Assalamu’alaikum Wr Wb.
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berkonsultasi.
Saya adalah salah seorang guru Pendidikan Agama Islam pada salah satu SLTA di Jakarta. Saya memiliki seorang siswa yang sangat cerdas dan kritis. Belum lama ini siswa saya bertanya kepada saya mengenai siasat Nabi Yusuf AS tentang adik kandung beliau, Benyamin.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Yusuf memerintahkan salah satu pegawainya untuk meletakkan piala emas di karung Benyamin. Maksud dari siasat beliau adalah agar Benyamin tertuduh sebagai pencuri dan dipenjara. Dengan begitu, Benyamin tidak bisa pulang ke kan’an bersama saudara-saudaranya yang lain.
Siswa saya yang cerdas itu bertanya, tepatnya mengkritisi sikap Nabi Yusuf yang melakukan kebohongan. Efek dari kebohongan tersebut adalah menambah kesedihan Nabi Ya’qub dan mencemari nama baik adiknya sendiri. Bukankah para Nabi tidak boleh berbohong dan mencemari nama baik seseorang dan menambah kesedihan ayah kandung beliau sendiri?
Mendapat pertanyaan dari siswa saya tersebut, terus terang saya tidak bisa menjawabnya dengan tegas. Karena saya bukanlah seorang ahli tafsir, maka saya mohon pencerahan dari Ustaz agar saya bisa memberikan jawaban yang tepat dan tidak membuat siswa saya tersebut salah menilai kemuliaan para nabi.
Demikian permohonan saya dan terima kasih.
Wassalam.
Wa’alaikumussalam wr wb.
Pertanyaan yang sangat menarik tentunya. Mohon maaf jawaban kami apabila dirasa terlalu panjang dengan tujuan agar benar-benar dipahami dan sangat banyak hikmah yang terkandung didalamnya. Baiklah, berikut kami lampirkan segmen kisah di atas melalui Q.S. Yusuf ayat 69-76 sekaligus dengan tafsir singkat dari beberapa ulama, sebagai berikut:
Ayat 69:
“Dan ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, dia menempatkan saudaranya (Bunyamin) di tempatnya, dia (Yusuf) berkata, “Sesungguhnya aku adalah saudaramu, jangan engkau bersedih hati terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
Tafsir :
Setelah berhasil memasuki Mesir secara terpisah, mereka bertemu dan menyatu kembali kemudian segera pergi menemui Bendahara Mesir untuk membeli gandum kali kedua.
Bertemulah mereka dengan Bendahara Mesir (Nabi Yusuf AS). Tentu Yusuf As harus mengendalikan diri ketika melihat adik kandung yang sangat ia rindukan. Teringatlah masa kecil yang begitu indah ketika mereka bermain bersama. Hampir 40 tahun dua saudara kandung ini terpisah dan sekarang tampak dihadapannya. Saya mengutip kisah pertemuan dua saudara yang sangat mengharukan ini melalui salah satu riwayat yang terdapat dalam Tafsir Al-Baidhawi sebagai berikut :
أنه أضافهم فأجلسهم مثنى مثنى فبقي بنيامين وحيداً فبكى وقال: لو كان أخي يوسف حياً لجلس معي، فأجلسه معه على مائدته ثم قال: لينزل كل اثنين منكم بيتاً وهذا لا ثاني له فيكون معي فبات عنده وقال له: أتحب أن أكون أخاك بدل أخيك الهالك، قال: من يجد أخاً مثلك ولكن لم يلدك يعقوب ولا راحيل، فبكى يوسف وقام إليه وعانقه وقالَ إِنِّي أَنَا أَخُوكَ فَلا تَبْتَئِسْ فلا تحزن افتعال من البؤس. بِما كانُوا يَعْمَلُونَ في حقنا فيما مضى.
“Yusuf As menjamu mereka dan menempatkan (tempat duduk) mereka dua orang-dua orang. Lalu tinggallah Benyamin duduk sendirian dan menangis. Kemudian dia berkata : “ Andai saja saudaraku Yusuf masih hidup, tentu saja dia duduk bersamaku !”
Mendengar isak tangis dan perkataan Benyamin, Yusuf menempatkan Benyamin duduk (dan makan) bersamanya, lalu berkata : Setiap dua orang dari kalian akan menginap di satu rumah. (Saudara kalian) ini (Benyamin) sendirian, maka dia (menginap) bersamaku (di rumahku).”
Bendahara Mesir berkata kepada Benyamin saat menginap di rumahnya, “Apakah engkau berkenan jika aku menjadi pengganti saudaramu yang hilang itu ?” Benyamin menjawab : ”Siapakah orang yang tidak mau menjadi saudara seperti Anda, Tuan? Namun biar bagaimanapun, Tuan bukanlah orang yang dilahirkan oleh Ya’qub dan Rahil !,” Lalu Menangislah Yusuf As. Beliau berdiri dan memeluk Benyamin dan mengatakan : “Sungguh, Akulah Yusuf, saudara kandungmu.” Janganlah kamu bersedih terhadap apa yang mereka lakukan dahulu terhadap kita !”
Ya Allah, betapa haru dan bahagianya dua saudara yang saling merindukan sejak sangat lama lalu kemudian kembali bertemu.
Sedikitnya ada dua poin yang dapat kita jadikan hikmah :
- Jangan remehkan pesan orang tua. Pesan yang disampaikan orang tua terhadap anak-anaknya terjadi lantaran kuat dan besarnya cinta.
- Sesama muslim harus mencintai karena Allah, terlebih sesama saudara kandung. Hindari sesuatu yang berpotensi menyebabkan ketidak harmonisan dan pertengkaran sesama saudara. Jika dengan orang lain saja kita bisa sangat ramah dan menolong, mengapa sampai terjadi ketidak harmonisan ?
Ayat 70:
“Maka ketika telah disiapkan bahan makanan untuk mereka, dia (Yusuf) memasukkan piala ke dalam karung saudaranya. Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan, “Wahai kafilah! Sesungguhnya kamu pasti pencuri.”
Tafsir:
Setelah pertemuan dua saudara kandung yang sangat mengharukan itu terjadi sebagaimana digambarkan pada ayat 69, maka terjadilah dialog lanjutan mereka berdua kearah yang lebih serius lagi. Saya mengutip keterangan yang terdapat dalam Tafsir Al-Qurthubi berikut ini :
لما عرف بنيامين أنه يوسف قال له : لا تردني إليهم ، فقال : قد علمت اغتمام يعقوب بي فيزداد غمه ، فأبى بنيامين الخروج ; فقال يوسف : لا يمكن حبسك إلا بعد أن أنسبك إلى ما لا يجمل بك : فقال : لا أبالي ! فدس الصاع في رحله ; إما بنفسه من حيث لم يطلع عليه أحد ، أو أمر بعض خواصه بذلك
Setelah Benyamin mengenal bahwasanya dia adalah Yusuf, maka dia brkata : “Janganlah engkau mengembalikanku kepada mereka!, Maka Yusuf menjawab : Sungguh engkau benar-benar mengetahui kegundahan (ayah kita) Ya’qub terhadapku, maka gundahnya akan semakin menjadi-jadi!.” Benyamin (tetap) tidak mau keluar. Yusuf berkata (lagi) : “Tidak mungkin aku menisbatkan kamu terhadap sesuatu yang membuatmu menjadi tidak baik (di mata orang lain?).” Benyamin menjawab : “Aku tidak peduli !” Maka Yusuf meletakkan “Sha’” di karungnya (karung Benyamin). Al-Qurthubi menambahkan, bisa saja Nabi Yusuf sendiri yang meletakkan ‘Sha’ tersebut ke dalam karung adiknya tanpa seorang pun yang melihat atau bisa jadi Beliau menyuruh sebagian asistennya untuk melakukan itu.
“As-siqayah” dalam ayat ini menurut terjemah DEPAG RI adalah “piala.” Sedangkan dalam Tafsir Al-Qurthubi diartikan “Sha’”, yaitu “alat takar”. Beliau menjelaskan bahwa ‘Siqaayah’ yang arti harfiahnya adalah tempat minum karena alat minum itu mempunyai dua gagang, satu gagang digunakan untuk minum yang dulunya digunakan oleh Raja Mesir, satu gagang lagi digunakan untuk menakar gandum khusus untuk melayani saudara-saudara Yusuf As.
Mengapa kok ada yang mengartikan dengan piala?, Bisa saja karena melihat bentuk bendanya, yang mirip piala karena mempunyai dua gagang ditengahnya seperti tempat minum Raja yang dihadiahkan kepada Nabi Yusuf. Dua terjemahan ini, baik piala maupun ‘Sha’ tidak perlu diperdebatkan, yang penting benda ini adalah benda yang dimasukkan ke dalam karung bawaan Benyamin sebagai siasat agar Benyamin tetap berada di Mesir dan tidak mau pulang bersama saudara-saudaranya sesuai permintaannya sendiri.
“Siqaayah” yang dimaksud ini lapisannya terbuat dari apa?
Para ulama juga berbeda pendapat. Ada yang mengatakan dilapisi emas, ada yang mengatakan perak ada juga yang mengatakan permata.
Lalu mengapa menggunakan alat yang begitu mewah jika hanya dipergunakan untuk menakar gandum?
Tujuannya adalah untuk memuliakan keluarga Nabi Ya’qub!, Adapun tamu-tamu lain yang datang untuk membeli gandum hanya dilayani dengan alat biasa, tidak menggunakan “siqayah”.
Lalu mengapa Nabi Yusuf melakukan hal ini?, Apakah nanti tidak ada anggapan bahwa Benyamin itu dituduh pencuri nantinya ?
Jawaban yang paling tepat adalah hal ini dilakukan Nabi Yusuf karena perintah Allah melalui wahyu. Yang beliau lakukan nantinya mengandung hikmah berharga bagi saudara-saudara Yusuf nantinya bahwa “kejujuran yang pernah dilakukan oleh pembohong itu tidak langsung bisa dipercaya”. *Hikmah tersebut nanti akan kita temukan pada ayat-ayat berikutnya.
Lalu, apakah tindakan Nabi Yusuf tersebut tidak malah menjadikan Nabi Ya’qub lebih tersiksa karena terpisah dengan benyamin? Sebagaimana yang beliau khawatirkan sebelumnya ketika berdialog dengan Bemyamin?
Sebagian ulama menafsirkan bahwa hal itu memang membuat Nabi Ya’qub sedih, namun tidak begitu berpengaruh. Yang membuat Nabi Ya’qub sangat bersedih adalah karena terpisah dari Nabi Yusuf, bukan Benyamin.
Singkat cerita, seluruh saudara Nabi Yusuf berangkat pulang, termasuk Benyamin. Belum begitu jauh rombongan kafilah tersebut meninggalkan kediaman Nabi Yusuf, mereka menoleh kebelakang, arah dimana ada suara keras menyeru mereka seperti yang digambarkan pada bagian ayat :
ثُمَّ أَذَّنَ مُؤَذِّنٌ أَيَّتُهَا ٱلْعِيرُ إِنَّكُمْ لَسَٰرِقُونَ
“Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan, “Wahai kafilah! Sesungguhnya kamu pasti pencuri.”
Ternyata suara tersebut berasal dari sekelompok pasukan istana yang mencegah mereka pulang. Mereka diperintahkan untuk memberhentikan kafilah yang sangat diduga kuat mencuri ‘Siqaayah” itu.
Lho, kok mereka bisa langsung mengatakan ‘Kalianlah yang benar-benar mencuri barang yang kami cari atas perintah Yusuf?
Sebagian ulama menafsirkan bahwa Nabi Yusuf menggunakan kata tersebut karena sejatinya mereka dulu “mencuri” Yusuf dari pangkuan Ya’qub agar mereka bisa membuang Yusuf ke dalam sumur!
Ayat 71:
“Mereka bertanya, sambil menghadap kepada mereka (yang menuduh), “Kamu kehilangan apa?”
Tafsir:
Sebagaimana ayat 70 surat ini, ketika 11 orang saudara-saudara Nabi Yusuf AS menuju perjalanan pulang dan mendengar seruan yang menuduh mereka mencuri sesuatu barang milik Raja. Seketika itu juga mereka menoleh ke belakang dimana asal suara datang. Setelah wajah saling berhadapan, mereka bertanya, apa yang hilang dari kalian ?”
Pertanyaan seperti ini menggambarkan bahwa mereka bukanlah pencuri sebagaimana dituduhkan kepada mereka. Dari pertanyaan ini, Syeikh As-Sa’di menggambarkan ketenangan mereka dalam menepis tuduhan sebagai pencuri. Biasanya pencuri yang sesungguhnya akan menyembunyikan kegundahan dan ketakutan yang jika diperhatikan dari gestur tubuhnya secara seksama. Pencuri secara spontan memerlukan beberapa detik untuk mengarang kalimat yang akan dilontarkannya sebagai bantahan.
Syeikh Wahbeh Az-Zuhaili turut mengatakan bahwa pencuri akan menjauh sebisanya dari orang yang mencurigainya. Sedangkan saudara-saudara Nabi Yusuf tidak menjauh dari mereka bahkan menghadapkan wajah para penyeru dan menanyakan barang apa yang hilang dari mereka.
Ayat 72:
Mereka menjawab, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu.”
Tafsir:
Sang penyeru mengatakan kepada sauadara-saudara Nabi Yusuf bahwa mereka kehilangan piala Raja Mesir. Siapa saja (di antara kalian) yang dapat mengembalikannnya (menemukannya), maka ia berhak memperoleh bahan makanan seberat yang bisa dibawa oleh seekor unta, Aku yang menjamin! Artinya, sang penyeru menjamin akan memberikan hadiah kepada siapa saja dari mereka yang menemukan piala raja sebelum diadakan pemeriksaan pada karung-karung bahan makanan yang mereka bawa pulang ke negeri mereka, Kan’an.
Hikmah :
Tertuduh itu tidak nyaman alias tidak enak, apalagi yang dituduhkannya adalah sebuah kebohongan yang direkayasa sedemikian rupa agar tertuduh rusak nama baiknya. Tapi pada ayat ini, maksud Nabi Yusuf As bukankah menuduh mereka sebagai pencuri sesungguhnya. Nabi Yusuf sekedar bersiasat agar mereka merasakan ketidaknyamanan sebagai orang yang tertuduh. Pada ayat-ayat berikutnya kita akan memahami bahwa mereka pernah menuduh Nabi Yusuf mencuri barang sewaktu kecil. Selain motif memberikan pelajaran, tindakan semacam ini juga sebagai siasat agar adiknya Benyamin bisa tinggal bersama Nabi Yusuf As sampai seluruh keluarga Nabi Yusuf semuanya berkumpul di dan tinggal di Mesir.
Ayat 73:
“Mereka (saudara-saudara Yusuf) menjawab, “Demi Allah, sungguh, kamu mengetahui bahwa kami datang bukan untuk berbuat kerusakan di negeri ini dan kami bukanlah para pencuri.”
Tafsir:
Setelah mereka (saudara-saudara Nabi Yusuf AS) dituduh mencuri oleh utusan istana, mereka mengatakan : “Demi Allah!, Sungguh kalian sudah tahu bahwa kedatangan kami bukan untuk membuat kerusakan di negeri Mesir ini. Kami bukanlah pencuri.”
Seolah-oleh mereka berdalih : “Tidakkah kalian lihat bagaimana sikap dan akhlak kami selama berada di Mesir. Kalian telah lihat pula bagaimana Petinggi Mesir memuliakan kami dengan menjamu kami, hanya kami yang beliau jamu sedangkan kabilah-kabilah lain tidak walaupun satu kampung dengan kami. Bagaimana mungkin kami mencuri, apalagi mencuri barang orang yang telah berbuat sangat baik kepada kami. Bukankah kalian tahu bahwa kami semua adalah anak kandung Nabi Ya’qub, sifat wara’ dan ketakwaan beliau tentu kami warisi !”
Apakah utusan istana percaya begitu saja dengan sangkalan mereka?. Lihat ayat berikutnya.
Ayat 74:
“Mereka berkata, “Tetapi apa hukumannya jika kamu dusta?”
Tafsir:
Maksudnya, utusan istana bertanya, apabila kalian berdusta terhadap pengakuan kalian dan terbukti bahwa salah satu diantara kalian adalah pencuri piala itu, apa konsekuensinya?
Sebagian mufassir meriwayatkan, bagaimana kebiasaan di negeri kalian terhadap orang yang terbukti mencuri ?
Ayat 75:
“Mereka menjawab, “Hukumannya ialah pada siapa ditemukan dalam karungnya (barang yang hilang itu), maka dia sendirilah menerima hukumannya. Demikianlah kami memberi hukuman kepada orang-orang zalim.”
Tafsir:
Saudara-saudara Nabi Yusuf mengatakan jika salah seorang di antara kami di dalam karungnya ditemukan piala itu, maka dialah pencurinya!. Pencuri adalah orang yang berbuat zalim kepada orang yang barangnya dicuri. Kami harus memberikan sanksi kepada si pencuri. Kebiasaan di negeri kami, sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi kami, bahwa pencuri harus diserahkan kepada orang yang kecurian. Dia berhak menjadikan pencuri sebagai budaknya sebagai balasan kezaliman yang telah dilakukan pencuri.
Akhirnya, kedua belah pihak sepakat, jika diantara karung bawaan mereka ditemukan piala, maka dialah pencurinya dan harus diserahkan kepada pemilik piala, yaitu Bendahara Mesir yang mereka tidak sadari bahwa beliau adalah saudara mereka sendiri, Yusuf Alaihissalam.
Salah satu hikmah yang dipetik adalah :
- Dalam dunia hukum, tidak ada perbedaan perlakuan kepada orang yang diduga kuat sebagai pelaku pelanggaran. Hukum tidak melihat status dan kedudukan seorang, walaupun dia adalah anak seorang Nabi, Kiai, Presiden, Menteri, Gubernur, Pengusaha, Tukang Sol, Pemulung dan siapa pun dia. Penegak hukum berwenang untuk melakukan pemeriksaan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
- Tertuduh atau terduga diberikan hak untuk memberikan pengakuan atau menolak tuduhan dengan menyertai bukti yang kuat.
- Walapun mempunyai wewenang, penegak hukum tidak boleh melanggar undang-undang dan zalim dalam tugasnya. Amanah dan profesional adalah suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar.
Ayat 76:
“Maka mulailah dia (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan (piala raja) itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami mengatur (rencana) untuk Yusuf. Dia tidak dapat menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui.”
Tafsir:
Sebagaimana ayat sebelumya bahwa saudara-saudara Yusuf AS sepakat menggunakan hukum yang berlaku di negeri mereka, yaitu pencuri menjadi budak bagi pemilik barang yang dicuri. Karung-karung mereka harus diperiksa satu persatu agar diketahui dimana barang yang hilang itu ditemukan.
Sebagaimana ayat sebelumya bahwa saudara-saudara Yusuf AS sepakat menggunakan hukum yang berlaku di negeri mereka, yaitu pencuri menjadi budak bagi pemilik barang yang dicuri. Karung-karung mereka harus diperiksa satu persatu agar diketahui dimana barang yang hilang itu ditemukan.
فَبَدَأَ بِأَوْعِيَتِهِمْ قَبْلَ وِعَآءِ أَخِيهِ
“Maka mulailah dia (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri.”
Para ulama tafsir berbeda pendapat siapakah yang dimaksud “dia” pada ayat di atas. Sebagian menafsirkan “dia” adalah Yusuf AS sendiri dan sebagian lain menafsirkan bahwa “dia” adalah orang pegawai Nabi Yusuf AS yang diperintahkan untuk memeriksa karung-karung tersebut. Karung-karung yang diperiksa lebih awal adalah milik saudara-saudara sebapak, bukan karung Benyamin (adik kandung Yusuf AS). Menurut As-Syeikh Wahbeh Az-Zuhaili Rahimahullah, hal itu dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan dari dugaan rekayasa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf AS agar Benyamin bisa tinggal bersama beliau untuk sementara waktu.
ثُمَّ ٱسْتَخْرَجَهَا مِن وِعَآءِ أَخِيهِ
“Kemudian dia mengeluarkan (piala raja) itu dari karung saudaranya.”
Setelah karung terakhir diperiksa, yaitu karung Benyamin, maka pemeriksa karung tersebut mengeluarkan barang yang hilang, yaitu piala Raja. Melihat peristiwa itu, tentulah saudara-saudara sebapak (kakak-kakak) Nabi Yusuf AS menyangka bahwa Benyaminlah pencurinya.
كَذَٰلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ
“Demikianlah Kami mengatur (rencana) untuk Yusuf.”
Begitulah cara Allah mengajarkan siasat kepada Nabi Yusuf AS agar Benyamin bisa tinggal bersama beliau untuk sementara waktu.
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِى دِينِ ٱلْمَلِكِ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ
“Dia tidak dapat menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya.”
Maksudnya adalah Allah berkehendak agar Yusuf AS tidak memakai hukum yang berlaku di bawah kekuasan Raja Mesir. Allah berkehendak agar Yusuf AS menyepakati hukum yang diterapkan oleh kaum Nabi Ya’qub sebagai dibahas pada ayat 75, yaitu pencuri menjadi budak. Karena sejatinya Benyamin bukanlah pencuri, maka Benyamin tidak boleh dihukum berdasarkan Undang-Undang Mesir saat itu bahwa pencuri harus dipukuli dan didenda. Jika hal itu dilakukan, maka benyamin menjadi sangat hina di mata masyarakat Mesir dan tentunya membuat malu Nabi Yusuf AS sendiri. Masyarakat Mesir tentunya bisa saja mengatakan bahwa di dunia ini ada anak seorang nabi yang juga pencuri.
Dengan siasat seperti ini, nama baik Benyamin tetap terjaga karena dia memang bukan pencuri. Yang menyaksikan peristiwa ditemukannya piala Raja di karung Benyamin tentunya hanya Nabi Yusuf, para pegawai Nabi Yusuf dan saudara-saudara beliau saja, Internal!. Masyarakat Mesir tentunya tidak tahu hal ini. Tinggalnya Benyamin bersama Nabi Yusuf adalah maslahat!. Itulah bedanya cara Allah dengan cara manusia yang tentunya sangat terbatas dalam hal kecerdasan, maslahat dan hikmah!. Intinya, aturan atau kehendak Allah *MUTLAK BENAR DAN TIDAK PERNAH AKAN SALAH SELAMANYA !*
Oleh karena itu ayat ini mesti dipahami dengan benar. Jangan sampai difahami bahwa Allah mengajarkan Nabi-Nya untuk berbohong. Hati-hati!, itulah manfaat mempelajari makna ayat-ayat Al-Qur’an melalui ilmu para ulama. Jangan langsung mengambil kesimpulan suatu ayat berdasarkan terjemah tok!, Belajar!, Belajar dan belajarlah kepada para ulama karena beliau-beliaulah para pewaris ilmu dan ajaran para Nabi.
نَرْفَعُ دَرَجَٰتٍ مَّن نَّشَآءُ
“Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki.”
Maksudnya Allah memuliakan orang-orang yang Dia kehendaki. Allah memuliakan orang-orang beriman dan berilmu sebagaimana Allah memuliakan Nabi Yusuf dan Benyamin, diantaranya terhindar dari penilaian melindungi pencuri karena sejatinya Benyamin bukanlah pencuri. Benyamin semakin mulia ketika bertemu dan tinggal bersama kakak kandungnya di istana. Benyamin tentu bisa bercengkrama dengan kakak kandungnya setelah lebih 30 tahun berpisah. Hal ini berbanding terbalik dengan dugaan saudara-saudara Nabi Yusuf lainnya yang mengira bahwa Benyamin telah menjadi budak Bendahara Mesir. Yang namanya budak tentu diperlakukan rendah oleh tuannya. Menurut mereka Benyamin menjadi sangat hina padahal ia adalah orang merdeka yang mulia dan juga anak Nabi Ya’qub. Sangkaan mereka salah total !
وَفَوْقَ كُلِّ ذِى عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Dan di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui.”
Itulah Sunnatullah. Allah membuat kaidah dan ketetapan yang tidak bisa diubah kecuali dengan kehendak-Nya pula. Diatas orang berilmu pasti ada lagi yang lebih berilmu. “Ojo Sombong!, Tong Balaga!
Di atas langit masih ada langit ! Saudara-saudara Nabi Yusuf adalah putra-putra Nabi Ya’qub yang tentunya berilmu. Tapi Allah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf lebih tinggi ilmunya dibanding mereka dengan kehendak Allah.
Kesimpulan:
- Dengan mengetahui kronologis kisah melalui ayat-ayat diatas beserta tafsirnya, maka yang dilakukan oleh Nabi Yusuf adalah siasat berdasarkan wahyu dan perintah Allah.
- Jika dilihat dari zahir ayat, Benyamin tidak layak disebut pencuri dan nabi Yusuf hanya melaksanakan siasat tanpa berbohong. Coba periksa kembali ayat 76 dan tafsirnya dengan seksama.
- Kami sarankan siswa Bapak langsung membaca jawaban kami ini agar jawaban ini memuaskan dan membuatnya paham.
Demikian dan semoga Pak Guru beserta para siswa selalu dalam bimbingan Allah SWT, aamiin.
Wallahu A’lam.
Foto : Unsplash
Referensi:
1. Tafsir Al-Baghawi (Ma’alim Al-Tanzil)
2. Tafsir al-Baidhawi (Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil)
3. Tafsir Al-Qusyairi
4. Tafsir Al-Qurthubi
5. Tafsir Al-Wajiz Wahbeh Zuhaili
6. Tafsir As-Sa’di
7. Tafsir At-Thabari
8. Tafsir Al-Jalalain
9. At-Tahrir Wat-Tanwir Li Ibn Asyur