Kabar Terbaru

Pak Haji dan Bu Hajah

Di Indonesia, orang yang telah menunaikan rukun Islam ke-5 biasa diberi gelar Haji untuk kaum lelaki dan Hajah untuk kaum perempuan. Huruf kapital H titik atau Hj titik biasanya disematkan di depan nama sebagai penanda bahwa yang punya nama sudah berhaji.

Entah bagaimana awalnya gelar atau titel tersebut biasa disematkan di Indonesia. Di negara muslim lainnya, bahkan di Arab sendiri gelar non akademik ini tidak ada. Justru aneh bagi orang Arab jika di depan nama mereka ada titel Haji. Mereka beranggapan bahwa haji adalah perkara ibadah yang tidak perlu ada titel bagi yang telah melaksanakannya. Bagi mereka, haji sama dengan kewajiban ibadah lainnya seperti salat dan zakat. Apa iya orang yang biasa menjalankan salat harus diberi titel Musolli?

Tak bisa dipungkiri juga memang, bahwa ada segelintiran orang Indonesia yang “agak nyinyir” ketika melihat tulisan H. Kokasih misalnya. Segelintiran orang ini menganggap bahwa orang yang dipanggil “Haji” berbangga dengan gelarnya dan menimbulkan riya. Bahkan lebih ekstrim lagi, ada anggapan bahwa gelar Haji terkesan “norak”.

Jika kita lebih jeli lagi mengamati, gelar Haji sudah tidak sesemarak dulu. Akhir-akhir ini sudah banyak orang yang tidak meyematkan huruf H titik di depan namanya, khususnya kaum muda, pebisnis, akademisi dan profesional. Tapi untuk di daerah non perkotaan, gelar Haji sepertinya masih sangat umum.

Masalah mau memakai titel Haji memang pilihan masing-masing. Yang mau pakai silakan dan yang enggan juga tidak masalah. Namun menurut penulis, gelar Haji di depan nama sebaiknya terus dibudayakan selama yang memakai gelar tersebut tidak riya’ dan merasa lebih unggul dari yang belum berhaji.

Menurut penulis, gelar Haji sangat positif, diataranya alasannya adalah:

  1. Sebagai pengingat bagi yang punya gelar agar selalu menjaga akhlak dan muru’ah. Jika dulu sebelum haji sangat biasa ceplas-ceplos, sesudah haji harus lebih menjaga lisan. Jika dulu sebelum haji tidak malu joget diatas panggung sambil “nyawer” biduanita seksi, maka setelah berhaji tidak lagi seperti itu dan justru lebih banyak bersedekah atau berinfak kepada fakir miskin dan masjid.
  2. Sebagai motivasi untuk meningkatkan ketakwaan. Jika dulu sebelum haji mungkin masih ada salat yang bolong, malas ke masjid dan malas ke majelis ilmu, maka setelah berhaji menjadikannya lebih rajin salat, rajin ke masjid dan majelis ilmu.
  3. Sebagai pengingat untuk terus bersyukur kepada Allah. Haji merupakan ibadah yang cukup berat karena memerlukan biaya dan fisik yang layak. Tidak semua orang punya kemampuan berhaji dan mau berhaji.
  4. Melestarikan salah satu budaya atau tradisi positif di Indonesia sebagai negara mayoritas muslim.
Semoga Pak haji dan Bu haji di negara kita mampu menjaga kemabruran haji, memberikan kontribusi dan manfaat bagi masyarakat dan masuk surga, sebagaimana hadis Rasulullah SAW:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ.

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Umrah demi ‘umrah berikutnya menjadi penghapus dosa antara keduanya dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga”. (HR. Bukhari).

 Wallahu A’lam.
Foto : Freepik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *