“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Hal demikian lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah 62 : 9) halat Jum’at merupakan salah satu shalat yang hukumnya wajib (fardhu ‘ain)
dikerjakan bagi setiap Muslim laki-laki dewasa (mencapai baligh).
Dikerjakan pada waktu Zhuhur hari Jum’at setelah khutbah disampaikan oleh khatib. Apabila dengan sengaja tidak mengerjakan shalat Jum’at, Rasulullah memperingatkan, “Barangsiapa tidak shalat Jum’at selama tiga kali Jum’at karena meremehkan – dalam hadits lain ‘bukan karena darurat’, maka Allah akan menutup hatinya.” (HR.
Ibnu Majah).
Hanya beberapa macam orang yang tidak diwajibkan atau mendapat keringanan (rukhsah) untuk tidak melaksanakan shalat Jum’at, yaitu perempuan, anak-anak (yang belum baligh), hamba sahaya, karena udzur (halangan) misalnya sakit (yang menyebabkan dirinya tidak bisa melaksanakan shalat Jum’at), hujan
(sehingga ia mendapat kesukaran untuk pergi – HR. Bukhari-Muslim), dan orang yang sedang dalam perjalanan. Rasulullah bersabda, “Shalat Jum’at itu hak yang wajib dikerjakan oleh setiap orang Islam dengan berjama’ah, kecuali empat macam orang, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan orang sakit.” (HR. Abu
Dawud dan Hakim).
Sebelum berangkat untuk melaksanakan shalat Jum’at, ada beberapa hal yang sunat untuk dikerjakan.
Pertama, mandi layaknya mandi besar (janabah), yaitu air merata hingga seluruh tubuh. Dari Samurah, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berwudhu pada hari Jum’at, maka itu baik. Dan barangsiapa mandi, maka itu lebih utama” (HR. Ibnu Majah).
Kedua, berpakaian yang rapi dan sebaik-baiknya, diutamakan yang berwarna putih.
Ketiga, memakai wangi-wangian dan menggosok gigi (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, memakai wangi-wangian kalau ada, lalu pergi mendatangi shalat Jum’at, dan di sana ia tidak melangkahi duduk manusia, kemudian ia shalat sunat serta diam ketika imam keluar (menuju mimbar) sampai selesai shalatnya, maka yang demikian itu akan menghapuskan dosanya antara Jum’at itu dengan Jum’at sebelumnya.” (HR. Ibnu Hibban dan Hakim).
Keempat, memotong kuku, menggunting kumis, dan menyisir rambut (HR. Baihaqi dan Thabrani).
Kelima, menyegerakan berangkat (utamanya jalan kaki), lebih awal sebelum jama’ah yang lain datang, misalnya sejak pukul 11.00. Hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi janabat, kemudian pergi (ke tempat shalat), maka seakan-akan ia berkurban seekor unta. Barangsiapa pergi pada kesempatan kedua, maka seakan-akan ia berkurban seekor lembu. Barangsiapa pergi pada kesempatan ketiga, maka seakan-akan ia berkurban seekor kambing yang bertanduk. Barangsiapa pergi pada kesempatan keempat, maka seakan-akan ia berkurban seekor ayam. Barangsiapa pergi pada kesempatan kelima, seakan-akan ia berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar (menuju mimbar), maka para malaikat datang mendengarkan khutbah.” (HR. Muslim)
Setelah tiba di mesjid, hendaknya berwudhu (yang belum berwudhu dari rumah) lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat sunat, seperti shalat tahiyatul masjid dan shalat Dhuha. Adapun, jika saat datang khatib tengah berkhutbah, tidak mengapa melaksanakan shalat sunat, asal tidak terlalu lama. Dari Jabir ia berkata, “Pada suatu Jum’at, ada seseorang masuk (mesjid), sementara Nabi sedang berkhutbah. Lalu, Beliau (Nabi) bertanya, ‘Apakah kamu sudah shalat ?’ Ia menjawab, ‘Belum.’ Beliau bersabda, ‘Maka shalatlah dua rakaat !’”
Di sela-sela menunggu khatib menyampaikan khutbahnya, isilah dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, di antaranya membaca Al-Qur’an (terutama Surat Al-Kahfi) atau berdzikir, bisa pula memperbanyak bacaan do’a dan shalawat. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa membaca Surat Al-Kahfi pada hari Jum’at, cahaya antara dua Jum’at akan menyinarinya.” (HR. Hakim). “Perbanyaklah membaca shalawat atasku (Muhammad) pada malam dan hari Jum’at. Barangsiapa membaca satu shalawat kepadaku, maka Allah akan memberinya sepuluh berkah (kebaikan).” (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Saat khatib berkhutbah, maka hendaknya kita memperhatikan apa yang disampaikan semampu mungkin. Sebab, bisa jadi di pertengahan khutbah, kita tertidur (tidur yang tetap pada tempatnya dan bokong tidak terangkat), sehingga tidak bisa mendengar dan memperhatikan khutbah. Walaupun tertidur, wudhu kita tidak batal. Hal ini pernah dialami sebagian sahabat, ketika Rasulullah berkhutbah, mereka tertidur.
Namun setelah khutbah selesai, mereka tetap mengikuti Rasulullah langsung shalat. Saat itu pula, kita dilarang keras untuk berbicara atau ngobrol karena dapat menyebabkan shalat Jum’at yang kita lakukan menjadi sia-sia. Hal ini, yang mungkin tidak jarang dijumpai, segelintir orang (bahkan orang tua sekalipun) berbicara saat khutbah tengah disampaikan.
Dari Ali bin Abi Thalib (dalam hadits yang ia riwayatkan) berkata, “Barangsiapa dekat dengan imam, lalu ia main-main, tidak memperhatikan, dan tidak diam, maka ia menanggung dosa. Barangsiapa berkata ‘Diamlah !’, maka ia sia-sia. Dan barangsiapa yang sia-sia, maka berarti ia tidak mendapatkan Jumat itu. Lalu Ali berkata, “Demikianlah aku mendengar dari Nabimu.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Hadits yang lain, dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berbicara pada hari Jum’at, padahal imam sedang berkhutbah, maka ia seperti himar (keledai) yang membawa kitab. Sedangkan orang yang berkata kepadanya (jama’ah lain – red), ‘Diamlah !’, maka ia tidak mendapatkan Jum’at itu.” (HR. Ahmad).“ Kedua hadits tersebut menunjukkan perintah bagi kita untuk memperhatikan khatib dan melarang kita berbicara, walaupun misalnya kita ingin mendiamkan teman yang berbicara.
Hal ini diperjelas melalui hadits dari Abu Darda’ ia berkata, “Nabi pernah pada suatu hari duduk di atas mimbar, lalu memperingatkan manusia dan membaca satu ayat. Aku duduk di samping Ubay bin Ka’ab, lalu aku bertanya, ‘Hai Ubay, kapan ayat ini diturunkan ?’ Ia (Ubay) tidak mau menjawab pertanyaanku. Aku bertanya lagi kepadanya, tetapi ia (tetap) tidak mau menjawabku, hingga Rasulullah turun (dari mimbar). Kemudian, Ubay berkata kepadaku, ‘Engkau tidak memperoleh Jum’atmu melainkan apa yang telah engkau sia-siakan.’ Setelah Rasulullah selesai, aku datang kepada Beliau dan bertanya. Beliau bersabda, ‘Ubay benar. Karena itu, apabila kamu mendengar imammu sedang berkhutbah, maka diamlah hingga ia selesai.’” (HR. Ahmad).
Satu catatan yang perlu diperhatikan oleh khatib. Hendaknya ia tidak terlampau lama dalam menyampaikan khutbahnya. Meskipun, isi khutbah yang disampaikannya sangat menarik dan penuturan katanya yang teratur, tidak semua jama’ah mampu mengikutinya, apalagi anak-anak. Maka, jangan menyalahkan anak-anak jika mereka ramai ketika khatib berkhutbah. Sebab, pemahaman anak-anak tidak sama dengan orang dewasa yang dalam beberapa aspek bisa mengendalikan dirinya. Dunia anak-anak ialah bermain, sehingga anak tidak bisa terlalu lama berkonsentrasi mendengarkan apa yang disampaikan.
Khatib mesti mempertimbangkan kondisi jama’ahnya, baik dari segi lama penyampaian hingga pemakaian bahasa.
Hendaknya khutbah disampaikan tidak terlalu lama, tetapi mudah dipahami. Dari Jabir, dari Nabi, “Sesungguhnya, Nabi tidak pernah memanjangkan khutbahnya pada hari Jum’at, sesungguhnya khutbahnya itu hanya berisikan kalimat-kalimat yang pendek.” (HR Abu Dawud). Dari Amar bin Yasir, ia berkata, “Aku pernah mendengar
Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya, panjangnya shalat seseorang dan pendeknya khutbah itu menunjukkan kepandaiannya.
Oleh karena itu, panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah.” (HR. Ahmad dan Muslim). Hadits dari Amar ini karena seorang yang pandai, umumnya menggunakan kata-kata yang jami’, yaitu ringkas tapi padat. Sedangkan memanjangkan shalat, dalam artian, shalat dikerjakan lebih lama dari khutbah. Intinya, dalam berkhutbah dan shalat tidak memberatkan jama’ah.
Sebab, dalam hadits lain dikatakan, …”khutbah Beliau (Rasulullah) sederhana (tidak lama dan tidak sebentar) dan shalatnya juga sederhana (tidak lama dan tidak sebentar).” (HR. Muslim).
Wallahua’lam bishshawab.
Referensi :
1) H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam
2) Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Nasa’i
3) Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Al-lu’lu wal Marjan
4) Syaikh Faishal bin ‘Abdul ‘Aziz Ali Mubarak, Nailul Authar
Download Versi Buletin dan Buletin Jumat Lainnya di sini