Suatu malam, Mu‘adz bin Jabal mengimami salat Isya di kaumnya. Sebagai seorang yang hafal banyak ayat Al-Qur’an, Mu‘adz suka memanjangkan salatnya. Ketika ia sedang asyik dengan bacaannya, salah seorang sahabat Nabi Saw keluar dari barisan saf, lalu menyelesaikan salatnya sendiri secara cepat. Sahabat tersebut terlihat keletihan karena kerja berat seharian. Esok hari, kejadian tersebut sampai ke telinga Nabi Saw. maka beliau langsung mendatangi Mu‘adz. Nabi Saw menegurnya dengan keras,
أَفَتَّانُ أَنْتَ يَا مُعَاذ؟. (رواه البخارى ومسلم).
“Apakah engkau menjadi pengacau, wahai Mu‘adz?”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas dengan jelas mengilustrasikan bahwa tidak selamanya amal “baik” dan “benar” membuat tujuan dakwah berhasil. Ini dikarenakan dakwah mempunyai etika tertentu yang mesti dipenuhi. Terlihat bahwa Mu‘adz sedang mempunyai kedudukan sosial keagamaan yang tinggi di kaumnya, sehingga ia diperkenankan mengimami mereka dalam salat. Namun ketika ada satu orang Muslim saja yang terganggu dengan aktivitas keagamaan yang dilakukan Mu‘adz, maka Nabi Saw langsung menegurnya agar tidak menjadi “pengacau”. Padahal, semua orang sepakat –apalagi Nabi Saw- bahwa memanjangkan bacaan salat adalah amalan yang mulia.
Inilah dilema menjadi seorang bergerak di bidang dakwah. Terkadang disadari atau tidak, seorang pendakwah telah membuat resah sebagian jamaah yang selama ini menyintai mesjid. Ini disebabkan caranya dalam berdakwah tidak mengikuti metode Nabi Saw. Sebagai contoh, ada pendakwah yang sangat gemar menggunakan kata “bid‘ah”. Mungkin pendakwah tersebut bermaksud baik dalam menjauhkan umat dari perbuatan yang bid‘ah, tetapi para ulama pun belum sepakat dengan amalan yang disebut bid‘ah tersebut. Tidak jarang kegemaran itu membuat imam mesjid tersinggung, bilal enggan untuk azan, dan lebih hebat lagi ia akan mencapai “prestasi” dalam mengurangi jamaah salat. Semua itu dikarenakan tradisi Islam lokal yang mereka lakukan selama ini dianggap menyimpang alias bid‘ah oleh pendakwah.
Tidak jarang juga ada pendakwah –secara tidak disadari- telah membuat permusuhan dengan seorang tokoh atau kelompok lain. Ini terlihat dari beberapa mereka yang senang menyalah-nyalahkan tokoh dan kelompok lain yang dianggap tidak sesuai dengan mereka. Tentu saja cara seperti ini tidak dibenarkan dalam etika berdakwah, karena dakwah adalah sarana mempersatukan umat, bukan mengadu dan mengacaukan mereka.
Seandainya Nabi Saw hidup, sulit dibayangkan bagaimana hebat kemarahan beliau kepada pendakwah -pembuat ulah- tersebut dibandingkan dengan kemarahannya kepada Mu‘adz -yang hanya “berprestasi” mengurangi satu orang dari jamaah salat.
Adapun metoda dakwah yang lebih tepat, dapat ditemukan dalam hadis Mu‘adz yang lain. Ibn ‘Abbas mengisahkan bahwa ketika Mu‘adz diutus berdakwah ke Yaman, maka Nabi Saw memberikan nasehat yang berisi tahapan dalam berdakwah. Nabi Saw bersabda:
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ فَإِذَا فَعَلُوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ… (رواه مسلم).
“[Wahai Mu‘adz], sesungguhnya engkau akan mendatangi kelompok ahli kitab. Hendaklah perihal pertama yang engkau dakwahkan adalah seruan beribadah kepada Allah. Apabila mereka telah mengenal Allah, maka hendaklah engkau memberi tahu mereka bahwa Allah mewajibkan salat lima waktu sehari semalam. Apabila mereka menaatinya, maka hendaklah engkau memberi tahu mereka bahwa Allah mewajibkan zakat yang diambil dari orang kaya di antara mereka, lalu dibagikan kepada orang miskin di antara mereka…”. (HR. Muslim).
Prinsip dakwah dalam hadis tersebut dengan jelas menerangkan tentang tahapan dalam berdakwah. Dakwah pertama yang semestinya dilakukan adalah ajakan beribadah kepada Allah. Tidak ditemukan dalam berbagai redaksi hadis yang diriwayatkan dari Mu‘adz bahwa Nabi Saw memerintahkannya agar menyalahkan dan mengritisi tradisi ahli kitab ketika berdakwah. Inilah yang menjadi prinsip kesuksesan Mu‘adz dalam mengislamkan penduduk Yaman, terutama kelompok ahli kitab. Selain itu, sebagaimana diketahui bahwa ahli kitab sudah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan yang wajib disembah. Penyembahan kepada Allah sudah menjadi tradisi mereka turun-temurun dari nenek moyang. Dengan pengetahuan terhadap tradisi tersebutlah Mu‘adz mengajak mereka agar beramal dengan prinsip yang telah mereka sepakati, yaitu penyembahan kepada Allah.
Manhaj(konsep) inilah yang ditegaskan di dalam Al-Qur’an dengan ajakan dakwah sesuai ‘urf atau tradisi. Tentu saja, tradisi tersebut tidak bertentangan secara prinsip dengan ajaran yang telah disepakati dalam Islam. Di dalam al-Qur’an disebutkan:
وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ (سورة الأعراف:199).
“Ajaklah (mereka) dengan ‘urf” (QS. al A‘raf: 199).
Kata ‘urf berarti sesuatu yang diketahui oleh orang banyak sebagai perihal yang baik, sehingga menjadi tradisi dan adat. Berdasarkan ini, ungkapan amr ma‘ruf didahulukan dari nahi munkar yangdalam Al-Qur’an dapat diterjemahkan menjadi, “Mengajak dengan sesuatu yang telah dianggap baik orang masyarakat lebih diutamakan daripada melarang sesuatu dianggap buruk”.
Dengan metoda inilah para pendakwah terdahulu berhasil mengislamisasi Nusantara dengan keberhasilan yang luar biasa. Ini terlihat dari 9 tokoh ulama jawa atau wali songo yang berafiliasi dengan tradisi masyarakat, sehingga ajaran Islam bisa diterima di kalangan mereka.
Dengan demikian, kita perlu berlajar etika berdakwah dari kisah Mu‘adz bin Jabal untuk mencapai keberhasilan dalam berdakwah. Wallahu a‘lam.