Bersentuhan Dengan Saudara Kandung Lawan Jenis Yang Murtad
Apakah saudara kandung lain jenis menjadi pembatal wudhu jika bersentuhan tanpa penghalang? Simak konsultasi berikut!

Assalamu'alaikum Wr Wb.
Ada teman saya bertanya kepada saya mengenai pembatal wudu. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa bersentuhan kulit dengan lawan jenis tidak membatalkan wudu apabila statusnya adalah mahram. Lalu bagaimana hukumnya jika saudara kandung perempuan tersebut murtad? Apakah dengan murtadnya itu menjadi pembatal?
Spontan saya menjawab tidak tahu. Lalu dia berkeyakinan wudunya menjadi batal. Dia berargumen dengan ayat Al-Quran yang mengatakan bahwa orang musyrik adalah najis. Dengan ayat tersebut, ia berargumen bahwa substansi musyrik dengan murtad adalah sama, yaitu kafir.
Bagaimana jawabannya, Pak Ustaz? Terima kasih atas pencerahannya.
Jawaban:
Wa'alaikumussalam wr wb.
Sebelum menjawab pertanyaan kawan Anda secara spesifik, kita akan bahas dulu ayat yang dijadikan kawan Anda itu. Ayat yang dimaksud kawan Anda adalah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا۟ ٱلْمَسْجِدَ ٱلْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَٰذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦٓ إِن شَآءَ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ.
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa), karena itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin (karena orang kafir tidak datang), maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. (Q.S. At-Taubah: 28).
Bagaimana pemaknaan najis pada ayat tersebut? Apakah fisik orang kafir najis? Berikut kami kutip keterangan dari kitab At-Tafsir Al-Munir oleh As-Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, salah seorang pakar Tafsir dan Fiqih dari Syiria, sebagai berikut:
والمراد بالنجس: النجاسة المعنوية أي نجاسة الاعتقاد. ونقل الزمخشري عن ابن عباس رضي الله عنهما أن أعيان المشركين نجسة كالكلاب والخنازير، تمسكا بظاهر هذه الآية (١). ولكن جمهور الفقهاء اتفقوا على خلاف ذلك وعلى طهارة أبدانهم، فليس المشرك أو الكافر نجس البدن والذات؛ لأن الله تعالى أحل طعام أهل الكتاب.[1]
"Yang dimaksud dengan najis di sini adalah najis yang bersifat maknawi, yaitu najis karena keyakinan. Al-Zamakhsyari meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa orang musyrik itu najis secara fisik, seperti anjing dan babi, berdasarkan penafsiran harfiah dari ayat ini. Namun, mayoritas ulama berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa tubuh orang musyrik atau kafir tidak najis, karena Allah SWT menghalalkan makanan dari Ahli Kitab."
Dengan demikian, fisik orang kafir adalah suci menurut jumhur ulama. Penekanan pada ayat ini adalah larangan bagi orang musyrik untuk masuk Masjidil Haram dan kota Makkah menurut mazhab Syafi’i.
Lalu, menurut fiqih, apa saja pembatal wudu? Adakah sentuhan dengan kulit dengan lawan jenis yang murtad termasuk di dalamnya?
Berikut pembatal wudu menurut mazhab Syafi’i, kami kutip dari kitab At-Tahdzib, sebagai berikut:
وَالَّذِي يَنْقُضُ الوُضُوْءَ سِتَّةُ أَشْيَاءَ مَا خَرَجَ مِنَ السَّبِيْلَيْنِ وَالنَّوْمُ عَلَى غَيْرِ هَيْئَةِ المُتَمَكِّنِ وَزَوَالُ العَقْلِ بِسُكْرٍ أَوْ مَرَضٍ وَلَمْسُ الرَّجُلِ المَرْأَةَ الأَجْنَبِيَّةَ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ وَمَسُّ فَرْجِ الآدَمِيِّ بِبَاطِنِ الكَفِّ وَمَسُّ حَلْقَةِ دُبُرِهِ عَلَى الجَدِيْدِ.[2]
"Pembatal wudu ada enam perkara:
- Keluar sesuatu dari qubul (saluran untuk buang air kecil) atau dubur (saluran untuk buang air besar).
- Tidur berat dengan tidak meletakkan pantat di atas tanah.
- Hilang kesadaran karena mabuk atau sakit.
- Bersentuhan kulit tanpa ada penghalang antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya.
- Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan.
- Menyentuh lingkaran dubur manusia, berdasarkan pendapat baru (qaul jadid)."
Berdasarkan penafsiran Q.S. At-Taubah ayat 28 dan perkara pembatal wudu di atas, maka bersalaman dengan saudara kandung lawan jenis yang telah murtad tidaklah membatalkan wudu.
Demikian dan semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam.
Foto : Freepik
_______
[1] Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir Fi Al-Aqidah Wa As-Syari’ah Wa Al-Manhaj, Dar Al-Fikr, Damaskus, Cetakan ke-10, 1430 H/2009 M, Juz 5, Hal. 516.
[2] Mustafa Dib Al-Bugha, At-Tahdzib Fi Adillat Matn Al-Ghayat Wa At-Taqrib, Dar Ibn Katsir, Beirut, Cetakan ke-4, 1409 H/1989 M, Hal. 22.