Mohon maaf, Pak Ustaz, saya ingin mengetahui lebih jelas tentang perintah melihat hilal sebagai tanda bahwa bulan Ramadhan sudah masuk dan kita diwajibkan berpuasa. Mengenai perintah itu, saya pun sudah hafal hadis Rasulullah kurang lebih sebagai berikut :
Hadis yang saya singgung di atas menurut para ulama adalah hadis shahih.
Yang menjadi pertanyaan saya, apakah kelompok umat Islam yang tidak mau lagi melihat hilal bisa dikatakan meninggalkan atau menentang hadis yang jelas-jelas disepakati ke-shahih-annya oleh para ulama sedunia? Apakah meninggalkan hadis shahih atau menentangnya sudah bisa dianggap murtad?
Wassalam.
Wa’alaikumussalam wr. wb.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Hadis di atas sudah pasti shahih dan maknanya benar-benar jelas tanpa ragu bahwa Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat RA untuk melihat Hilal untuk menentukan awal puasa dan awal berhari raya. Tidak diragukan lagi!
- Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ilmu falak belum dikenal karena masyarakat Arab pada umumnya adalah “ummi”, tidak mampu membaca dan menulis. Jika tidak mampu membaca dan menulis, maka tidak mungkin mereka mampu melakukan perhitungan peredaran matahari dan bulan. Ilmu falak masyhur setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Karena belum mampu menggunakan ilmu falak saat itu, maka satu-satunya cara untuk menentukan awal bulan baru mau tidak mau harus melihat bulan dengan mata telanjang (ru’yatul hilal). Andaikan ilmu falak sudah masyhur dan dikuasai umat Islam, mungkin saja Rasulullh shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan melihat hilal, cukup dengan hisab saja.
- Jika memang posisi bulan sudah dapat diukur berdasarkan ilmu astronomi dan falak, maka ru’yah (melihat) bulan tidak perlu dilakukan. Bahkan dengan ilmu falak, kita sudah bisa menghitung awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah untuk 100 tahun bahkan 1000 tahun kedepan.
- Menggunakan metode ru’yah masih berpotensi adanya perdebatan dan adanya kemungkinan tidak tampak karena faktor cuaca. Menggunakan metode hisab tentu sudah ada kepastian, tidak perlu adanya perdebatan.
Untuk penafsiran kontekstual terhadap teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis memang sulit dihindari dan memang justru harus dilakukan dengan berbagai pertimbangan yang sangat ketat tentunya.
وَأَعِدُّوا۟ لَهُم مَّا ٱسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ ٱلْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
Rasulullah SAW menafsirkan kata “min quwwatin” (dengan kekuatan) dalam ayat tersebut dengan memanah. Tafsiran Rasulullah mengenai ayat tersebut adalah hadis. Bagaimana hadisnya. Shahihkah? Kita lihat hadis tersebut secara utuh sebagai berikut:
Dari Abu Ali Tsumamah bin Syufayi bahwa dia mendengar ‘Uqbah bin ‘Amir berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan ketika beliau di atas mimbar: ‘(Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi) ‘ (Qs. Al Anfaal: 60), ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah.” (HR. Muslim). Hadis semisal juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah. Darimi dan Ahmad.
Jika saat ini Tentara Nasional Indonesia (TNI) menggunakan mobil tank, pesawat tempura atau rudal dianggap menyelisihi hadis shahih tadi atau bahkan dianggap murtad? Ya enggak lah!
Demikian, semoga bermanfaat.
Tim Cordofa.