Suatu hari Rasulullah sedang dihadap oleh para sahabat. Sejenak beliau tepekur dan menunduk dengan wajah khawatir lagi berduka. Air mata membening di sudut pelupuknya. Tetapi tak lama setelah itu, beliau mengangkat wajah yang bersinar cerah. Senyum manisnya terkembang di wajah beliau, kembali memaniskan suasana.
“Ya Rasulullah, ada apakah kiranya sehingga engkau tampak khawatir dan berduka, lantas kemudian tersenyum bahagia?” demikian dengan heran sebagian sahabat bertanya.
“Telah diperlihatkan padaku, dua orang dari kalangan ummatku yang bersengketa dihadapan Allah. Satu di antara mereka berkata, “Ya Rabbi, tegakkan keadilan di antara kami. Dahulu di dunia, saudaraku ini berlaku zalim dan keji!””
Orang yang tergugat itu tertunduk malu, mengangiskan segala sesal dan takut. Kemudian Allah memanggil sang penuntut dengan lembut dan berfirman kepadanya, “Wahai hamba-Ku, angkatlah kepalamu!”
Maka sang penggugat menengadahkan wajah, lalu terperangah. Pandangannya tertumbuk pada sebuah istana yang begitu indah. Dia takjub terpesona. Istana itu terbuat dari permata dan marjan, dibingkai oleh emas, dilumuri mutiara. Istana itu berada di tengah taman yang hijau berkilau-kilau dengan gemericik sungai yang mengalir di antaranya.
Maka dengan takjub hamba yang mendakwa saudaranya di pengadilan Allah itu bertanya, “Duhai Rabbi, milik Nabi siapakah istana ini?”
Dijawab baginya, “Tidak harus seorang Nabi yang berhak memilikinya.”
“Mungkin milik seorang shiddiq, ya Rabbi?”
Dijawab baginya, “Tidak harus seorang shiddiq yang berhak atasnya.”
“Atau milik seorang syahid, duhai Rabbi?”
Dijawab banginya, “Tidak harus seorang syahid yang berhak atasnya.”
“Jika demikian, teruntuk siapakah istana ini, wahai Rabbi?”
Allah berfirman, “Istana ini akan menjadi milik siapa pun yang mampu membayar harganya.”
Si penggugat terbelalak. “Berapakah harganya, ya Rabbi?” tanyanya dengan menggebu, “dengan apakah orang yang menginginkannya dapat menebus? Siapakah yang beruntung bisa memilikinya?”
Allah berfirman, “Adalah dirimu mampu membayar harganya. Jika kau memaafkan saudaramu itu, niscaya istana ini akan jadi milikmu!”
Maka berteriaklah hamba itu tergembira, “Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, wahai Rabbi. Sungguh, kini aku telah memaafkan saudaraku ini! Aku telah memaafkannya! Aku telah memaafkannya!
Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mendamaikan mereka berdua. Kepada yang memaafkan, Dia anugerahkan istana keampunan di dalam surga. Dan yang lebih indah lagi, sebab mereka dahulu di dunia bersaudara dan saling mencintai karena-Nya maka Allah mengaruniakan pula bagi hamba yang dimaafkan itu sebuah istana yang terletak di hadapan istana penggugatnya.
(M. Azzam/Cordofa)