Manusia adalah makhluk paling sempurna. Selain panca indera, manusia dibekali nafsu agar hidupnya bergairah dan indah. Berbeda dengan malaikat, malaikat hanya dibekali ketaatan tanpa nafsu sedikitpun. Malaikat tidak makan dan minum, tidak tertarik dengan kekayaan dan juga kenikmatan dunia. Dari pertama diciptakan, malaikat begitu-begitu saja, tidak ada yang berubah sampai hari kiamat.
Simak firman Allah berikut:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ.
“Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Q.S. Ali Imran: 14).
Mudahnya, diantara makna ayat ini adalah:
- Bahwa syahwat (nafsu) bagi manusia adalah fitrah.
- Allah mencontohkan bahwa manusia memiliki kecintaan kepada lawan jenis sehingga terjadilah pernikahan. Dari pernikahan lahirlah anak keturunan dan tentu kita sangat mencintai mereka.
- Emas dan perak. Untuk konteks saat ini, emas dan perak juga bisa dimaknakan uang yang menumpuk di rekening bank, dan aset-aset berharga.
- Kuda pilihan. Untuk konteks saat ini bisa dimaknakan dengan kendaraan mewah dan sangat bergengsi.
- Hewan ternak dan sawah ladang, untuk konteks saat ini bisa diartikan dengan usaha yang dimiliki, bisa juga toko, bidang jasa dan perusahaan.
- Semua itu adalah perhiasan dunia dan tentunya boleh diinginkan, didapatkan dan dimiliki.
- Disisi Allah-lah tempat kembali yang baik, artinya jika manusia dapat mengupayakan dan menggunakan semua “perhiasaan dunia” sesuai dengan aturan syariat, maka semua itu menjadi kebaikan dan memperoleh ridha Allah. Sebaliknya, jika didapatkan dan digunakan dengan cara yang haram, maka semua itu menjadi petaka bagi manusia.
Memiliki isteri dan anak, lalu mendidik mereka menjadi orang yang bertakwa adalah anugerah. Hal ini dapat dikatakan menggunakan syahwat pada tempatnya. Namun menjadi celaka adalah ketika seorang suami atau istri berzina, naudzubillah! Hal itu adalah lacur dan menempatkan syahwat bukan pada tempatnya!
Begitupun dengan anak, bisa menjadi celaka jika semua keinginan anak kita turuti karena kecintaan yang berlebihan dan dapat melalaikan orang tua dari dzikir kepada Allah. Cinta berlebihan ini adalah “fitnah” yang tentunya bisa menjebloskan orang tua ke penjara.
Harta juga begitu. Kita boleh mencari harta sebanyak-banyaknya namun dengan cara halal. Setelah didapatkan juga harus digunakan dengan amanah dan syukur. Orang yang tidak peduli dengan halal-haram dalam memperoleh harta, bisa dikatakan serakah menjadi “budak harta”.
Intinya, orang yang tidak bisa mengendalikan syahwatnya dengan hak, cenderung berbuat zalim, baik untuk dirinya dan juga orang lain.
Orang yang diperbudak jabatan, tentu selalu berupaya mempertahankan jabatannya dengan segala cara. Tidak peduli halal-haram dan menabrak aturan yang ada, baik aturan agama dan juga negara.
Setan selalu membantu orang yang mengikuti hawa nafsu agar ia semakin sesat dan jauh dari Allah SWT. Bahkan yang paling parah adalah ketika ia mati dalam keadaan su’ul khatimah dan tidak bertaubat kepada Allah SWT.
Sebelum tulisan ini diakhiri, kita simak hadis Rasulullah SAW agar kita selamat dunia akhirat. Intinya, jadikan nafsu untuk tunduk kepada syariat. Jangan jadikan nafsu sebagai penjajah diri kita. Namanya penjajah tentu merendahkan, merusak dan menghancurkan. Mana ada penjajah yang baik! Berikut hadisnya:
عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ» حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ رَوَيْنَاهُ فِي كِتَابِ الحُجَّةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ.
Dari Abu Muhammad Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak beriman seorang dari kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Hadits hasan sahih, kami meriwayatkannya dari kitab Al-Hujjah dengan sanad shahih).[1]
Wallahu A’lam.
Foto : Freepik
[1] Hadis Arbain An-Nawawiyah ke 41.