“Berbeda memang tak serupa, tapi darinya kita belajar cinta.”
Adalah ketika Harun Ar-Rasyid hendak menjadikan kitab Al Muwatha’ sebagai undang-undang negara, sang penulisnya, Imam Malik menolaknya dan berujar, “Wahai Amirul Mukminin, para sahabat Rasulullah bagaikan bintang gemintang di langit. Mereka telah menyebar ke segala penjuru dunia. Ummat diberbagai wilayah itu telah mengambil pemahaman dari mereka. Menggiring rakyatmu pada satu pendapat saja, hanya akan menimbulkan bencana.”
Dari kesadaran itu, kita menemukan bahwa khazanah fiqih dalam cabang-cabangnya begitu kaya adanya. Di dalam himpunan pendapat yang benar, ada mana-mana yang tepat guna untuk saat ini dan ada bagian yang belum tiba tanggal mainnya.
Kita mengetahui, bahwa di kalangan tabi’in, Imam ‘Atha ‘Ibn Abi Rabah menabrak pendapat jumhur ulama kala menyatakan kalau melempar jumroh sebelum lingsir mentari adalah utama. Pendapat beliau, pada zamannya, dianggap ganjil dan menyalahi Ijma’. Sebab, berbagai riwayat menyatakan, Rasulullah Saw hanya melaksanakannya setelag lingsir.
Akan tetapi, lalu tibalah masa saat pendapat beliau dianggap tepat dan dirujuk demi teraihnya kemaslahatan dan terhindarkannya bahaya. Dan masa itu adalah hari ini, ketika jama’ah haji membludak dan jamarat serta jalan menujunya amat padat jika semua mengambil waktu utama menurut jumhur ulama. Pendapat Imam ‘Atha ‘Ibn Abi Rabah yang meluaskan waktu utama, menjadi dasar untuk menghimbau jama’ah agar berkenan menerima pembagian waktu demi kemanan, kenyamanan dan kertertiban bersama.
Memang benar, perbedaan pendapat adalah rahmat. Sebab yang dimaksud rahmat dalam tajuk itu adalah keluasan hati, tenggang rasa, dan kelembutan dalam bertanggap. “Kita lebih berhajat pada sedikit adab, daripada berbanyak pengetahuan.” Begitulah yang terucap dari lisan Imam ‘Abdullah ibn Al Mubarak.
Demikianlah di lain kesempatan beliau menyatakan bahwa dirinya memerlukan waktu 30 tahun untuk belajar adab, ditambah 20 tahun untuk belajar ilmu. “Adapun ilmu yang kuhimpun dari seluruh penjuru raya selama dwidasawarsa, sama sekali tak bernilai tanpa adab yang kulatih sebelumnya,” simpulnya.
Semoga Allah meridhai kita meneladani keluasan ilmu, dalamnya fiqih, amat lapangnya dada serta kejelitaan akhlaq dari para ‘alim ‘ulama.
(M. Azzam/Cordofa)