Kabar Terbaru

Memahami Al-Qur’an dan Hadis Melalui Terjemah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Izin bertanya, Pak Ustadz. Di zaman yang serba modern ini, kita dipermudah untuk memelajari apapun yang kita inginkan. Banyak sekali media belajar via daring terutama materi keagamaan.
Alhamdulillah, beberapa tahun ini Allah SWT memberi saya hidayah untuk lebih dekat lagi dengan Allah. Saya bukanlah orang yang dibesarkan oleh orang tua saya dengan pendidikan agama yang memadai. Dari TK hingga saya S2, tidak pernah sekali pun saya belajar di sekolah agama seperti Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) apalagi Pondok Pesantren. Pengetahuan agama saya sangat minim dan untuk membaca Al-Qur’an pun saya masih terbata-bata karena saya memelajarinya baru-baru ini. Karena semangat saya yang begitu besar untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah, saya sangat suka membaca dan mentadabburi Al-Qur’an dan As-Sunnah melalui terjemahan. Apakah boleh saya melakukan demikian?

Terima kasih dan saya sangat menunggu bimbingan dari Pak Ustadz.

Wassalam.

 

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr Wb.

Alhamdulilah, Anda saat ini mempunyai semangat yang besar untuk memahami agama Islam melalui pendekatan terjemah Al-Qur’an maupun As-Sunnah (hadits).

Memahami teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadis melalui terjemahan sebetulnya boleh saja sebagai langkah awal tanpa langsung menyimpulkan maknanya. Memahami teks baik Al-Qur’an maupun hadis tidak final hanya melalui terjemah. Jika hanya ini yang dilakukan tentu sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan distorsi makna. Perlu pendalaman lebih lanjut untuk memahami tafsir atau ta’wil dari para ulama.

Secara singkat akan saya contohkan sebagai berikut. Perhatikan ayat 158  Q.S. Al-Baqarah :

إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِ فَمَنْ حَجَّ ٱلْبَيْتَ أَوِ ٱعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

“Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syi’ar (agama) Allah. Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui.”

Kita perhatikan terjemah “Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.”

Jika hanya mengandalkan terjemah saja, bisa saja yang kita memahani bahwa sa’i ketika kita melaksanakan ibadah haji atau umrah bukanlah rukun yang apabila kita tidak kerjakan menjadi tidak sah. Sebab apa? Terjemahnya sudah jelas, “tidak ada dosa baginya (bagi yang melaksanakan haji atau umrah) mengerjakan sa’i antara keduanya.” Jika dimaknai demikian, tentu tidak benar dan salah total. Lalu bagaimana pemahaman yang benar terhadap ayat tersebut ?

 

Untuk memahami ayat tersebut, hendaknya kita merujuk kepada kitab-kitab tafsir Al-Qur;an yang disusun oleh para ulama. Sebagai salah satu contoh, kita bisa merujuk pada tafsir Jalalain (tafsir ringkas) yang sudah sangat umum dipelajari oleh kaum muslimin di seluruh dunia yang disusun oleh Al-Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan dan Al-Imam Jalaludiin As-Suyuthi, berikut :

“(Sesungguhnya Safa dan Marwah) nama dua bukit di Mekah (adalah sebagian dari syiar-syiar Allah) tanda-tanda kebesaran agama-Nya, jamak dari ‘syaa`irah.’ (Barang siapa yang melakukan ibadah haji atau umrah) artinya memakai pakaian haji atau umrah. Asal makna keduanya adalah menyengaja dan berkunjung, (maka tiada salah baginya) artinya ia tidak berdosa (mengerjakan sai) asalkan sebanyak tujuh kali. Ayat ini turun tatkala kaum muslimin tidak bersedia melakukannya, disebabkan orang-orang jahiliah dulu biasa tawaf di sana sambil menyapu dua berhala yang terdapat pada keduanya. Menurut Ibnu Abbas bahwa sai itu hukumnya tidak wajib, hanya takhyir, artinya dibolehkan memilih sebagai akibat tidak berdosa. Tetapi Syafii dan ulama lainnya berpendapat bahwa sai adalah rukun dan hukum fardunya dinyatakan oleh Nabi saw. dengan sabdanya, “Sesungguhnya Allah mewajibkan sai atas kamu.” (H.R. Baihaqi) Sabdanya pula, “Mulailah dengan apa yang dimulai Allah, yakni Shafa.” (H.R. Muslim) (Dan barang siapa yang dengan kemauan sendiri berbuat) ada yang membaca ‘Taththawwa`a’, yaitu dengan ditasydidkan ta pada tha, lalu diidgamkan (suatu kebaikan) maksudnya amalan yang tidak wajib seperti tawaf dan lain-lainnya (maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri) perbuatannya itu dengan memberinya pahala (lagi Maha Mengetahui).”

 

Satu lagi contoh yang berakibat sangat fatal jika hanya menyimpulkan makna melalui terjemahan saja, Q.S. Al-Baqarah: 191 sebagai berikut:
Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang kafir.”

Fatal bukan? Dimana pun kita temui orang kafir, bunuhlah! Jika sampai difahami seperti ini, bahaya sekali, bisa jadi teroris!
Ayat ini adalah perintah Allah bagi kaum muslimin untuk berperang melawan orang kafir atau musyrik yang memerangi umat Islam terlebih dahulu. Ayat ini tidak berlaku untuk kafir dzimmi (non muslim yang berada dalam perlindungan negara dan tidak memerangi kaum muslimin).

 

Salah satu contoh bisa kita lihat kitab At-Tafsir Al-Wajiz karya Alm. As-Syaikh Wahbah Az-Zuhaili sebagai berikut :
“Bunuhlah orang-orang musyrik yang menyerang kalian bagaimanapun kalian mendapati mereka. Usirlah mereka dari rumah-rumahnya sebagaimana mereka mengusir kalian dari Mekah. Memfitnah orang mukmin dari agama mereka dengan menyiksa dan berusaha mengembalikan mereka kepada kekufuran itu lebih buruk daripada pembunuhan. Janganlah kalian memulai peperangan terhadap orang-orang musyrik di tanah haram, Mekah dan daerah sekitarnya sampai mereka memerangi kalian dahulu. Jika mereka memulai peperangan di tanah haram, maka perangilah mereka di sana karena sunnatullah itu bahwa orang-orang kafir itu akan dibalas dengan balasan seperti ini karena mereka memulai penyerangan.”

 

Satu lagi contoh yang sangat menyakitkan bagi kaum tunanetra yang beriman dan bertaqwa kepada Allah jika Q.S. Al-Isra’ ayat 72 ini difahami melaui terjemah saja. Berikut terjemahnya:
“Dan barang siapa buta di dunia ini, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar).”
Fatal bukan? Lalu bagaimana makna yang benar sesuai tafsiran para ulama?

Masih menguitp darimkitab Tafsir Wajiz sebagai berikut:
Dan barangsiapa di dunia dia buta bashirahnya atau hatinya, maka di akhirat itu buta penglihatannya. Dia tidak ditunjukkan menuju jalan kemenangan bahkan jauh darinya.”
Jadi yang dimaksud orang buta pada ayat ini bukanlah orang buta secara fisik. Yang dimaksud adalah orang yang buta mata hatinya.
Dan banyak pula ayat-ayat lainnya yang harus dipahami tidak hanya lewat terjemah saja, terutama ayat yang berkenaan dengan hukum dan juga tentunya ayat-ayat mutasyabihat yang tidak bisa dipahami secara sekilas begitu saja.

Apakah untuk memahami seluruh ayat Al-Qur’an harus juga dengan merujuk kitab-kitab tafsir para ulama? Idealnya memang harus begitu. Namun ada juga ayat-ayat yang secara zhahir memang sangat mudah dipahami walalupun hanya dengan terjemah saja misalnya :

قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ

“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.” (Q.S. Al-Ikhlas:1).

Untuk ayat ini, hanya dengan modal terjemahan saja kita tentunya sudah paham bahwa makna ayat ini tidak lain adalah Allah itu Maha Esa, Maha Tunggal. Allah tidak dua, tiga atau banyak. Tidak ada pemahaman selain itu bukan?

Namun walaupun begitu, sebaiknya kita tetap merujuk kitab-kitab tafsir yang disusun oleh para ulama.

Wallahu A’lam.
Tim Cordofa

 

Foto : Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *