Kabar Terbaru

Pertaruhan Raligiusitas Seorang LGBT

Agama adalah salah satu kekuatan kontrol (force of control) atas seksualitas. Agama tidak membenarkan perilaku homoseksual. Perbuatan homoseksual adalah haram dan pelakunya berdosa besar. Islam, Nasrani & Yahudi memiliki pandangan yang sama dalam hal ini. Karena agama adalah komponen penting dalam norma sosial, penyimpangan perilaku seksual secara otomatis berhadapan dan membentur dua norma sekaligus, yaitu norma sosial dan agama. (Perry N. Halkitis, et all, 2009).

Semakin religius suatu masyarakat, semakin berat beban psikologis yang dirasakan individu LGBT. Ini diperkuat oleh hasil temuan Rosik, Griffith, dan Cruz yang meneliti hubungan antara homophobia dan tradisi kristen konservatif di kalangan mahasiswa bahwa identitas religious yang kuat berkorelasi dengan sikap negatif terhadap para individu lesbian dan gay. (Megan C Lytle: 2012)

Menurut teori Disonansi Kognitif yang diperkenalkan Festinger (1957), seseorang yang memegang dua atau lebih conflicting beliefs dalam dirinya mengalami stress atau ketidaknyamanan psikologis. Ketidaknyamanan psikologis tersebut akan memotivasi dirinya untuk melakukan usaha-usaha demi mencapai konsonansi atau kenyamanan. Riset menunjukan bahwa individu lesbian, gay, dan biseksual (LGB) lebih sering mencari counceling dibandingkan individu heteroseksual. (Cindi L. Anderton: 2011)

Seperti apakah resolusi yang diambil para gay atau lesbian religious tatkala menyadari bahwa orientasi seksual mereka menyimpang dari keyakinan agama? Penemuan dari sejumlah riset tentang conflict resolutions atas benturan agama versus orientasi seksual berikut barangkali perlu untuk diambil pelajaran.

Resolusi Konflik

Dahl dan Galliler (2009) melakukan penelitian terhadap 105 LGBT dewasa muda yang tinggal dalam komunitas religious untuk mengetahui resolusi konflik atas benturan orientasi seksual versus keyakinan agama. Hasilnya, beberapa pilihan yang diambil oleh partisipan adalah termasuk kecenderungan meninggalkan agama, mengidentifikasi diri sebagai seorang spiritual daripada religius, mencari lingkungan keyakinan yang mendukung, dan keterpaksaan untuk memisahkan antara identitas seksual dan agama mereka. Memilih meninggalkan agama dapat berarti tidak lagi peduli dengan agama dan tuhan, atau bisa jadi mengganti memilih spiritualitas daripada religiusitas.

Menurut Frame (2003), spiritualitas berkaitan dengan pencarian makna (meaning), tujuan (purpose) dan nilai-nilai (values) dalam hidup. Upaya untuk berkomitmen menjadi seseorang yang baik dan mencari inner peace adalah bagian dari ajaran sipiritualitas. Menjadi seorang sipiritual berarti meyakini keberadaan tuhan dengan tanpa harus berafiliasi dengan doktrin-doktrin agama tertentu.

Dari riset lain ditemukan bahwa terdapat individu yang berorientasi homoseksual, namun menghindari perilaku homoseksual demi mempertahankan religiusitasnya. Mereka memilih tidak menikah atau hidup membujang. (Megan C Lytle: 2012). Sebagian lain memilih menikah dengan lawan jenis sebagai bentuk upaya menjadi seorang heteroseksual, atau dikarenakan tuntutan sosial. Tetap memegang keduanya adalah diantara opsi lain yang dipilih individu LGBT. Dia tidak ingin lepas dari agama dan komunitasnya, namun tidak menghindari perilaku homoseksualnya(Rachel Shapiro Safran: 2012).

Individu seperti ini akan berusaha menyembunyikan orientasi seksualnya di komunitas agama, dan menyembunyikan religiusitasnya di komunitas homoseksual. Tentu saja hal ini membuat individu LGBT sering dihinggapi perasaan berdosa.

Jika kebanyakan peneliti mendikotomikan antara identitas homoseksual dengan agama, ada beberapa peneliti seperti Buchanan (2001) yang berupaya untuk mengintegrasikan keduanya. Menurutnya, para individu gay dan lesbian tidak harus dihadapkan pada pilihan antara menjadi seorang homoseksual atau seorang yang religious.

Tidak pula dia harus menyembunyikan orientasi homoseksualnya di komunitas agama. Mereka, menurutnya, dapat memilih untuk bergabung dengan organisasi keagamaan yang menerima perilaku homoseksual atau dapat juga memilih keyakinan atau agama lain agar mereka dapat menjadi seorang yang religious sambil mempertahankan orientasi seksualnya.

Dari beberapa opsi resolusi atas konflik agama versus orientasi seksual, apa yang diajukan Buchanan (2001), menurut penulis, adalah paling perlu diwaspadai. Usulan Buchanan menyisipkan liberalisme dan “pluralisme” yang berupaya mencerabut nilai-nilai yang ada dalam agama. Tawaran Buchanan juga sangat berbahaya karena dapat membonceng gerakan LGBT internasional yang sering mengatasnamakan gerakan HAM & liberalisme. Mencerabut status sebagai muslim akan mendapat perlawanan hampir dari setiap muslim. Namun, mencerabut nilai-nilai Islam dari pemeluknya seringkali sulit terantisipasi.

Mencari Strategi Dakwah

Paparan resolusi konflik di atas memberikan gambaran kepada kita betapa seorang yang memiliki orientasi seksual kepada sesama jenis sedang dalam ancaman dan pertaruhan keselamatan beragama. Paparan di atas juga memberi pesan kepada kita akan kebutuhan strategi dakwah yang memperhatikan aspek-aspek psikologis para LGBT.

Upaya memotivasi dan membantu mereka kembali menuju fitrah, serta penguatan nilai-nilai agama perlu berjalan seiringan agar mereka tetap kokoh berpegang kepada tali Allah. Sadar akan tujuan penciptaan & sabar menghadapi beratnya ujian adalah tujuan kunci dakwah kepada mereka. Memiliki orientasi seksual kepada sesama, namun tidak terjerumus dalam perilaku homoseksual adalah sesuatu yang akan mengangkat derajat seseorang di hadapan Allah SWT.
■ Penulis : Ust. Dr (Cand) Bahrun Mubarak MA, Dai Cordofa

Download Versi Buletin dan Buletin Jumat Lainnya di sini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *