Oleh: Ust. Khumaini Rosadi (Dai Ambassador Dompet Dhuafa, 2018 – Hong Kong)
Membayangkan Hong Kong, mungkin yang terlintas di benak kita adalah film kungfu. Teringat akan aktor kungfu yang hebat seperti; Bruce Lee, Sammo Hung, Donny Yen, Andi Law, Jacky Chan, Chow Yung Fat, Jet Lee, dan aktof lainnya yang menjadi favorit kita masing-masing. Kita mengira bahwa di Hong Kong isinya hanya perguruan kungfu dan tempat bermain judi, seperti pada judul film drama komedia Hong Kong “God of Gamblers”. Ternyata bisa jadi, semua sangka dan kira kita itu jauh dari apa yang dibayangkan.
Jangan salah sangka dulu, setelah saya amati, ternyata Hong Kong itu kota majelis taklim. Apalagi di bulan Ramadhan seperti seperti ini. Menurut Maya, seorang volunteer Dompet Dhuafa Hong Kong, ada seratus lebih majelis taklim yang turun ke jalan guna meramaikan karnaval untuk sambut bulan suci.
“Majelis-majelis taklim turut menurunkan jamaahnya untuk memeriahkan karnaval Ramadhan. Lebih dari seratus majelis yang bergabung dalam agenda tahunan itu,” tutur Maya, asal Pekalongan Jawa Tengah yang sudah 18 tahun tinggal di Hong Kong.
Yayuk menambahkan, jumlah Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong mencapai ribuan yang mengikuti Karnaval Ramadhan tahun ini.
“Sampai 2.500-an BMI yang didominasi oleh kaum perempuan berjalan kaki dengan spanduk masing-masing majelis taklim di pusat keramaian Hong Kong dan dikawal oleh 50 lebih polisi Hong Kong. Setiap majelis mengirimkan maksimal 30 orang,” ungkapnya selaku Ketua Forum Majelis Taklim Yuen Long. (Rabu, 23/5).
Rata-rata orang pada umumnya, mengartikan BMI itu kepanjangan dari Buruh Migran Indonesia. Tapi istilah itu berbeda dengan anggota majelis taklim di Hong Kong. Mereka lebih suka mengartikan BMI menjadi “Berusaha Mempertahankan Iman”.
“Susah sekali menjaga iman di sini jika tidak disibukkan dengan aktif mengikuti pengajian. Pengaruh ikut-ikutan gaya kebaratan sangat besar. Jika libur bekerja, banyak sekali BMI yang menghabiskan waktunya di pinggir jalan, berteduh di bawah jembatan, tidur-tiduran untuk menikmati keramaian,” ujar Maya.
Namun tidak sedikit BMI mengaku tambah semangat untuk belajar agama setelah sampai di Hong Kong. Waktu ke Hong Kong belum bisa ngaji, ternyata di sini malah bisa belajar ngaji. Waktu ke Hong Kong belum berjilbab, setelah gabung dengan majelis taklim jadi berjilbab. Mungkin kalau di Indonesia belum tentu bisa belajar ngaji, karena malu sama teman atau sudah merasa dewasa. Mungkin kalau di Indonesia belum berjilbab atau menutup aurat, karena takut dibilang sudah insyaf atau malu mau memulainya, ketika aktif pengajian di Hong Kong, akhirnya menjadi terbiasa mengenakan jilbab untuk menutup aurat.
Memang belum tentu yang kita sangka baik itu baik. Bisa jadi kenyataan itu tidak bisa. Belum tentu juga yang kita sangka buruk itu buruk. Bisa jadi faktanya itu baik. Begitu juga dengan BMI, belum tentu menjadi BMI di Hong Kong itu buruk, bisa jadi setelah menjadi BMI di Hong Kong, ibadah, akhlak, dan sifatnya menjadi lebih baik. Sebagaimana cerita Yayuk yang sudah empat tahun menjadi BMI asl Blitar Jawa Timur, yang merasakan dirinya menjadi lebih baik dan lebih sholihah ketika menjadi BMI di Hong Kong.
Tetapi bagaimanapun juga, hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan air di negeri sendiri. Sehijau-hijaunya rumput tetangga, masih lebih hijau rumput sendiri. Menjadi BMI tetap harus cinta tanah air. Bila sudah merasa cukup, tetap harus balik ke Indonesia, berkumpul bergembira bersama keluarga. Semoga itu akan menajdi lebih baik.