“Ga dikerjain juga ga papa, cuma sunnah doang kok!”
“Saya juga tau kalo sunnah ga dikerjain ga bakalan dosa, tapi rugi, tau!”
“Kalo ga dibiasain ga bakal bisa, shalat sunnah tahajjud harus dibiasain biar ngantuk-ngantuk juga!”
Ya, itulah beberapa contoh komentar yang mungkin sering kita dengar dalam keseharian kita terkait pendapat seseorang mengenai amalan sunnah. Untuk sekedar mengingatkan saja bahwa sunnah dalam pandangan Fiqh Islam adalah status hukum mengenai amalan yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa.
Lalu bagaimana dengan komentar-komentar sebagian orang di atas? Semuanya benar, tidak ada yang salah jika ditempatkan sesuai kondisinya masing-masing.
Agar pembahasan lebih menarik, ada contoh berikut:
- Anda sedang berada di ruang tunggu bandara dan pesawat harus take off 04.30 WIB. Waktu subuh masuk pukul 04.07 WIB. Mushalla hanya berjarak 5 meter dari ruang tunggu dan Anda sudah dalam keadaan berwudhu. Karena jarak waktu subuh dengan take off pesawat hanya 23 menit dan Anda memaksakan diri untuk melaksanakan shalat subuh di mushalla tersebut. Apa yang harus Anda lakukan? Apakah Anda harus shalat sunnah qabliyah subuh yang pahalanya sebesar dunia dan seisinya lalu shalat subuh secara berjamaah? Atau Anda shalat subuh munfarid (sendirian) dan tanpa shalat sunnah qabliyah subuh? Jika merujuk pada komentar-komentar di atas, manakah komentar yang paling pas untuk kondisi mendesak seperti ini?
- Jika Anda seorang wiraswasta yang dapat bekerja sesuai waktu yang Anda suka dan bukan seorang pegawai kantor yang harus naik bis jemputan atau Commuter Line pada pukul 04.20 WIB. Pegawai tersebut tetap shalat subuh walaupun tidak sempat di masjid dan tidak berjamaah. Sedangkan di waktu yang sama, Anda sedang berada di rumah dan jarak masjid dari rumah Anda hanya 50 meter sedangkan waktu subuh masuk pukul 04.15 WIB. Jika Anda malas melaksanakan shalat subuh berjamaah di masjid, manakah komentar di atas yang cocok untuk kondisi seperti ini?
- Pak Rudi seorang supir antar jemput karyawan. Karena gaji sebagai seorang sopir tidak cukup untuk menafkahi keluarga yang beranggotakan seorang istri dan 6 orang anaknya yang semuanya masih sekolah, ia menyambi menjadi driver ojek online. Biasanya Pak Rudi baru tiba di rumah pukul 23.00 WIB dan harus bersiap-siap berangkat dari rumah untuk menjemput karyawan pada pukul 03.30 WIB dini hari. Istri Pak Rudi selalu menasihati dan agak memaksa agar Pak Rudi memaksakan Shalat Tahajjud setiap malam karena sang istri ingin pak Rudi sebagai kepala keluarga menjadi contoh teladan untuk anak-anak dan istrinya. Dalam kondisi seperti ini, kira-kira komentar d atas yang manakah yang paling relevan?
Artikel ini bukanlah menggiring Anda sebagai pembaca untuk mendukung salah satu komentar di atas. Artikel ini hanya ingin menggambarkan bahwa amalan sunnah itu ibarat lauk-pauk sebagai pengiring nasi yang kita makan. Yang namanya lauk pauk, apa lagi yang enak ternyata tidak semuanya dianjurkan oleh semua orang untuk dimakan. Apakah sate dan sop jeroan santen dianjurkan untuk orang yang sedang mengidap darah tinggi? Apakah semangkuk sop buah dianjurkan untuk dikonsumsi bagi pengidap diabetes sehabis makan malam?
Wallahu A’lam.
Tim Cordofa
Foto : Unsplash