Yang sekarang tengah viral di Indonesia saat ini, terutama di kalangan umat Islam adalah polemik nasab Ba’alawi. Polemik ini sudah berjalan beberapa bulan kebelakang dan belum selesai hingga saat ini.
Polemik ini berawal ketika ada seorang pimpinan pondok pesantren di daerah Banten yang meragukan ketersambungan nasab para habaib di Indonesia yang merupakan klan Ba’alawi. Sang kiai melalukan penelitian yang hasil finalnya dituangkan melalui tesisnya yang menyimpulkan bahwa nasab keturunan Ba’alawi tidak tersambung (terputus) dengan Rasulullah SAW. Artinya, menurut beliau bahwa para habaib di Indonesia bukanlah keturunan Rasulullah.
Tesis tersebut awalnya dipopulerkan sendiri oleh sang kiai di berbagai kesempatan ceramahnya. Dengan begitulah sang kiai menjadi viral dan kerap diundang diberbagai acara keagamaan untuk menyampaikan ceramah mengenai terputusnya nasab Ba’alawi dengan Rasulullah. Sang kiai juga kerap menyampaikan berbagai motivasi yang mendasarinya untuk menyusun tesis tersebut. Diantara motivasi penyusunan tesis, sang kiai menyampaikan bahwa awalnya ia merasa penasaran dengan beberapa habaib yang menurutnya kerap melakukan tindakan-tindakan yang sangat menyimpang dari akhlak Rasulullah SAW. Ia berpikir, para habaib seharusnya mempunyai amanah dan tanggung jawab untuk menjaga akhlak sebagaimana akhlak Rasulullah SAW.
Tesis tersebut tentu membuat geger umat Islam di Indonesia, terutama di kalangan para ulama, dan khususnya para habaib. Bagaimana tidak, para habaib yang sudah ratusan tahun eksis di Indonesia dan juga berperan besar dalam dakwah terkesan dianggap sebagai para pembohong dan penjual nasab Rasulullah SAW. Para ulama pro habaib juga berfikir, bagaimana bisa keabsahan nasab para habaib yang sudah diakui ratusan tahun dengan istilah “ As-Syuhrah wal Istifadhah” harus dipaksa tumbang hanya bermodalkan sebuah tesis yang disusun oleh seorang yang tidak terkenal.
Tulisan ini sama sekali tidak ingin memperkeruh suasana. Justru tulisan singkat ini hadir karena rasa prihatin yang sangat melihat kondisi umat saat ini dalam menanggapi polemik tersebut. Penulis mengamati, setidaknya umat Islam terbagi menjadi beberapa kelompok dalam menanggapi polemik ini, yaitu:
- Kelompok yang setuju dengan tesis sang kiai karena menganggap hal ini adalah ilmiah. Kelompok ini juga membantu mempopulerkan tesis ini agar umat Islam di Indonesia tidak lagi mengakui bahwa para habaib di Indonesia keturunan Ba’alawi bukanlah keturunan Rasulullah SAW. Kelompok ini juga mengajak umat Islam agar jangan mau terus dibodohi dan dimanfaatkan oleh para habaib agar mereka tidak terus merasa jemawa dan merasa lebih mulia dari para kiai-kiai pribumi.
- Kelompok yang pro tesis sang kiai, namun tetap menghormati para habaib. Kelompok ini hanya meyakini bahwa para habaib bukanlah keturunan Rasulullah. Kelompok ini merasa tidak perlu mempopulerkan tesis sang kiai. Kelompok ini tetap mengakui bahwa para habaib memiliki jasa besar bagi umat Islam Indonesia. Adapun sebagian kecil habaib yang terbukti arogan, jemawa, suka maksiat, su’ul adab hanyalah oknum semata. Tidak semua habaib seperti itu. Oknum hanya segelintir, sedangkan mayoritas habaib justru memiliki semangat juang dakwah dan menjadi uswah bagi umat.
- Kelompok kontra tesis dan menganggap bahwa penyusunnya sengaja menyebarkan syubhat dan fitnah di tengah umat. Tesis dibuat hanya untuk kepentingan kelompok tertentu yang berupaya untuk melunturkan wibawa para dan melemahkan dakwah para habaib. Tesis hanya dibuat untuk menebar kebencian dan adu domba para ulama dan umat Islam.
- Kelompok kontra tesis dan tidak menuduh sang pembuat tesis dengan tuduhan yang tidak terbukti. Kelompok ini hanya menganggap bahwa metode sang kyai dalam menyusun tesis dibangun dengan kerangka rapuh dan tidak ilmiah. Kelompok ini justru menganggap bahwa yang disusun oleh sang kiai bukanlah tesis.
- Kelompok yang tawaqquf (abstain) terhadap polemik. Kelompok ini tidak mau menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Kelompok ini terbagi dua, ada yang memang masa bodoh dan ada juga yang memang bingung dan tidak tahu harus setuju kepada salah satu pihak.
Jika diringkas, maka ada kelompok pro tesis ekstrim, pro tesis non ekstrim, kontra tesis ekstrim, kontra tesis non ekstrim dan abstain.
Jika mengamati medsos, kita tidak bisa memungkiri bahwa terjadi saling caci antar dua kubu ekstrimis, baik yang pro maupun kontra tesis. Inilah yang memprihatinkan. “Perang” ini bukan hanya terjadi di akar rumput, namun sudah menjalar ke level asatidz, kiai dan habaib itu sendiri. Inilah yang sangat memprihatinkan. “Perang” ini harus diakhiri, tidak boleh terus terjadi yang mengakibatkan saling benci antara umat Islam.
Dari fakta di lapangan inilah, penulis berupaya menawarkan solusi agar umat Islam tetap bersatu dan tidak terpengaruh dengan pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memecah belah umat, sebagai berikut:
- Tesis merupakan karya ilmiah yang disusun dengan metode terstruktur. Hasil tesis tidak perlu menjadi polemik, apalagi sampai terjadi perpecahan. Artinya, bagi yang tidak setuju dipersilakan untuk membuat antitesis atau menguji tesis. Bagi yang tidak setuju dan tidak berminat membuat antitesis juga tidak masalah. Ini hanya perkara setuju dan tidak setuju saja.
- Para habaib wajar sekali tidak setuju dengan tesis ini, namun para habaib juga berhak untuk mempertahankan metode Asy-syuhrah wal-istifadhah untuk meneguhkan bahwa mereka memang benar-benar keturunan Rasulullah. Dengan metode tersebut, para habaib dibebaskan untuk memilih antara membuat antitesis atau tidak. Sekalipun para habaib tidak menanggapi tesis tersebut, kita tidak bisa mengklaim bahwa mereka tidak bisa mengelak tesis dan kalah. Ingat, para habaib punya hak untuk mempertahankan metode As-Syuhrah Wal Istifadhah. Bisa jadi mereka tidak membuat antitesis karena menjaga kondusi agar umat tidak pecah, atau bisa jadi mereka menganggap bahwa yang disusun oleh sang kiai bukanlah tesis dan tidak perlu ditanggapi.
- Umat Islam harus menyadari bahwa tesis hanya berkutat pada masalah ilmiah dan tidak ada hubungan sama sekali dengan caci-maki dan saling benci. Bagi yang pro tesis silakan dan tidak perlu memutus hubungan persaudaraan dengan para habaib. Bagi yang antitesis juga harus biasa-biasa saja. Cukup tidak setuju dan boleh berdiskusi tanpa harus saling caci dan bermusuhan dengan yang pro tesis.
Demikian, semoga membantu dan hubungan persaudaraan antar umat Islam tetap terjaga. Yang wajib adalah menjaga ukhuwah, yang haram adalah saling benci, bermusuhan dan memutus silaturahim.
Wallahu A’lam.
Foto : Unsplash