“Berangkatlah baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41)
Tidak ada yang lebih menakutkan daripada jerih dan payah yang gugur tak bernilai. Pun yang lebih mengerikan dari amal sholeh yang tak berbekas di hadapan Penguasa Hari Pembalasan.
Hidup yang kita jalani memang tak wajib berjalan sesuai yang kita harapkan. Kadang kita harus terluka, agar kita tahu bagaimana rasanya disakiti. Agar kita tidak menyakiti. Hati kita kadang harus terperi, agar kita tahu bagaimana rasanya dicaci dan dimaki. Agar kita tidak mencaci maki.
Seluruh hidup kita yang sudah kita rencanakan sedemikian rupa kadang harus acak-acakan, harus banyak lubang, kekurangan di sana-sini. Agar kita tahu bahwa manusia hanya bisa merencanakan, Allah-lah yang menentukan.
Sebab hidup ini adalah ibadah kepada Allah, maka tugas hambanya adalah menuntun hati menuju-Nya. Dan di dalam hati, jaminan keselamatan dunia dan akhirat kita bernama keikhlasan. Betapa beratnya mengendalikan hati agar ia ikhlas kepada Allah. Maka, hidup ini juga bernama perjuangan.
Seorang ulama bijak asal Yogyakarta bernama Salim A. Fillah pernah melantunkan;
“Jika hati senantiasa berbuat baik
Allah kan pertemukan ia dengan hal-hal baik
Tempat-tempat baik, orang-orang baik
Atau kesempatan berbuat baik
Jika hati dilatih agar bahagianya bersebab taat
Kegembiraannya terhadap karunia kan berlipat
Rasa syukurnya atas segala kan menguat
Tapi jika hati hanya terbiasa bahagia bersebab karunia
Kepekaannya terhadap nikmat kan berkurang
Kekuatannya untuk bersyukur kian hilang
…”
Hidup kita memang harus seperti itu. Hanya agar kita tahu bagaimana rasanya. Agar kita bisa belajar menjadi lebih bijaksana.
(M. Azzam/Cordofa)
Baca Juga: Tunaikan Amanat, Jangan Khianat