Perkenalkan, nama saya Vera Dewi Eliyanti, kelahiran Banjarnegara 10 Agustus 1988. Saya memiliki anak laki-laki berusia 5 tahun, bernama Alderin, lahir pada tanggal 27 Juni 2011. Ayah Alderin meninggalkan kami begitu saja. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, saya sempat bekerja di photocopy, kemudian bekerja di salah satu jasa asuransi di kawasan Jakarta.
Perjalanan kehidupan mengantarkan saya bertemu dengan seorang laki-laki baik asal Pulau Sangir, Manado. Walapun ia masih lajang, tapi dapat menerima status saya sebagai seorang janda yang telah memiliki satu anak. Sebagai bukti ketulusan, ia ingin menjadikan saya sebagai istri. Sungguh bahagia hati ini, tapi tidak lama kebingungan pun hadir karena ia mengajak saya untuk menikah di Gereja. Saya jatuh dalam kebimbangan—pikiran dan hati berkecamuk—seolah sedang mengkhianati diri sendiri. Saya yang hidup dengan kesendirian bersama anak sebatang kara, sementara ia terus membujuk menikah. Tidak ada pilihan lain bagi saya, dan kejadian kali ini seperti melangkahi gunung besar dengan kaki sendiri, satu hal yang sepertinya mustahil dalam kehidupan nyata.
Ketika membuka mata, saya melihat ada calon suami berdiri di sebelah. Saya mendengar Bapak Pendeta Dr. Daniel Tjandra menngucapkan beberapa kalimat untuk menikahkan kami. Atas nama Tuhan Yesus Kristus, saya dinikahkan pada Minggu, 25 Desember 2010 pukul 16.00 WIB, bertempat di Gereja Bethel Indonesia, Mangga Dua, Jakarta Pusat.
Waktu kian berjalan, belum satu tahun saya melahirkan bayi perempuan yang cantik. Kami beri nama Natalia Ivy, lahir pada tanggal 5 desember 2012. Suami saya bekerja di laut. Entah karena apa, belakangan ini rumah tangga kami sering ribut. Sikap kasar sering ia luapkan pada saya hingga nyaris merenggut nyawa. Bahkan pernah ia marah dengan memukuli saya hingga wajah merah lebam. Tubuh saya terluka dan terlebih sakit. Hancur hati ini. Saya menangis hingga penyesalan hadir atas langkah yang mengkhianati iman dan meninggalkan Allah ta’ala. Selain itu, saya juga melukai keluarga di Banjar Sari Jawa Tengah.
Beban saya begitu berat hingga nurani mengajak saya untuk kembali kepada Islam. Dalam kelelahan saya sampaikan keinginan untuk kembali dalam pangkuan Muhammad utusan Allah. Suami saya, Mas Andry, marah besar hingga tubuh saya yang sudah tak bertenaga kembali ia lukai. Akhirnya saya putuskan untuk meninggalkannya. Meninggalkan Tuhan Yesus. Dengan sisa tenaga, saya bawa kedua anak untuk menemui sahabat lama. Alhamdulillah ia mengizinkan untuk istirahat di kosannya. Kami mengatur rencana untuk kehidupanku ke depan. Shodaqo wa’dah wanashoro abdah.
Hadirlah pertolongan para aktivis dakwah Cordofa (Corps Dai Dompet Dhuafa) dan MCI (Muallaf Centre Indonesia) yang Allah kirimkan. Mereka membawa kami kepada Wisma Muallaf yang saat ini bersinergi dengan Yayasan Sabilil Muhtadin. Kami dijemput sekitar pukul 20.00 WIB di daerah Lenteng Atas, Jakarta. Kami pun diantar ke pinggiran Jakarta. Lelah, terasa sangat berat tubuh ini karena lamanya perjalanan. Hingga akhirnya kendaraan yang kami tumpangi berhenti di sebuah Gedung Wisma Muallaf pada Selasa pukul 23.30 WIB. Dan inilah kehidupan baru saya. Dengan basmallah, saya mulai bertaubat kepada Allah Robul ‘alamin dan berikhtiar untuk menata diri dengan lebih baik untuk menjadi muslimah yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Oleh Ust. Irfan (Yayasan Sabilil Muhtadin) dan Siti Nur Arifah (Cordofa)