Kabar Terbaru

Para Pendusta Agama (QS. Al-Ma’un)

Q.S. Surat Al-Ma’un

Muqaddimah

Golongan :

Makiyah dan Madaniyah ( turun dua kali, di Makkah dan Madinah).

Ayat 1-3 turun di Makkah berkenan dengan tingkah laku Al-Ash Ibn Wa’il yang semena-mena terhadap anak yatim. Adapun ayat 4-7 turun di Madinah berkenaan dengan perbuatan Abdullah Ibn Ubay Ibn Salul, seorang tokoh munafik yang mendustakan agama. [1]

Jumlah ayat:

Tujuh (7) ayat menurut hitungan ulama qiraat Kufah dan Bashrah. Enam (6) ayat menurut hitungan ulama qiraat selain Kufah dan Bashrah.[2]

Jika dihitung 7 ayat sebagaimana qiraat yang kita baca, maka :

Ayat 6:

ٱلَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ ﴿٦﴾

Alladziina Hum Yuraa’uun

Ayat 7:

وَيَمْنَعُونَ ٱلْمَاعُونَ ﴿٧﴾

Wa Yamna’uunanl Maa’uun.

Jika dihitung enam ayat, maka:

Ayat 5:

ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥﴾

Alladziina Hum ‘An Shalaatihim Saahuun

Ayat 6:

ٱلَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ وَيَمْنَعُونَ ٱلْمَاعُونَ ﴿٦﴾

Alladziina Hum Yuraa’uuna Wa Yamna’uunal Maa’uun.

Jumlah kata: 25 seperti surat Al-Fatihah

Jumlah huruf: 113.[3]

Isi Kandungan Surat Al-Maun:[4]

  • Celaan terhadap perilaku orang-orang kafir yang mengingkari Hari Perhitungan Amal dan Hari Pembalasan. Sifat-sifat tercela mereka adalah menghardik anak yatim dan tidak mau menganjurkan dan memberi makan orang-orang miskin
  • Celaan terhadap orang munafik, yaitu orang yang menampakkan ke-Islamannya secara fisik namun menyembunyikan kekafiran dalam batinnya. Merekalah orang yang lalai dalam salat, riya’ dalam beribadah dan enggan menolong orang lain.
  • Semua sifat-sifat tercela yang Allah gambarkan di dalam surat ini merupakan sifat-sifat yang dimiliki oleh para pendusta agama. Ya, merekalah yang hanya mengaku Islam saja tanpa mau membantu sesama dan riya’ dalam beribadah.

Hemat penulis, jika kita memiliki satu saja sifat tercela, maka kita termasuk pendusta agama. Contoh:

  • Rajin membantu yatim, giat menolong sesama tapi ibadahnya ingin dipuji orang alias riya’
  • Ikhlas beribadah karena Allah tapi tidak mau menolong sesama.
  • Ikhlas beribadah, giat menolong sesama, tapi lalai salatnya.

Hikmah dari mempelajari, memahami dan merenungi Surat Al-Ma’un ini adalah agar kita lebih berhati-hati dan tidak masuk pada golongan para pendusta agama.

Ayat 1:

أَرَءَيْتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?”

Peertanyaan dari Allah kepada Rasul-Nya ini merupakan salah satu bentuk pengajaran. Kata أَرَءَيتَ yang artinya tahukah engkau (wahai Muhammad) adalah pertanyaan yang dapat menggetarkan hati dan menimbulkan keheranan terhadap objek pertanyaan.[5]

Seakan-akan maknanya seperti ini: Wahai Muhammad, agama itu sesuatu yang amat penting yang bisa membawa penganutnya menuju surga. Tapi ada saja orang yang mendustakaan agama. Dia mengaku beragama dengan baik namun ada beberapa hal yang justru ia ingkari. Nah, apakah engkau mengetahui siapakah orang itu?. Perhatikanlah dengan baik, wahai Rasulku! Dan beritahulah umatmu agar mereka tidak termasuk orang-orang yang secara zahir ber-Islam namun justru mendustakan dan mengingkarinya!

Ayat 2:

فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلْيَتِيمَ

Maka itulah orang yang menghardik anak yatim.”

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menghardik artinya  mengata-ngatai dengan kata-kata yang keras atau membentak-bentak. Al-Imam Jalaluddin Al-Mahalli dalam tafsir Jalalain mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah orang yang menolak anak yatim dengan keras dan tidak mau memberikan haknya yang seharusnya ia terima.[6]

Jika melihat tekstual ayat ini, orang yang menghardik anak yatim merupakan pendusta agama. Walaupun hak anak yatim tersebut diberikan dengan cara menghardik, tetap saja pelakunya disebut pendusta agama. Menghardik anak yatim merupakan tindakan yang sangat dilarang keras. Kaum muslimin dituntut lemah lembut dalam memperlakukan anak yatim. Lihatlah Q.S. Ad-Duha ayat 9 yang melarang kita berbuat sewenang-wenang terhadap anak yatim:

فَأَمَّا ٱلْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ

  “Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.”_

Sebaliknya, memperlakukan anak yatim dengan baik terlebih menjadi kafil (menanggung semua kebutuhan yatim, baik jasmani maupun rohaninya) merupakan amalan yang sangat mulia. Bahkan Rasulullah SAW memberikan apresiasi yang begitu besar kepada “kafilul yatim” sebagaimana dalam hadis:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

Dari Abu Hurariah RA berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Orang yang menanggung anak yatim miliknya atau milik orang lain, aku dan dia seperti dua ini disurga.” Malik (salah satu perawi hadis ini) mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah. (HR. Muslim).

Beruntunglah mereka yang sibuk memperhatikan kebutuhan para yatim. Masuk surga saja sudah nikmat, apalagi posisinya berdampingan dengan Rasulullah SAW. Kedekatannnya dengan Rasulullah bagaikan dekatnya jari Tengah dan telunjuk.

 Ayat 3:

وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلْمِسْكِينِ ﴿٣﴾

 “Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.”

Setelah Allah membeberkan salah satu ciri pendusta agama yaitu menghardik anak yatim pada ayat kedua, Allah melanjutkan ciri berikutnya, yaitu tidak mau mengajak orang agar memberi makan kaum miskin.

Pada ayat ini, Al-Qur’an menggunakan shigat fi’il mudhari’ (suatu pekerjaan yang menunjukkan makna yang selalu dilakukan secara berulang pada masa sekarang dan yang akan datang) untuk يَحُضُّ (mengajak atau menganjurkan).  Artinya, agar tidak dicap sebagai pendusta agama, hendaklah kita selalu menolong orang miskin yang kelaparan.[7]

Untuk konteks sekarang, kata “Yahuddhu” bisa diartikan memikirkan, memprogramkan, menggagaskan atau juga mengkampanyekan segala tindakan dalam bentuk kongkrit secara maksimal. Tegasnya, siapapun kita, harus turut andil untuk mengentaskan kemiskinan di lingkungan kita dari mulai lingkungan keluarga, kerabat, tetangga, lingkungan terdekat dan jangkauan yang lebih luas tentunya.

Kebutuhan orang miskin kan banyak, kenapa dalam ayat ini hanya menyebutkan “tha’aamil miskin” (memberi makan orang miskin) saja? Jawabnya sangat mudah. Makan merupakan kebutuhan primer. Artinya, jika belum bisa membantu semua kebutuhan orang miskin, minimal sekali mereka tidak kelaparan. Betapa malunya kita jika ada orang miskin yang mati kelaparan atau dirawat di rumah sakit padahal dia tinggal dekat masjid. Betapa malunya kita jika ada yang mati kelaparan padahal dia tinggal di lingkungan yang rata-rata memiliki kendaraan roda dua bahkan roda empat yang jumlahnya lebih dari satu!

Jika dalam hal memberi makan saja kita tidak peduli, apalagi membantu mereka memberi modal usaha?. Jika ada kucing yang mati di rumah kita karena kelaparan saja dosa besar, apalagi yang mati adalah manusia!

Pendusta agama adalah orang yang “masa bodo” atau ‘EGP” terhadap orang miskin. Lapar itu engga enak! Suami bisa marah kepada istrinya jika telat masak. Telat saja engga enak, apalagi lapar dan ga ada nasi!

Penulis jadi ingat masa kecil. Ketika ada teman yang sedang makan sesuatu lalu saya minta “bagi dong” dan sang teman tidak mau memberi walapun sedikit, maka keluarlah kata favorit saya untuk mengatakan “Pelit Lu!”

 Ayat 4-5:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾

(4). “Maka celakalah orang yang salat,”

ٱلَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥﴾

(5). “(yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya,”

Wail” yang maknanya adalah celaka adalah suatu ancaman mendapatkan azab di akhirat. Ancaman yang datang dari manusia terkadang bisa terwujud dan tidak terwujud, Tapi lain ceritanya jika suatu ancaman yang datangnya dari Allah, sudah pasti terjadi dan tentunya sangat berat dan pedih jika dirasakan akibatnya.

Allah mengancam orang-orang yang lalai dalam salatnya dengan azab yang sangat besar dan pedih di akhirat. Sebelum diterima di akhirat, azab juga akan ditimpakan di alam kubur.

Mengenai makna ayat 5, orang-orang yang lalai dalam salatnya, banyak ragam pendapat para ulama. Diantaranya ada yang memaknakannya dengan spesifik, yaitu salatnya orang-orang munafik. Penafsiran spesifik ini berdasarkan hadis-hadis Rasulullah secara marfu’ dan ada juga yang bersumber dari para sahabat dan tabi’in.

Adapun salatnya orang-orang munafik sehingga mendapatkan ancaman dari Allah, diantaranya:

  • Menunda-nunda mengerjakan salat bukan karena uzur. Mereka melaksanakan salat di akhir waktu.
  • Mereka melakukan salat jika dilihat orang. Mereka meninggalkan salat jika dirasa aman, jika tidak ada orang yang melihatnya.
  • Salat yang dilakukan dengan malas-malasan (asal jadi).

Salah satu hadis yang dijadikan sandaran dalam penafsiran spesifik ini adalah:

تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيِ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَ أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللَّهُ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا»

Artinya:

“Itu adalah salatnya orang munafik, itu adalah salatnya orang munafik, itu adalah salatnya orang munafik. Dia duduk menunggu matahari dan manakala matahari telah berada di antara kedua tanduk setan (yakni akan tenggelam), maka bangkitlah ia (untuk salat) dan mematuk (salat dengan cepat) sebanyak empat kali, tanpa menyebut Allah di dalamnya melainkan hanya sedikit.” (HR. Muslim).

Adapun penfsiran yang lebih luas, diantaranya:

  • Orang yang tidak mengupayakan khusyuk dalam salatnya. Artinya, salat yang dikerjakan hanya sebatas bacaan dan gerakan saja tanpa ada konektivitas kepada Allah. Tubuhnya salat, namun hati dan pikirannya terfokus kepada selain Allah.
  • Orang yang mengerjakan salat dengan tidak memenuhi syarat dan rukunnya.

Oleh karena itu, menunda-nunda salat bukan karena uzur sehingga salat dikerjakan di akhir waktu dan akhirnya terburu-buru merupakan hal yang sangat tercela dan mendapatkan ancaman serius dari Allah.

Keasyikan berbisnis, keasyikan kerja, keasyikan MAIN HP, keasyikan nonton sinetron dan akhirnya salat asal jadi di akhir waktu, tentu masuk dalam kriteria ayat 5 ini.

Jangan main-main dengan salat, apalagi sampai meninggalkannya. Menurut Fiqh ibadah, orang yang meninggalkan ibadah wajib, maka diharuskan menggantinya (mengqadha’) dan bertaubat kepada Allah.

Ayat 6:

ٱلَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ

“Yang berbuat ria,”

Maksudnya adalah orang yang riya’ dalam salatnya dan hal lainnya.[1][8]

Allah SWT menambahkan ciri-ciri pendusta agama, yaitu orang yang beribadah kepada Allah SWT secara zahir, namun hakikatnya ia ingin mendapatkan pujian dari orang lain. Pelaku riya’ sudah pasti pendusta. Dia sadar betul bahwa ibadah itu harus murni pengabdian kepada Allah dan mengharap ridha’-Nya, bukan mengharap pujian atau ridha’ manusia. Segala bentuk ibadah harus dilakukan murni karena Allah, sesuai firman-Nya:

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ.

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). (Q.S. Al-Bayyinah: 5).

Berikut bahaya riya’ yang disampaikan oleh Rasulullah SAW:

Riya’ merupakan syirik tersembunyi dan lebih bahaya dari fitnah Dajjal.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنْ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ قَالَ قُلْنَا بَلَى فَقَالَ الشِّرْكُ الْخَفِيُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

Dari Abu Sa’id dia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar bersama kami, sementara kami saling mengingatkan tentang Al Masih Ad Dajjal, maka beliau bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih aku khawatirkan terhadap diri kalian daripada Al Masih Ad Dajjal?” Abu Sa’id berkata, “Kami menjawab, “Tentu.” Beliau bersabda: “Syirik yang tersembunyi, yaitu seseorang mengerjakan salat dan membaguskan salatnya dengan harapan agar ada seseorang yang memperhatikannya.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad).

Allah berlepas diri dari pelaku syirik.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ فَمَنْ عَمِلَ لِي عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ غَيْرِي فَأَنَا مِنْهُ بَرِيءٌ وَهُوَ لِلَّذِي أَشْرَكَ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah ‘azza wajalla berfirman; ‘Aku adalah zat yang tidak membutuhkan sekutu, maka barangsiapa mengerjakan suatu amalan dengan menyertakan sekutu selain diri-Ku, maka Aku berlepas diri darinya, dan ia milik sekutu yang disertakannya itu.” (HR. Ibnu Majah).

Ayat 7:

وَيَمْنَعُونَ ٱلْمَاعُونَ

“Dan enggan (memberikan) bantuan.”

Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari ayat 7 ini.[9]

Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘Al-Ma’un adalah zakat. Artinya, pendusta agama adalah adalah golongan orang-orang yang enggan berzakat. Pendapat ini bersandar kepada qaul Ibn Umar RA, Al-Hasan, Qatadah dan Ad-Dhahhak.

Sedangkan menurut pendapat kedua arti Al-Ma’un adalah kapak, ember, periuk dan sejenisnya. Pendapat ini bersandar berdasarkan riwayat Ibn Abbas dan Said ibn Jubair.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa arti Al-Ma’un adalah barang-barang yang bisa dipinjamkan. Pendapat ini bersandarkan kepada riwayat Mujahid.

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, Ikrimah mengatakan bahwa Al-Ma’un bisa bermakna zakat (makna yang paling tinggi) dan juga bisa bermakna barang yang dapat dipinjamkan (makna paling dasar).

Intinya, melalui ayat ayat ini, Allah mengabarkan kepada kita bahwa salah satu ciri pendusta agama adalah orang yang tidak mau membantu orang lain, baik dengan cara enggan berzakat, enggan bersedekah dan juga tidak mau memberikan bantuan walapun dalam bentuk sederhana, contohnya enggan  meminjamkan barang-barang yang diperlukan seperti kapak, cangkul, periuk dan lain-lain. Tegasnya, golongan ini adalah golongan kikir bin medit alias pelit!

Semoga kita semua selalu diberikan petunjuk oleh Allah SWT agar terhindar dari sifat kemunafikan dan tidak tergolong pendusta agama, aamiin,

Wallahu A’lam.

Foto : Freepik

[1] Lihat Hasyiyah As-Shawi Al-Maliki Ala Tafsir Al-Jalalain, Dar Al-Kitub Al-Ilmiyah, Beirut: 1420 H, Juz 6 hal. 343.
[2] Lihat Al-Bayan Fi ‘Ad Ay Al-Qur’an oleh Al Imam Abu Amr Ad-Dani, Markaz Al-Makhthuthat Wa At-Turats Wa Al-Watsaiq, Kuwait: t.t. hal. 291.
[3] Ibid
[4] As-Syaikh Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, Dar Al-Fikr, t.t. JUz 15, hal. 819.
[5] Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim Juz “Amma, Dr. Abdul Malik Al-Qasim, Dar Al-Qasim Maktabah Al-Mamlakah Al-Malik Fahd, Riyadh: 1430 H,  hal. 185.
[6] Lihat Tafsir Al-Jalalain Al-Muyassar, Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi, Maktabah Libnan, Beirut: 2003 M, hal. 602.
[7] Lihat Tafsir At-Tahrir Wa At-Tanwir, Syaikh Ibn Asyur, Ad-Dar At-Tunisiah, Tunis: 1984, Juz 30, Hal. 565.
[8] Lihat Tafsir Jalalain
[9] Lihat Tafsir Al-Baghawi, Riyadh: Dar Thayba, 1412 H, Juz 8 hal. 552-553.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *