Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah), menjadi amanlah ia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Siapa saja yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [QS. Ali-Imran (Keluarga Imran) 3 : 97].
Ayat di atas sepertinya hampir tidak pernah luput dari bahasan para mubaligh atau pun ulama ketika berbicara mengenai ibadah haji. Lazimnya mereka menekankan, bahwa ibadah haji diwajibkan bagi kaum Muslim yang mampu untuk melaksanakannya.
Melaksanakan haji, berarti menyempurnakan perintah Allah (Rukun Islam). Sungguh beruntung bagi orang yang mendapat kesempatan untuk berangkat ke sana, lalu melaksanakan segala amalan yang diajarkan oleh Rasulullah serta melihat secara langsung ‘Rumah Allah’ yang dijadikan pusat peribadatan umat Muslim sedunia.
Dalam kenyataannya, orang yang mampu melaksanakan ibadah haji bukan semata-mata memiliki banyak harta. Karena tidak jarang, banyak juga orang yang termasuk dalam kategori kaum ekonomi kecil bisa berangkat, bahkan tidak sedikit pula Muslim yang berharta hingga saat ini belum pernah menginjakkan kaki ke Tanah Suci.
Namun bagaimana, apabila segala keperluan haji telah terpenuhi, tetapi di lingkungan rumah kita terdapat kerabat atau pun tetangga yang tengah susah payah memenuhi kebutuhan hidup? Apakah kita acuh saja meninggalkan mereka yang membutuhkan uluran tangan, atau sebaliknya mengurungkan niat pergi ke sana dengan memberikan sebagian, seluruh biaya haji demi menyambung hidup mereka?
Hal seperti itu pernah terjadi pada masa tabi’in, seorang lelaki bernama Muwaffaq mengurungkan niat haji demi memenuhi kebutuhan hidup tetangganya yang sedang kelaparan. Kisah ini berawal ketika Abdullah bin Mubarak telah menyelesaikan ibadah haji. Ia berniat istirahat sejenak sambil merebahkan badan di serambi Masjidil Haram.
Tanpa sadar, ia tertidur dan bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit. Salah satu dari mereka bertanya, “Berapa banyak orang-orang yang berhaji pada tahun ini?” “Enam ratus ribu,” jawab malaikat satunya. “Berapa banyak yang diterima?” “Tidak seorang pun diterima, kecuali seorang tukang sol sepatu dari Damsyik bernama Muwaffaq.
Walau ia tidak dapat berhaji, tetapi hajinya diterima, sehingga semua yang haji pada tahun ini diterima hajinya, berkat Muwaffaq.” Tiba-tiba Abdullah bin Mubarrak terbangun, lalu segera berangkat ke Damsyik mencari orang yang bernama Muwaffaq.
Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, akhirnya sampailah Abdullah ke rumah lelaki yang disebut-sebut malaikat dalam mimpi. Ia kemudian mengetuk pintu dan mengucapkan salam, lalu mengutarakan inti persoalan kepada Muwaffaq, “Kebaikan apakah yang engkau lakukan, sehingga mencapai derajat demikian?” Muwaffaq pun bercerita,
“Sudah lama aku bertekad melaksanakan ibadah haji, tetapi belum tercapai karena kondisi keuanganku tidak mencukupi. Namun, dari usaha sol sepatu, tidak terasa uangku sudah terkumpul sebanyak 300 dirham dan cukup untuk berangkat haji. Suatu hari, istriku mencium bau makanan dari rumah tetangga.
Lalu, aku hampiri rumah tetanggaku, maka keluarlah seorang perempuan setengah baya dan kukatakan maksudku kepadanya. Perempuan itu menjawab, “Maaf, terpaksa saya harus berkata dengan jujur. Sudah tiga hari lamanya anak-anak yatimku tidak makan.
Karena itu, saya keluar mencari makanan untuk mereka. Tiba-tiba di suatu tempat, saya menemukan bangkai himar (sejenis keledai – red), lalu saya potong sebagian dagingnya dan dibawa pulang untuk dimasak. Makanan ini halal bagi kami, tetapi haram untuk makanan kamu.”
Betapa mirisnya aku mendengarkan jawaban itu. Tanpa pikir panjang lagi, aku segera pulang ke rumah dan mengambil uang 300 dirham yang akan aku gunakan untuk berhaji, lalu kuserahkan semua kepada tetanggaku itu. Aku berkata, “Belanjakanlah uang ini untuk anak-anak yatimmu! Dan aku berkata kepada diriku, “Sebenarnya hajiku berada di depan pintu rumahku.”
Abdullah bin Mubarak merasa malu dan salut dengan Muwaffaq, seorang tukang sol sepatu yang hidupnya amat sederhana, tetapi ia mampu memberikan pengorbanan yang amat besar bagi hajat manusia. Lebih dari itu, ia juga menyelamatkan pahala ratusan orang yang berangkat haji pada tahun itu.
Sebuah kisah yang sederhana, namun memiliki makna yang sangat dalam, dan memberikan sebuah isyarat bahwa membantu tetangga yang kelaparan lebih mulia daripada pergi haji di tengah-tengah penderitaan tetangganya.
Wallahu a’lam bishshawab.
■ Dikutip dan diedit seperlunya dari Hikayah
Download Versi Buletin dan Buletin Jumat Lainnya di sini