Kabar Terbaru

Tidak Usah Lagi Lihat Hilal?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Mohon maaf, Pak Ustaz, saya ingin mengetahui lebih jelas tentang perintah melihat hilal sebagai tanda bahwa bulan Ramadhan sudah masuk dan kita diwajibkan berpuasa. Mengenai perintah itu, saya pun sudah hafal hadis Rasulullah kurang lebih sebagai berikut :

“Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kaliat melihat kembali, maka berbukalah. Jika dia tertutup dari pandangan kalian (karena awan), maka berpuasalah sebanyak tiga puluh hari.”

Hadis yang saya singgung di atas menurut para ulama adalah hadis shahih.

Namun di zaman sekarang ini, ada sebagian umat Islam yang hanya mau menggunakan metode hisab saja dan tidak lagi menggunakan metode ru’yatul hilal sebagaimana hadis shahih di atas.

Yang menjadi pertanyaan saya, apakah kelompok umat Islam yang tidak mau lagi melihat hilal bisa dikatakan meninggalkan atau menentang hadis yang jelas-jelas disepakati ke-shahih-annya oleh para ulama sedunia? Apakah meninggalkan hadis shahih atau menentangnya sudah bisa dianggap murtad?

Demikian pertanyaan saya dan terima kasih.

Wassalam.

 

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Betul sekali, hadis yang anda maksud adalah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian telah melihat hilal, maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya kembali, maka berpuasalah. Namun, bila bulan itu tertutup dari pandangan kalian (karena awan), maka berpuasalah sebanyak tiga puluh hari.” (HR. Muslim). Hadis semisal juga diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud, An-Nasa’I, Ibn Majah, Malik, Darimi dan Ahmad.

Hadis di atas sudah pasti shahih dan maknanya benar-benar jelas tanpa ragu bahwa Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat RA untuk melihat Hilal untuk menentukan awal puasa dan awal berhari raya. Tidak diragukan lagi!

Lalu apa alasan kelompok yang hanya menggunakan metode hisab (astronomi) tanpa mau lagi menggunakan ru’yat Al-Hilal sebagaimana hadis shahih di atas? Jika dikaji lebih dalam, setidak-tidaknya sebagai berikut:
  1. Di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ilmu falak belum dikenal karena masyarakat Arab pada umumnya adalah “ummi”, tidak mampu membaca dan menulis. Jika tidak mampu membaca dan menulis, maka tidak mungkin mereka mampu melakukan perhitungan peredaran matahari dan bulan. Ilmu falak masyhur setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Karena belum mampu menggunakan ilmu falak saat itu, maka satu-satunya cara untuk menentukan awal bulan baru mau tidak mau harus melihat bulan dengan mata telanjang (ru’yatul hilal). Andaikan ilmu falak sudah masyhur dan dikuasai umat Islam, mungkin saja Rasulullh shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan melihat hilal, cukup dengan hisab saja.
  2. Jika memang posisi bulan sudah dapat diukur berdasarkan ilmu astronomi dan falak, maka ru’yah (melihat) bulan tidak perlu dilakukan. Bahkan dengan ilmu falak, kita sudah bisa menghitung awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah untuk 100 tahun bahkan 1000 tahun kedepan.
  3. Menggunakan metode ru’yah masih berpotensi adanya perdebatan dan adanya kemungkinan tidak tampak karena faktor cuaca. Menggunakan metode hisab tentu sudah ada kepastian, tidak perlu adanya perdebatan.
Jika melihat beberapa argumentasi dari kelompok ini, tentu sangat rasional dan tentunya tidak ada sedikitpun mereka mempunyai maksud menentang hadis shahih di atas apalagi sampai murtad segala, tidak mungkin! Mereka hanya menafsirkan hadis melalui pendekatan kontekstual saja.

Untuk penafsiran kontekstual terhadap teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis memang sulit dihindari dan memang justru harus dilakukan dengan berbagai pertimbangan yang sangat ketat tentunya.

Sebetulnya bukan satu kasus saja, ada bukti konkret lain yang mendukung alasan “kaum hisab” mengenai penafsiran kontekstual terhadap teks hadis, misalnya ketika Rasulullah menafsirkan “min quwwatin” pada ayat 60 Q.S. Al-Anfal :

وَأَعِدُّوا۟ لَهُم مَّا ٱسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ ٱلْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِن شَىْءٍ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).”

Rasulullah SAW menafsirkan kata “min quwwatin” (dengan kekuatan) dalam ayat tersebut dengan memanah. Tafsiran Rasulullah mengenai ayat tersebut adalah hadis. Bagaimana hadisnya. Shahihkah? Kita lihat hadis tersebut secara utuh sebagai berikut:

عَنْ أَبِي عَلِيٍّ ثُمَامَةَ بْنِ شُفَيٍّ أَنَّهُ سَمِعَ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ يَقُولُا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ { وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ } أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلَا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ

Dari Abu Ali Tsumamah bin Syufayi bahwa dia mendengar ‘Uqbah bin ‘Amir berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan ketika beliau di atas mimbar: ‘(Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi) ‘ (Qs. Al Anfaal: 60), ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah.” (HR. Muslim). Hadis semisal juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah. Darimi dan Ahmad.

Hadis di atas sudah pasti shahih. Artinya memalaui ayat 60 Al Anfal tersebut Allah memerintahkan para sahabat agar mempersiapkan diri untuk berperang melawan musuh, salah satunya adalah dengan kekuatan, yang dijelaskan atau ditafsirkan oleh Rasulullah dengan memanah.

Jika saat ini Tentara Nasional Indonesia (TNI) menggunakan mobil tank, pesawat tempura atau rudal dianggap menyelisihi hadis shahih tadi atau bahkan dianggap murtad? Ya enggak lah!

Mengapa Rasulullah menafisrkan dengan panah? Bisa jadi di zaman itu panah adalah senjata paling efektif untuk berperang melawan musuh dibandingkan dengan pedang atau tombak.

Demikian, semoga bermanfaat.

Wallahu A’lam.
Tim Cordofa.
Foto : Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *