“Sekali-kali tidak ! Demi Allah, selamanya Allah tidak akan menghinakan engkau karena sesungguhnya engkau selalu menyambung tali silaturrahim, engkau tanggung orang yang lemah, engkau bela orang yang tidak berharta, engkau jamu para tamu, dan engkau bantu orang yang menyelesaikan hal-hal yang mengoyak kebenaran.”
(HR. Al-Bukhori, No. 3, Kitab Al Iman, Bab Al Iman)
Abu Bakr Ash-Shiddiq, Khalifah Rasulillah dalam khutbah pertamanya menuturkan, “orang-orang yang lemah di antara kalian adalah kuat di hadapanku, sampai aku mampu mengembalikan segala sesuatu yang menjadi hak baginya. Dan orang yang kuat di sisi kalian adalah lemah di sisiku, sampai aku mengambil apa-apa yang menjadi hak orang lain yang ada pada dirinya.”
Maka inilah saat keadilan menjadi istana bagi yang lemah dan gubuk bagi yang kuat. Dan sungguh, untuk menciptakan warna negara yang seperti itu, tidak dapat tidak harus ada seorang pemimpin yang menjadi imam dalam keadilan di masa awalnya.
Akan tetapi, pemimpin yang adil dan tangguh justru Allah hadirkan dari mereka yang enggan menampakkan diri. Ummat tahu mereka mampu, tapi diri mereka sendiri gentar dengan beratnya tanggung jawab itu. Seperti Abu Bakr yang justru mengajak kaum Muslimin memilih salah satu di antara ‘Umar bin Al Khattab atau Abu ‘Ubaidah ibn Al Jarrah. Sedemikian pula ketika ‘Umar menghindarkan diri dan mewanti-wanti agar jangan sampai Abu bakr menyebut namanya di dalam wasiat tentang kaum Muslimin sepeninggalnya. Demikian juga ‘Utsman yang duduk di bagian belakang masjid dan diam menunduk agar tak ada yang mengenali dan menyilakannya maju sampai ‘Abdurrahman ibn ‘Auf mencari-carinya dan memohonnya ke depan untuk dibai’at. Juga Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu yang tampil menjadi penata keberkahan di celah-celah kepelikan bernegara.
Lepas jauh dari zaman Sayyidina ‘Ali, sejarah kembali terulang untuk mewarnai negara dengan tinta keadilan. Maka bersebab Raja’ ibn Haiwah membelokkan aliran kekuasaan kepada ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, seorang pribadi yang sanggup tapi kasdu, kaum Muslimin kembali merasakan sejuknya keadilan setelah sekian lama terpaksa berpuasa.
Maka dalam kepemimpinan Islam, berlaku kaidah bahwa sesiapa merasa lemah dia akan dikuatkan, sesiapa merasa rendah dia akan ditinggikan, dan sesiapa merasa kecil dia akan dibesarkan.
Maka sungguh, momen yang menjadi bukti atas keabsahan kaidah yang disepakati oleh Imam Al Bukhori dan Imam Muslim bagi ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz adalah ketika putranya bertanya padanya saat ‘Umar hendak melepas lelah.
“Apa yang akan kau lakukan ?”
“Aku ingin beristirahat sejenak, anakku, betapa lelahnya setelah semua urusan sejak semalam.”
“Apakah Ayahanda akan menunda urusan orang-orang yang telah menanti agar hak-hak mereka yang dirampas dikembalikan, yang telah menunggu agar keluarga mereka yang dizhalimi dipulangkan, dan yang telah mengharap agar Amirul Mukminin yang baru berlaku adil kepada mereka “
“Insya Allah, sebakda beberapa saat memulihkan diri, aku akan menjumpai mereka. Sebakda sholat Dzuhur, wahai putraku !” ujar ‘Umar sembari tersenyum.
“Dan siapakah yang menjamin umur Ayah akan sampai ke waktu Dzuhur “
Kalimat terakhir itu menyengat hati ‘Umar dan menyentaknya untuk segera bangun.
“Segala puji bagi Allah,” ujar sang Khalifah, “yang telah mengaruniakan kepadaku seorang putra yang menguatkan aku di dalam agama-Nya.”
Semoga kelak akan Allah munculkan seorang pemimpin di negara Indonesia yang penuh amanah kepada Allah dan rakyatnya, dan yang seadil-adilnya berdakwah. (M. Azzam/Cordofa)
Baca Juga: Gelora Idul Adha di Negara Minoritas
One thought on “Seadil-adilnya Dakwah Bernegara”