Oleh: Muhammad Aris Alwi
Di kala awal mendengar kata Psychological First Aid (PFA), saya merasa sangat takut, karena yang terbayang adalah terjun ke lokasi bencana kemudian terlibat langsung dalam evakuasi korban. Namun setelah mengikuti pelatihan PFA selama dua hari satu malam yang diadakan oleh Human Capital (HC) Dompet Dhuafa, rasa takut itu berubah total menjadi penasaran, kemudian ingin segera mengimplementasikan ilmu dari hasil pelatihan untuk praktik di lapangan.
Tidak lama kemudian, karena pelatihan itu bertepatan dengan waktu bencana, Dompet Dhuafa membuka kesempatan kepada relawan PFA untuk terlibat dalam penanganan bencana yang terjadi di Palu, Donggala, dan Sigi. Atas izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala, saat itu saya menjadi orang pertama yang mendaftarkan diri, walaupun terkadang hati masih dag-dig-dug, karena belum memiliki pengalaman sama sekali menjadi relawan kebencanaan, namun dengan mengucapkan Basmallah, saya yakin bisa. Allahu Akbar!
Tepat pada Selasa (9/10/2018) lalu, pukul 05.15 WIB, saya berangkat ke Palu bersama sembilan orang relawan lain, baik dari alumni peserta pelatihan PFA maupun dari tim medis yang sama-sama dalam naungan bendera Dompet Dhuafa.
Alhamdulillah, tepat pukul 08.15 WIT, saya sampai dengan selamat di Bandara Udara Mutiara SIS Al-Jufry, Palu. Sesampai di sana, badan terasa dingin dan penuh was-was karena melihat dampak gempa 7,4 SR yang terjadi sembilan hari lalu di kota tempat saya berpijak itu. Ya Allah, mimpikah saya!
Dua hari pertama di sana, masih dalam tahap observasi dari satu tempat ke tempat lain yang terkena dampak. Hingga pada hari ke lima, saya bersama teman-teman relawan PFA berkunjung ke salah satu tempat pengungsian korban likuifaksi yang berlokasi di Kecamatan Petobo. Ada sekitar 400 KK yang tengah mengungsi di sana.
Pada saat kami mempraktikkan pemahaman psychological first aid untuk para pengungsi, mata saya tertuju kepada seorang ibu bernama Ira yang sedang mengandung 7 bulan. Beliau tidak bisa berkata-kata, melainkan hanya sekadar melihat saya dengan mata yang berkaca-kaca. Beliau melihat ke arah saya yang sedang memberikan tausyiah semangat.
Lalu saya menghampiri dan bertanya, “keluarga Ibu sedang ke mana?” Sontak peserta PFA (pengungsi) yang lain menjawab bahwa ibu ini sebatang kara. Ibu Ira menyaksikan sendiri saat likuifaksi terjadi, keluarga tercintanya—suami, dua anak, bapak, ibu, dan kakeknya—tertelan bumi. Bahkan beliau masih sempat mendengar teriakan suaminya, “lari! Lari! Lari, Bu. Biarkan Ayah…”, setelah menoleh ke belakang, sang suami pun sudah masuk dalam lumpur. Begitu cepat lumpur itu menghabiskan dua kecamatan di Petobo sampai suaminya pun tak sempat mengakhiri kalimatnya.
Terbayang oleh kita semua apa yang Ibu Ira rasakan. Dengan suara gemetar, saya mengajak beliau berkomunikasi untuk meredam trauma, namun di luar dugaan, Ibu Ira bertutur, “Pak Ustadz, saya yakin keluarga saya sudah masuk surga”. Semua peserta PFA yang mendengar pun turut berkata mendoakan dan serempak berucap Aamiin.
Relawan PFA pun terus menlanjutkan kegiatan meminimalisir trauma di tempat pengungsian itu. Alhamdulillah mereka ikhlas dan ridho atas ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, semua dalam kondisi berdaya.
Dari cerita singkat tersebut, maka terdapat banyak inspirasi hidup, bahwa bencana yang menerjang Palu dan sekitarnya bisa diambil hikmah, atas kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, untuk menjadi pengingat bagi kita semua.
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (Al-Insyirah : 5-6). Wallahu a’lam.
Baca Juga:
Aksi Dai Muda Cordofa Hilangkan Trauma Anak-anak Korban Kebakaran