“Ketika Rasulullah Saw duduk bersama para sahabat, lewatlah seorang lelaki dengan penuh semangat. Salah seorang sahabat berkata, “Alangkah baiknya sekiranya semangatnya itu dimanfaatkan di jalan Allah.” Nabi menjelaskan, “Jika dia keluar untuk (keperluan) anaknya yang masih kecil, dia itu di jalan Allah. Jika dia keluar untuk (keperluan) kedua orangtuanya yang sudah tua renta, dia di jalan Allah. Jika dia keluar bekerja untuk menjaga kesucian dirinya (dari meminta-minta), dia juga di jalan Allah. Dan jika dia keluar untuk pamer dan gagah-gagahan, dia di jalan setan.” (HR.At-Tabhrani, No. 15619)
Dalam berdakwah, ada hal-hal yang tak pernah kita rencanakan justru yang terjadi. Ada hal-hal yang kita anggap sudah cukup, ternyata harus ditambah. Bisa jadi dalam perjalanan dakwah ini, kita memiliki hasrat terhadap sesuatu, terhadap seseorang. Ada rasa kecewa terhadap keadaan yang sedang berjalan. Dan boleh jadi, semua hal yang tidak sesuai dengan rencana dakwah kita hanya bersebab tidak mencukupinya pundi harta yang terada.
Rasulullah Saw mengajarkan kita, umatnya untuk siap sedia mengoptimalkan setiap potensi jasmani dan ruhani demi meningkatkan kualitas diri, termasuk dalam bekerja atau berbisnis.
Harta kekayaan memang bukan tujuan hidup, tapi kita tidak akan mencapai tujuan hidup tanpa harta kekayaan. Maka menjadi penting untuk memastikan bahwa sereceh-receh harta yang kita miliki harus senantiasa terpundi secara halal dan baik.
Mencari rezeki yang halal merupakan perintah Allah dan Rasulullah yang harus disikapi secara serius dan bersungguh-sungguh dalam mengamalkannya. Sungguh tidak berlebihan jika harus dikatakan kalau kesungguhan berbisnis secara halalan thoyiban dilakukan sebagaimana kesungguhan untuk mengamalkan setiap rukun dalam Islam.
Islam tidak melihat berbisnis atau berprofesi hanya sebagai pekerjaan atau sekadar kegiatan ekonomi, melainkan aktivitas yang mencerminkan keimanan, manifestasi tauhid, dan bukti ketinggian akhlak yang juga alat ukur ketakwaan kepada Allah.
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang muhtarif (bekerja, berprofesi, dan berbisnis).” (HR. At-Tabhrani, No. 13022)
“Pedagang (pebisnis) yang amanah dan dapat dipercaya, akan dibangkitkan di surge bersama para nabi, orang-orang yang dapat dipercaya, dan orang-orang yang mati syahid.” (HR. At-Tirmidzi, No. 1209)
Oleh sebab itulah, esok, sebagai apapun kita saat ini, ingat selalu untuk mengisi kantong kita dengan cara-cara yang baik. Bahkan jika kamu adalah seorang da’i. Karena kita tidak akan bisa memberikan jika tidak memiliki. Kita tidak akan bisa memberikan dakwah jika tidak memiliki harta kekayaan sebagai tiangnya. (M. Azzam/Cordofa)
One thought on “Nadi Dakwah”