Kabar Terbaru

Mengaku Tidak Tahu

Pernahkah pembaca mendengar seorang Kiyai, Buya, atau Ustadz yang jujur menjawab suatu persoalan yang dikemukakan kepadanya, lalu ia menjawab “Aku tidak tahu”. Besar kemungkinan jawabannya adalah, “Jarang”. Inilah yang membedakan antara tokoh agama hari ini dengan ulama terdahulu.

Dikisahkan oleh al-Haitsam bin Jumail –salah seorang murid Imam Malik bin Anas- yang pernah menyaksikan kejujuran gurunya. Al-Haitsam berkata: “Saat aku bersama Imam Malik. Ia ditanya mengenai 48 masalah, lalu menjawab, “La Adri (Aku tidak tahu) pada 32 masalah.” Penanya akhirnya merasa kesal, sehingga berkata: “Apa yang harus aku katakan kepada kaumku setelah kembali”. Imam Malik berkata: “Katakan saja, Malik bin Anas berkata ‘Aku tidak tahu’”.

Dalam hal ini, Imam Ibn Shalah dalam kitab Adab al-Fatawa menjelaskan bahwa penanya dalam kisah tersebut adalah orang yang datang dari luar kota Madinah. Orang tersebut melakukan perjalanan selama dua bulan, sehingga bisa bertemu dengan Imam Malik. Tetapi Imam Malik hanya memberikan jawaban terhadap 16 masalah.

Hal ini sangat wajar, karena Imam kota Madinah itu tidak pernah melakukan perjalanan selain hanya ke kota Makkah. Itu pun untuk keperluan haji dan umrah. Seseorang yang tidak banyak melakukan perjalanan ke wilayah lain, tentu akan merasa sulit untuk menganalogikan suatu masalah yang terjadi di luar daerahnya dengan persoalan yang ada di negeri asalnya.

Terlepas dari latarbelakang itu, al-Hafizh Jalal al-Din al-Suyuthi menulis risalah pendek yang menarik di dalam kitab al-Hawi al-Fatawa tentang kejujuran intelektual ulama salaf. Ia menemukan riwayat-riwayat yang shahih dari para sahabat dan Tabi’in yang merasa tidak gengsi untuk berkata, “Aku tidak tahu”.

Bahkan ada sebuah riwayat yang bersumber dari perkataan Abdullah bin Mas‘ud r.a., “Perkataan ‘Aku Tidak Tahu’ adalah setengah dari ilmu”. Adapun maksud dari ungkapan ini adalah ketika seseorang mengaku tidak tahu, maka sikapnya mengindikasikan kejujuran secara ilmiah dan usaha terus-menerus untuk mencari jawabannya.

Sikap tersebut memang banyak ditemukan di kalangan Nabi Saw, sebagaimana diceritakan oleh Abd al-Rahman bin Abu Laila seorang Tabi’in senior. Ia berkata: “Aku bertemu dengan 120 sahabat Anshar. Ketika salah seorang mereka ditanyai mengenai suatu persoalan, maka yang ditanya mengalihkan kepada sahabat yang lain.

Begitu juga sahabat yang kedua mengalihkan kepada sahabat yang lain, sehingga kembali lagi kepada sahabat yang pertama.” Bahkan, amir al-mu’minin Umar bin al-Khaththab setiap kali ditanyai mengenai suatu persoalan, maka ia selalu bermusyawarah dan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan sahabat-sahabat Badr. Sahabat Badr adalah mereka yang pernah mengikuti perang Badar bersama Nabi Saw dengan jumlah pasukan 1 : 3 dengan musuh.

Tidak jarang kita menentang sesuatu yang sebenarnya belum dipahami dengan baik. Ini tidak hanya terjadi pada manusia biasa seperti kita. Tetapi juga terjadi pada sebagian nabi, seperti Nabi Musa a.s. Nabi bani Israil ini menentang prilaku Nabi Khidhr karena belum memahami hakikat dari kejadian yang dilihatnya. Oleh karena itu, Imam Abu al-Ghazali mengatakan bahwa seseorang akan menentang sesuatu belum diketahuinya dengan baik.

Berdasarkan kenyataan tersebut, Imam Malik berpesan kepada orang yang menjadi mufti atau konsultan keagamaan agar hati-hati. Ia berkata: “Hendaklah seorang mufti berpikir ulang sebelum menjawab suatu persoalan. Apakah jawabannya menyebabkan dirinya terjebak ke dalam neraka, atau mengantarkannya masuk surga.”

Ini dikarenakan kesalahan dalam berfatwa menjadi salah satu penyebab seorang mufti digiring masuk Neraka.
Dengan demikian, seorang ustadz atau dai tidak perlu merasa malu untuk mengaku tidak tahu, hanya dikarenakan malu di hadapan jamaahnya. Tetapi hendaklah malu kepada Allah Yang Maha Mengetahui isi hati makhluk-Nya.

Ust. Arrazy Hasyim

Download Versi Buletin dan Buletin Jumat Lainnya di sini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *