“Alah, jangan sok alim kamu!”
“Wah susah kalo ngajak dia, kan dia alim, ga kaya kita.”
Kalimat di atas mungkin sering kita dengar. Di Indonesia, kata “alim” biasa digunakan untuk menggambarkan sosok orang yang religius. Padahal, “alim” dalam bahasa Arab artinya orang yang memiliki ilmu, jika diawali dengan huruf Ain (عليم). Jika kata tersebut diucapkan dengan huruf hamzah diawalnya, artinya menjadi sakit atau pedih (أليم).
Entah bagaimana cerita awalnya, kok kata alim bisa diartikan religius. Tapi ya sudahlah, dari dulunya sudah begitu mau diapain lagi coba?
Anak muda atau siapa saja yang suka ke masjid disebut anak muda alim. Anak muda yang suka mengenakan peci juga dinilai alim. Jadi memang agak susah jika anak muda alim seperti ini diajak nongkrong, ke diskotik, atau susah diajak kerjasama untuk melakukan kebohongan atau hal-hal berbau kotor.
Karena Indonesia mayoritas penduduknya muslim, maka hal-hal apa saja yang dikaitkan dengan bumbu agama sudah pasti laku. Sejelek-jeleknya orang Islam, sudah tentu masih menghargai dan menghormati agamanya. Preman sekalipun, masih cium tangan jika bertemu kiai atau ustaz.
Jika musim pemilu tiba, sebagian masyarakat Indonesia sudah tidak begitu kaget ketika banyak calon anggota dewan, calon bupati, calon kepala daerah bahkan calon presiden dan wakil presiden mendadak “ngustad” atau “ngalim”.
Mereka yang auto ngalim itu kerap mengunjungi banyak masjid, majelis taklim atau pesantren. Mereka yang tadinya jarang sekali berpeci, tiba-tiba berpeci dan berserban layaknya santri atau ustaz. Jika berjenis kelamin wanita, mendadak ngalim dan auto berhijab dengan baju kurung longgar layaknya ibu-ibu majelis taklim atau santriwati.
Dengan dalih silaturahim atau “sowan ke alim ulama, mereka begitu terlihat bersahaja dan terkesan jauh dari gaya hedonis. Janji manis terlontar dari bibir-bibir yang terkesan reformis. Ya begitulah, dah biasa kok!
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan penampilan mereka. Yang namanya bertamu ke tempat-tempat atau tokoh-tokoh religius tentu wajar jika mereka berpeci atau berhijab syar’i. Tidak ada yang salah, kok! Bahkan mereka terlihat lebih ganteng dengan serban dan peci, atau terlihat lebih cantik dengan hijab dan gamis, hehehe.
Tulisan ini hanya mengabarkan pengalaman yang sudah-sudah saja, bukan menilai secara keseluruhan. Ada juga sih diantara mereka yang memang betul-betul religius atau alim dari dulunya. Tapi yang seperti ini tidak banyak jumlahnya. Yang alim beneran biasanya berlatar belakang santri sebelum mencalonkan diri dan bersaing memperoleh suara dari kelompok agamawan.
Tulisan ini hanya sedikit mengingatkan masyarakat terutama para tokoh agama, jamaah, pengajian, jamaah masjid dan kaum santri agar tidak terlalu kecewa dengan fakta yang ada setelah pemilu. Jangan kaget ketika mereka yang mendadak “ngalim” kembali berpenampilan seperti sebelumnya dan lupa setelah cita-cita mereka tercapai. Jangan kaget ketika sudah menjadi bupati, anggota dewan, gubernur atau presiden, kok tidak lagi terlihat “ngalim” dan cuek dengan masjid atau pesantren. Dan jangan kaget juga ketika ada satu atau beberapa kebijakan mereka yang ternyata kontra dengan umat Islam. Pokoknya jangan heran! Dah biasa!
Semoga saja tulisan ini hanya menggambarkan yang sudah-sudah saja. Semoga saja di masa mendatang, mereka benar-benar “ngustad” dan “ngalim” dan tidak sekedar mencari suara. Aamiin.
Wallahu A’lam.
Foto : Unsplash