Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Semoga Pak Ustaz dan Tim senantiasa Allah limpahkan kesehatan.
Saya seorang pria muslim dan usia saya sekarang menjelang 28 tahun. Jika tidak ada halangan, saya dan kekasih saya berencana untuk menikah 6 bulan lagi.
Namun yang menjadi masalah adalah kekasih saya beragama Nasrani. Orang tua kami tidak masalah dengan rencana saya menikah dengan kekasih saya tersebut. Begitupun calon mertua saya, tidak masalah.
Saya juga sudah mengetahui bahwa hukum menikah dengan wanita non muslim masih pro-kontra. Saya juga sudah diskusi dengan kawan saya yang bergelar Magister Agama (M.Ag) jurusan IAT (Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir) Fakultas Ushuluddin dari salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia.
Menurut kawan saya yang M.Ag itu, jelas sekali ayat yang membolehkan seorang pria menikahi wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani). Ia mengatakan, jika Al-Qur’an sudah jelas-jelas membolehkan, mengapa kita umat Islam yang sudah pasti harus tunduk dengan Al-Qur’an justru melarangnya?
Jika mengiyakan pendapat kawan saya tadi, sudah pasti menguntungkan saya dan tentunya saya tidak perlu bertanya di forum konsultasi ini. Tapi biar bagaimana pun, saya adalah tipe orang yang selalu penasaran dan tidak akan berhenti sebelum menemukan jawaban yang menurut saya rasional dan memuaskan. Sudah hampir setahun ini saya berusaha googling, berkonsultasi baik via offline maupun online, ke perpustakaan dan membaca buku-buku yang menurut saya bisa dijadikan referensi.
Pertanyaan saya sederhana, Pak Ustaz. Benarkah Al-Qur’an membolehkan pernikahan seorang muslim dengan wanita non muslilm, terutama wanita Nasrani atau Kristen, sebagaimana ayat 5 Q.S. Al-Maidah sebagai berikut:
ٱلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ وَطَعَامُ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِىٓ أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِٱلْإِيمَٰنِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”
Sebagai info tambahan, Pak Ustaz, saya saat ini sedang menempuh S3 di Amerika. Saya menyaksikan sendiri bahwa di sini dan juga umumnya di belahan Eropa bahwa pernikahan muslim dan non muslim sudah sangat biasa. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang juga tokoh agama Islam. Tentu kita masih ingat bukan bahwa Alm. Yasser Arafat juga menikahi wanita katolik? Dan tentunya, kita juga masih ingat bahwa salah satu menantu tokoh Islam terkenal, Alm. Nurcholis Madjid juga seorang pria Yahudi asal Amerika bukan?
Demikian pertanyaan saya, Pak Ustaz. Saya mohon maaf sekali jika pertanyaan saya cukup panjang.
Wassalam.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Betul sekali, ayat yang Anda sebutkan memang begitu adanya, secara gamblang menghalalkan wanita ahlul kitab untuk dinikahi oleh kaum muslimin. Ulama 4 mazhab juga tidak mengharamkan. Yang dimaksud dengan “tidak mengharamkan” di sini adalah ada madzhab yang membolehkan atau setidaknya memakruhkan dengan kondisi dan kriteria tertentu.[1] Adapun seorang wanita muslimah haram secara mutlak untuk menikahi pria ahlul kitab, baik yahudi dan nasrani dan juga haram menikahi pria non ahlul kitab seperti Majusi, Hindu, Budha, Konghucu, Sinto, Sikh ataupun juga atheis.
Untuk konteks sekarang, Fikih tidak hanya melihat dalil tekstual semata. Ada faktor lain yang menjadi penghalalan atau pengharaman terhadap sesuatu. Ada satu metode atau ada juga yang menyebutnya “kaidah” yang ujung-ujungnya menjadi dalil. Apa itu? Namanya Sad Adz-Zarii’ah, yaitu suatu upaya menutup jalan atau pencegahan agar satu kasus tidak terjadi karena alasan banyaknya dampak mudarat yang timbul akibat perbuatan itu. Kaidah atau dalil ini berhak diambil atau diputuskan oleh negara sebagai pengayom rakyatnya.
Jika kaidah ini yang dipakai, maka pernikahan beda agama sudah pasti haram. Pokoknya beda agama! Mau Islam dengan Kristen, Yahudi, Budha, Hindu dan lain-lain sudah pasti haram.
Inilah yang menjadi landasan Fatwa MUI mengenai haramnya pernikahan beda agama. Tujuan perkawinan itu bukan hanya soal cinta atau seks halal saja. Di antara tujuan pernikahan itu adalah untuk mencapai keluarga sakinah, mawadah dan rahmat, apalagi ada ayat yang juga sangat jelas bahwa seorang kepala keluarga mempunyai tanggung jawab penuh agar istri dan anaknya tidak masuk neraka. Lah, gimana mungkin seorang suami yang muslim bisa menghindarkan istrinya yang non muslim dari neraka? Lah wong istrinya yang non muslim itu sudah pasti masuk neraka! Sampai sini rasional tidak?
Pernikahan beda agama sudah pasti banyak mudaratnya. Bagaimana nanti dengan anak-anak mereka? Apa agama anak-anak mereka nantinya? Ikut agama ayahnya atau ibunya? Justru pernikahan model begini mengorbankan akidah anak! Bagaimana seorang ayah yang muslim cuek bebek jika anaknya memilih agama lain? Bisa? Jika dia rida atau cuek dengan hal ini, dia harus punya kekuatan super untuk menghadapi hisab kelak!
Nurcholis Madjid atau Cak Nur? Orang sudah paham jika beliau adalah salah satu cendekiawan Islam kontroversial! Ga usah aneh! Itu hak beliau dan ijtihad pribadi beliau yang jelas bertentangan dengan Jumhur Ulama sejagat!
Yasser Arafat? Itu hak beliau. Kita lebih mengenal beliau sebagai tokoh perjuangan rakyat Palestina. Kita tidak mengenal beliau sebagai salah satu ulama kelas dunia.
Sekarang terserah Anda, mau ikut fatwa MUI yang jelas-jelas maslahat atau mau ikut Yasser Arafat atau Nurkhalis Madjid!
Sebagai penutup, ada baiknya Anda pertimbangan nasihat Kong Ali kepada cucunya, Malih: “Lih, kalo masih banyak kapal terbang yang bise ngangkut Lu ke Papua, ngapain Lu kesono naek sepede? Kan Lu punye duit banyak?” Kalo mau mandi jangan pake aer got dong! Kan masih banyak aer bersih dari kran rume Lu?”
Demikian.
Wallahu A’lam.
Tim Cordofa
[1] Lihat Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Abdurahaman Al-Juzairi (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1424 H), Juz 4, hlm. 72.
Foto : Unsplash