Kabar Terbaru

Kilau Sebulir Embun Dakwah

Apabila Allah menghendaki suatu kebaikan untuk seorang hamba, maka Dia akan memahamkannya tentang agama, dan memperlihatkan cacat sela yang ada pada dirinya.
– Muhammad, Rasulullah –

“Ilmu tidak mengenal besar ataupun kecilnya,” begitu kiranya Dr. Yusuf Al Qaradhawi saat memberi pengantar dalam buku tebal Fiqih Jihad-nya, “sebagaimana kita­­ ­ pahami Sulaiman pun sudi belajar pada semut dan burung hud-hud.”

Seperti itulah salah satu asas terpenting dalam ilmu, yaitu kesediaan hati untuk menadahkan akal terhadapnya dari arah mana pun jua. Ia juga halnya penerimaan yang terbuka oleh segenap indra, dari sosok bagaimana pun terjumpa datangnya. “Aku menyimak setiap ayat dalam ilmu dari siapa pun juga,” begitulah Atha’ ibn Abi Rabah berpendirian. “seakan-akan aku belum pernah mendengarnya. Padahal aku telah menghafalnya, jauh sebelum sang penyampai dilahirkan.” Maka boleh jadi Atha’ ibn Abi Rabah telah dengan mahirnya menerapkan untaian kalimat indah yang kini sering kita dengar, “lihatlah apa yang dikatakan, dan jangan lihat siapa yang mengatakan.”

Karena bahwa ilmu adalah ilmu. Karena setiap ilmu adalah mulia dan bermanfaat. Meski ia tentang hal mungil, yang remeh dan rincian yang temeh.

Abu Hanifah pernah berkisah, “Pada suatu musim haji di Makkah, aku telah berbuat kesalahan dalam lima bab dari salah satu bagian manasik, kemudian seorang tukang cukur mengajariku,” “Saat itu aku ingin mencukur rambutku supaya aku tuntas dan keluar dari keadaan ihram. Maka aku datangin seorang tukang cukur dan kutanyakan padanya, “Dengan bayaran berapa anda mencukur rambutku ?””

Tukang cukur itu menjawab, “Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu. Sesungguhnya ibadah tidak mensyaratkan bayaran. Duduklah dan berikan sekadar kerelaan.”

Lalu aku pun duduk, tapi aku menghadap dalam keadaan berpaling dari arah kiblat. Tukang cukur itu pun memposisikan aku ke arah kiblat, aku menurutinya. Dan aku pun semakin malu dibuatnya.

Saat aku memiringkan kepala supaya dia mencukur rambutku dari sebelah kiri, dia berujar, “Berikanlah bagian kanan kepalamu, sebab mendahulukan yang kanan termasuk Sunnah.”

Dan ketika aku terdiam lantaran hatiku merasa sangat kagum kepadanya, menakjubkan, dia malah menegurku. “Kenapa engkau diam, wahai hamba Allah ? Demi Allah, bertakbirlah.” Lalu aku pun bertakbir hingga ia selesai mencukur semua rambutku.

Sesudahnya, aku pun berdiri untuk bersiap-siap pergi. Tetapi dia menahankan dan bertanya kemana aku akan pergi. “Karena sudah selesai aku akan menuju kendaraanku.” Tukang cukur itu tersenyum dan berkata lagi, “Shalatlah dua rakaat terlebih dahulu, baru kemudian pergilah kemana engkau suka.” Dan dengan penuh syukur atas ilmu yang baru kuketahui ini, aku pun shalat dua rakaat.

Usai salam, aku bertanya kepadanya perihal darimana ia dapatkan ilmu manasik yang baru saja diajarkan padaku. Maka dia menjawab, “Demi Allah, aku telah melihat Atha’ ibn Abi Rabah melakukan semua itu, lalu aku pun mengikutinya, dan aku arahkan orang-orang untuk beramal dengannya.”

(M. Azzam/Cordofa)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *