasan dari Imam Nawawi.

Adapun analisis keharaman menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan perak adalah israf (berlebihan) dan sikap kesombongan sebagaimana raja-raja kaum kafir yang terbiasa menggunakannya.

Semoga bermanfaat.

Wallahu A’lam.

Foto : Freepik


[1] Lihat Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, Al-Imam Al-Jalil Yahya Ibn Syaraf An-Nawawi, Muassasah Qurthubah, Cairo, Cetakan Pertama, 1412 H. Juz 14 Hal. 41-42.

Bagikan Konten Melalui :