Untuk beberapa saat, manusia pilihan tumpah memenuhi panggilan Allah di hari Jum’at. Seandainya kita bisa naik ke langit, maka akan tampaklah, betapa jutaan manusia di muka bumi bersujud menghadap Ka’bah, gerakan kompak, ucapan seragam, dan universal. Semua berikrar, “Inilah shalatku, karyaku, hidup, dan matiku hanya untuk-Mu, Ya Allah Rabb Semesta Alam…(inna shalatii, wa nusukii, wa mahyaaya, wa mamaatii, lillahirabbil ‘alamiin).
Ketika hari Jum’at, setiap masjid manapun, seakan-akan bertambah sempit karena kedatangan jama’ah. Tikar-tikar ataupun karpet tambahan terkadang harus digelar untuk menampung jama’ah yang hadir. Berbahagialah jiwa memandang umat seperti ini. Sejuklah diri meresap keutamaan sayyidul ayyam—hari Jum’at.
Akan tetapi, jangan puas dulu! Sebelum menengok masjid di kampung kita masing-masing. Sebelum kita meresapkan panggilan muadzin menyongsong fajar Shubuh. Adakah masjid telah penuh menyambut jama’ah Shubuh—seperti lazimnya shalat Jum’at? Adakah tikar ataupun karpet-karpet tambahan terpasang karena jama’ah yang tumpah ke halaman?
Inilah kontradiksi yang paling nyata! Mihrab menangis kehilangan jama’ahnya. Tikar ataupun karpet tersimpan rapi di bilik masjid, menunggu kembali datangnya hari Jum’at. Seruan, “Ash-sholatu khoirun minan-nauu..m”, sudah lama tidak terdengar di telinga. Bahkan, sering kali hati merasa terusik, karena muadzin terlalu lantang berteriak dari pengeras suara.
Jika hal ini menyelinap di hati, maka… waspadalah… waspadalah! Hati kita mulai dan sedang diselimuti polesan hitam. Jika setiap lima kali panggilan adzan bergaung dari setiap masjid, sementara kita membutakan hati untuk berangkat, maka berhati-hatilah…! Bisa jadi, hati kita mulai tertutup nur kasih Allah. Sesungguhnya, shalat adalah mahkota kebesaran umat Islam. Cacat shalatnya umat, reduplah cahaya kecemerlangan mahkota jiwa.
Akh… tikar masjid di kampung kita, mungkin banyak yang telah bertambah lapuk karena lama tidak terpakai. Para musafir kekasih Allah telah lama pergi. Para pemuda garda Islam, telah asyik-masyuk dan tenggelam dalam budaya hedonis (duniawi). Ya.. tikar dan mihrab masjid, kini telah basah karena lama telah menangis. Orang-orang menjadi asyik sendiri. Siapa sih, orang yang mau tampil sebagai mujahid? Pelopor Allah yang mengajak dan menyeru tetangga serta keluarganya untuk berbondong, menyongsong fajar shalat berjama’ah?
Kita menjadi manusia-manusia yang asing satu sama lain. Urusan gue… ya gue.. Elu… urusin aja sendiri…! Bodo amat! Duniaku hanyalah pintu rumah dan kantor. Selain itu, semua bukan duniaku. Sebab, kita sering beranggapan, bahwa aku adalah seorang eksekutif! Agenda dan waktu bagiku adalah emas. Sebaris appointment (janjian bertemu) dengan kolega, partner bussiness, undangan seminar, undangan ini.. itu.. semua telah mengisi dan menyita waktu seharian. Sorry, aku adalah eksekutif yang setiap detik bagiku adalah uang. Yess! time is monkey (ups.. corrii, maksudnya money).
Benar saudaraku, engkau adalah seorang eksekutif. Tetapi, tidak adakah tertulis di runtutan agendamu, minimal lima menit saja untuk lima kali menghadapkan dirimu kepada Dia? Five for five, Lima (menit) untuk lima (shalat). Dia (Allah) yang telah memberikan kenikmatan statusmu sebagai eksekutif. Padahal, engkau termasuk manusia pilihan yang tidak semua orang memperoleh kesempatan meraih status tersebut. Maka, tengoklah sesekali pada sejarah perjalanan hidupmu. Apakah engkau waktu itu bermimpi menjadi manusia seperti sekarang? Punya villa di puncak, rumah mewah, istri yang caem, dan anak yang imut, serta nikmat lainnya?
Padahal, seandainya saja kau menyisihkan waktu lima menit untuk shalat. Kalau saja engkau berjalan seraya di tanganmu ada sajadah menuju mushola kantormu yang mewah. Percayalah! Gengsimu tidak akan jatuh! Apakah kau malu berjalan bersama para bawahanmu? Berwudhu di tempat yang sama, bahkan berjejer di belakang imam yang notabene merupakan bawahanmu?
Sebaliknya, jika engkau singkirkan jauh-jauh rasa itu, dan engkau ikhlas dalam melangkahkan kaki ke tempat suci nan mungil itu, engkau akan menjadi kebanggaan para bawahanmu, kebanggaan umat, yang sudah begitu langka ditemukan di tengah hiruk-pikuk keglamoran kota.
Seorang Muslim, apabila berada dalam masjid, bagaikan ikan dalam air. Ia merasakan ketenteraman. Ada sesuatu yang indah, setiap kali memasuki Rumah Allah. Tetapi, alangkah berbedanya dengan seorang munafik yang justru setiap ia berada dalam masjid, bagaikan burung dalam sangkar. Selalu ingin keluar. Gelisah dan tidak pernah merasakan kedamaian di dalamnya.
Setiap kali memasuki masjid, ia (Muslim) memanjatkan sebuah do’a. Dan sebagai rasa hormat yang mendalam, ia tegakkan shalat dua raka’at tahiyatul masjid. Ia sadar betul, bahwa masjid bukanlah sekedar bangunan. Tetapi, di dalamnya terdapat sesuatu yang indah, menggetarkan, dan sejuk.
Sepertinya, ada sesuatu yang hilang dari dirinya, apabila dalam satu hari tidak berkunjung ke rumah Allah. Kerinduan kepada Ilahi, tidak mungkin memutuskan dirinya dari masjid. Walaupun, ia sadar bahwa dalam keadaan sangat darurat, bumi ini bisa menjadi sajadah panjang dalam menumpahkan pengharapan jiwa kepada Rabbul ‘alamin.
Saat gaung muadzin terdengar sayup oleh terpaan angin, ia bangkit untuk sejenak meninggalkan urusan dunia yang fana ini menjemput seruan Ilahi. Di antara manusia yang dilindungi Allah saat hari akhir ialah mereka yang hatinya terpaut di masjid. Rindu akan rumah-Nya. Berusaha semampu mungkin untuk memenuhi setiap panggilan-Nya.
Wallahu a’lam bishshawab.
■ sumber : Toto Tasmara, Menjawab Tantangan Zaman. Jakarta : Jami’atul Ikhwan, 1993//
dengan perubahan tanpa merubah isi tulisan
Download Versi Buletin dan Buletin Jumat Lainnya di sini