Kabar Terbaru

Rindu Islam, Ramadhan, dan Pancasila di Athena

Yunani – Momen perayaan hari lahirnya pancasila tahun 2017 ini memiliki kisah eksotis tersendiri. Betapa tidak, itu terjadi saat penulis berada di Athena menjalakan kegiatan Dakwah Ramadhan Corps Dai Dompet Dhuafa. Setiap orang akan merasakan kerinduan yang teramat sangat akan kampung halaman, saat ada di perantauan. Kecintaan dan kebanggan terhadap Indonesia membuncah dalam jiwa dalam sebuah narasi “Islam, Ramadhan, dan Pancasila”. Kurang lebih itulah yang penulis sampaikan saat jelang berbuka di KBRI Athena pada awal Juni lalu.
Islam sebagai sebuah konsep ideal yang Allah turunkan kepada umat manusia, berisi value universal yang jika dijawantahkan maka ia akan mencahayakan semua yang ada di sekelilingnya. Cahaya itu menerangi manusia, hewan, pepohonan, bahkan benda-benda di sekitarnya. Konsep nilai itu menjadi soft skill yang harus dibawa manusia dalam mengemban tugas sebagai wakil Allah di muka bumi.

Tidak cukup dengan wacana dan teori, Islam hadir dalam diri manusia dan nabi terbaik, Rasulullah SAW. Value yang abstrak menjadi nyata dalam tindak-tanduk, dalam kata, perbuatan, akhlak, dan segala hal yang dapat dilihat kasat mata. Laksana pembelajaran rumus fisika, yang menjadi lebih mudah dicerna saat sang Guru datang dengan contohnya. Melalui diri Rasulullah, Islam dibumikan agar membawa kasih sayang pada seluruh isi alam semesta “Rahmatan lil ‘alamin” (surat al-Anbiya’: 107). Pada saat yang sama, Allah memberikan pesan bahwa sifat anti kasih sayang akan membuat manusia menjauh dari Rasulullah dan akhirnya menjauhi Islam (surat Ali ‘Imran: 159).

Begitulah Islam yang identik dengan kasih sayang dalam level teoritis dan praktis. Sebuah perpaduan yang sempurna untuk dijadikan sebagai jalan hidup menuai kesuksesan. Landasan teoritis Islam merupakan basis legalitas yang membuat jiwa dan akal manusia terpenuhi kebutuhannya, sehingga tumbuh gelora semangat untuk menjadi pada level “to be”.  Namun jasad manusia yang memiliki keterbatasan ruang dan waktu, membutuhkan pijakan teknis untuk bisa mulai melakukannya. Manusia saat itu ingin segera masuk pada level “to do”. Kebutuhan to be dan to do manusia sudah difasilitasi dengan nilai-nilai Islam dan teladan mulia Rasulullah.

Tidak berhenti di situ, Islam ingin mendekatkan manusia dengan nilai universal sedekat-dekatnya. Ramadhan sebagai training kolosal dan massif ingin memastikan bahwa misi “Rahmatan lil ‘alamin” segera hadir, sehingga kapitalisasi kebaikan segera menyebar dan menyentuh seluruh bagian dari pojok-pojok bumi secara merata. Setiap Muslim merepresentasikan Islam yang diturunkan Allah dan Islam yang dicontohkan Rasulullah, sehingga percikannya dapat menyentuh manusia, hewan, tumbuhan dan benda sekelilingnya.

Proses penanaman nilai dengan merasakan apa yang dirasakan oleh subjek yang membutuhkan adalah cara paling efektif untuk bisa diterapkan. Gabe Zichermann menyebutkan bahwa manusia adalah doing machines. Manusia perlu melakukannya untuk bisa lebih memahami sesuatu. Melakukan dan mengalami sesuatu menjadi cara yang paling efektif untuk belajar.

Ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah proses memastikan umat Islam seluruh dunia sedang melakukan penanaman nilai dengan mengalaminya, sehingga inner insight hadir secara alami. Ada pengalaman fisik saat puasa, di mana rasa lapar dan haus akan muncul dengan sendirinya dalam durasi waktu tertentu.  Dari aktivitas fisik  tersebut dengan bantuan logika sederhana, diharapkan tumbuh elaborasi akal yang menghasilkan kesadaran sosial kepada seluruh isi alam semesta. Ramadhan menjadi proses pengendapan bagaimana Rahmatan lil ‘alamin itu muncul pada diri setiap Muslim.

Di penghujung Ramadhan, proses itu semakin sempurna ketika setiap Muslim diperintahkan untuk melakukan simulasi melalui zakat fitrah. Setiap individu diangkat apresiasi dirinya, melompat menjadi seseorang yang bisa memberi makna bagi yang lain. Setiap Muslim disadarkan bahwa keberadaannya bisa menjadi mata air kebahagian bagi orang lain. Ada orang lain yang ikut merasakan kebahagiaan atas kehadirannya di muka bumi. Setidaknya ada seorang mustahiq (penerima zakat) yang langsung merasakan efek dari  Rahmatan lil ‘alamin setiap muzakki (pemberi zakat) di seluruh dunia. Hal itu semakin terasa ketika ada konsekuensi reciprocal goodness yang Allah perintahkan bahwa hendaknya setiap mustahiq selalu mendoakan kebaikan seorang muzakki (surat at-Taubah: 103).

Proses komprehensif dari mulai konsep nilai universal yang diejawantahkan oleh Rasululllah, ditambah dengan traning kolosal melalui puasa Ramadhan yang ditutup dengan pembayaran zakat fitrah menjadi sebuah tahapan pemenuhan alam jagat raya dengan kasih dan sayang. Kemudian kasih sayang itu menular, melebar, dan semakin meluas dari konsep Islam yang Allah turunkan. Satu persatu isi alam semesta merasakan percikan-percikannya sehingga melahirkan senyuman di antara sesama penghuninya. Pribadi paripurna itu kemudian diumpamakan seperti seekor lebah yang sangat lembut.  Lebah hanya memakan dan mengeluarkan yang baik. Setiap lebah hinggap di dahan, maka ia tidak mematahkannya.

Pancasila sebagai value kebangsaan Indonesia, mendapatkan semacam tool processing-nya. Muara rangkaian penanaman nilai kasih sayang dalam Islam, berhubungan dan berkelindan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial yang ada dalam pancasila. Mendorong seorang Muslim untuk komitmen terhadap keislamannya sesungguhnya bagian dari proses penanaman nilai-nilai pancasila itu sendiri. Dua konsep nilai yang berada di ujung jalan berbeda, tetapi pada akhirnya akan berjumpa di akhir perjalanan yang saling bertegur-sapa tanda kesamaan dan keakraban. Semoga terobati kerinduan terhadap Islam, Ramadhan, dan Pancasila dari kota sumber peradaban dunia. (Ust. Abdul Ghoni, Dai Ambassador Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) – Yunani)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *