Kabar Terbaru

Larangan Menyambut Dengan Cara Berdiri

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Maaf, saya mau bertanya mengenai video yang muncul di beranda sosmed saya. Video tersebut tentu membuat saya sangat bingung dan bertanya-tanya apakah materi hadis yang disampaikan dalam video tersebut benar adanya. Maksud saya pemahaman hadis dalam video tersebut.

Dalam video ada adegan dan narasi yang saya pahami bahwa menyambut orang dengan cara berdiri adalah sebuah kesalahan dan ancamannya sangat serius, yaitu neraka. Berikut terjemahan hadis dalam video tersebut:

“Suatu hari Mu’awiyah datang kepada Ibn Zubair dan Ibn ‘Amir, kemudian Ibn Amir berdiri tegak dan Ibn Zubair tetap duduk. Lalu Muawiyah berkata kepada Ibn Amir, “Duduklah, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Saw Bersabda: Barang siapa yang suka orang lain berdiri untuknya, maka sediakanlah baginya tempat di neraka.” (HR. Abu Daud no. 5229).

Jika pemahaman hadis yang disampaikan dalam video tersebut benar, lalu bagaimana dengan etika umum yang dilakukan masyarakat Indonesia, bahkan mungkin dunia yang sangat terbiasa menyambut tamu, tokoh, alim ulama dan pemimpin dengan cara berdiri? Apa selama ini mereka terancam masuk neraka? Jujur, Ustaz, semenjak saya kecil hingga usia saya yang sudah 50 lebih ini baru menemukan hadis dan pemahamannya demikian.

Melaui konsultasi ini, saya mohon dengan sangat agar Ustaz berkenan merespon dan memberikan pencerahan.

Demikian dan terima kasih.

Wassalam.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr Wb.

Karena kami tidak melihat video yang Anda maksud secara langsung, maka kami hanya menjawab berdasarkan data atau informasi yang Anda sampaikan.

Jika melihat dari terjemah hadis yang Anda sampaikan, maka kami hadirkan hadis tersebut dari sumber kitab aslinya, yaitu Sunan Abi Daud sebagai berikut:

عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ قَالَ خَرَجَ مُعَاوِيَةُ عَلَى ابْنِ الزُّبَيْرِ وَابْنِ عَامِرٍ فَقَامَ ابْنُ عَامِرٍ وَجَلَسَ ابْنُ الزُّبَيْرِ فَقَالَ مُعَاوِيَةُ لِابْنِ عَامِرٍ اجْلِسْ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَمْثُلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.

Dari Abu Miljaz ia berkata, “Mu’awiyah pergi menemui Ibnu Az Zubair dan Ibnu Amir, Ibnu Amir lalu berdiri sementara Ibnu Az Zubair tetap duduk. [Mu’awiyah] lalu berkata kepada Ibnu Amir, “Duduklah, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa senang melihat orang lain berdiri karenanya, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad).

Hadis diatas adalah hadis sahih dan tentunya dapat dijadikan hujah.

Jika melihat hadis ini dan bagi yang tidak mengerti bahasa Arab dan mengandalkan terjemah saja, mungkin sepintas kita akan mengambil kesimpulan bahwa menyambut orang yang kita hormati, siapa saja, entah orang tua, kakak, tamu, presiden, kai, ustaz atau siapa saja tentu haram berdiri. Jika ini dilakukan, maka pelakunya masuk neraka. Benarkah begitu?

Sebaiknya kita tidak terburu-buru untuk mengambil kesimpulan sebelum mengetahui komentar para ulama mengenai pemahaman hadis ini. Jika kita awam, sebaiknya bertanya kepada para kiai atau ustaz yang memang benar-benar luas wawasannya, handal membaca dan memahami kitab-kitab turats (kitab-kitab klasik berbahasa arab, bukan terjemahan), rajin berguru pada ulama-ulama senior dan terbiasa berdiskusi. Sebetulnya bukan bermaksud membanding-bandingkan ustadz sih, sebab zaman sekarang, gelar ustaz sangat mudah dilabeli. Baru bisa menjadi imam salat dan pimpin tahlilan saja sudah dilabeli ustaz. Begitu juga bagi orang yang belum lama hijrah, hanya gara-gara sering ikut kajian saja sudah mudah berfatwa dengan mengandalkan terjemahan . Ruwet!

Baik, sekarang kita akan akses syarah (komentar atau penjelasan) mengenai hadis tersebut:

وفي فتح الباري قال النووي في الجواب عن هذا الحديث إن الأصح والأولى بل الذي لا حاجة إلى ما سواه أن معناه زجر المكلف أن يحب قيام الناس له ، قال وليس فيه تعرض للقيام بنهي ولا غيره وهذا متفق عليه.

قال والمنهي عنه محبة القيام فلو لم يخطر بباله فقاموا له أو لم يقوموا فلا لوم عليه فإن أحب ارتكب التحريم سواء قاموا أو لم يقوموا قال فلا يصح الاحتجاج به لترك القيام.

فإن قيل فالقيام سبب للوقوع في المنهي عنه ، قلنا هذا فاسد لأنا قدمنا أن الوقوع في المنهي عنه يتعلق بالمحبة خاصة انتهى ملخصا.[1]

Dalam Kitab Fathul Bari (disusun oleh Imam Ibn Hajar Al-Asqallani, pen), Al Imam An-Nawawi menjawab tentang (makna) hadis ini, bahwa Pemahaman yang paling benar dan utama, bahkan tidak perlu pendapat yang lain, bahwa hadis tersebut merupakan celaan kepada seorang mukalaf yang suka jika orang-orang berdiri untuknya. Dalam hadis ini bukanlah adanya larangan untuk menyambut orang baik dengan cara berdiri ataupun selainnya. Inilah yang disepakati oleh para ulama.

Dia (An-Nawawi juga mengatakan yang dilarang dalam hadis ini adalah perasaan senang ketika orang lain berdiri untuknya. Maka ketika tidak terlintas dalam pikirannya ada perasaan senang tersebut, baik orang-orang berdiri ataupun tidak, maka hal ini tidak ada cela sama sekali (boleh). Namun, ketika ia “senang” jika disambut dengan cara berdiri atau tidak, maka di situlah letak keharamannya. Maka tidaklah benar jika hadis ini dijadikan hujah (alasan) untuk meninggalkan penyambutan dengan cara berdiri.

Jika dikatakan bahwa berdiri merupakan penyebab keharaman, maka kita bisa mengatakan bahwa ini merupakan pemahaman yang rusak. Sudah dipaparkan dahulu bahwa sebab terjadinya suatu larangan adalah orang yang senang orang lain berdiri untuknya saja.”

Melalui penjelasan Imam Nawawi di atas, maka pemahaman yang tepat untuk hadis di atas adalah larangan atau celaan bagi orang yang suka disambut dengan cara berdiri. Jika ia tidak disambut dengan cara berdiri, dia akan merasa marah dan tersinggung. Artinya, orang yang memiliki sifat seperti ini mirip dengan orang yang “gila hormat”. Tegasnya, tidak ada larangan sama sekali menyambut orang yang kita hormati dengan cara berdiri, seperti yang sudah biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan juga dunia. Dan tentunya tidak ada ancaman masuk neraka hanya gara-gara menyambut dengan cara berdiri. Ruwet!

Menyambut orang yang kita hormati dan kita cintai justru menunjukkan adab yang sangat tinggi. Rasulullah SAW adalah orang yang paling terhormat sejagad, beliau menyambut Fatimah RA, anak tercinta beliau ketika berkunjung ke rumah ayahnya. Hal ini terdapat dalam hadis:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَشْبَهَ سَمْتًا وَدَلًّا وَهَدْيًا بِرَسُولِ اللَّهِ فِي قِيَامِهَا وَقُعُودِهَا مِنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا وَأَجْلَسَهَا فِي مَجْلِسِهِ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ مِنْ مَجْلِسِهَا فَقَبَّلَتْهُ وَأَجْلَسَتْهُ فِي مَجْلِسِهَا.

Dari Ummul Mukminin, Aisyahdia berkata; “Saya tidak pernah melihat seorang pun yang menyerupai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik pada kekhusyu’annya, perilakunya dan pendiriannya ketika berdiri maupun duduknya kecuali Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Aisyah berkata; “(yaitu) apabila ia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau akan menyambutnya, menciumnya dan memberinya tempat duduk di tempat duduk yang beliau tempati, begitu juga dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila beliau menemuinya, maka ia akan berdiri dari tempat duduknya (untuk menyambut), lalu dia akan mencium beliau dan memberinya tempat duduk di tempat duduk yang dia tempati. (HR. Tirmidzi).

Hadis diatas tegas sekali bahwa Rasulullah menyambut Fatimah dengan cara berdiri. Apakah Rasulullah termasuk salah dan masuk neraka?

Kesimpulan:

Berbangga diri dan ingin disanjung orang adalah perbuatan tercela. Jika sikap ini terus berlanjut dan tidak mau bertaubat, maka pelakunya bisa masuk neraka karena mati dalam keadaan sombong.
Menyambut orang yang kita hormati dengan cara berdiri adalah termasuk akhlak mulia sebagaimana Rasulullah SAW menyambut Fatimah dengan cara berdiri.
Jika melihat tekstual ayat Al-Qur’an atau hadis yang sekiranya membuat kita ganjil, maka jangan terburu-buru mengambil kesimpulan apalagi berfatwa. Bukan ayat atau hadisnya yang ganjil, tapi pemahaman kitalah yang terbatas. Hendaknya kita bertanya kepada alim ulama agar tidak salah paham.

Demikian dan semoga bermanfaat.

Wallahu A’lam.

Foto : Freepik

[1] Muhammad Asyarf Al-Abadi, Aun Al-Ma’bud Aa Syarh Sunan Abi Daud, Dar Ibn Hazm, Beirut, Cetakan pertama, 1426 H, Hal. 2380.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *