Jika orang tua memiliki harta kekayaan lalu meninggal dunia, maka otomatis anak kandung memperoleh warisan. Artinya, tanpa bersusah payah, anak kandung otomatis memperoleh warisan. Begitu juga jika orang tua wafat dalam keadaan berhutang, maka anak atau ahli waris lainnya otomatis menjadi penanggung hutang. Warisan bukan cuma harta, tapi hutang juga demikian.
Lalu bagaimana dengan kesalehan? Apakah bisa diwariskan sebagaimana harta dan hutang? Jawabannya adalah tidak. Tapi walaupun tidak, orang tua yang saleh sangat berpeluang menjadikan anak-anaknya saleh seperti dirinya. Sang ayah dan ibunya setiap waktu dapat mendidik anak-anak mereka dengan baik, terlebih jika orang tua adalah Ulama, Kiai atau Ustaz.
Tapi lagi-lagi fakta berbicara lain. Ada saja berita tidak sedap yang kita dengar. Adakalanya seorang kiai yang anaknya tidak saleh bahkan membuat malu ayahnya. Dan naudzu billah, mungkin ada saja anak seorang kiai atau ustaz yang mati dalam keadaan murtad!
Jangankan kiai atau ulama. Kita tentu ingat kisah Nabi Nuh AS. Salah satu anak beliau mati ditelan air bah bersama ibu dan kaum Nabi Nuh yang kafir. Kita mengenal nama anak itu dengan Kan’an, walaupun ada yang menyebutnya Yam (Ibnu Katsir, pen).
Nabi Nuh melihat anaknya berusaha menyelamatkan diri dari air bah lalu menyuruhnya agar ia menaiki kapal. Alih-alih mematuhi perintah sang ayah, justru sang anak menolak dan mengatakan akan berenang menuju gunung yang ada di hadapannya. Setelah itu ombak besar datang dan menenggelamkan sang anak yang kafir itu.
Kisah kafirnya anak Nabi Nuh tersebut diabadikan oleh Al-Qur’an sebagai berikut:
وَقَالَ ٱرْكَبُوا۟ فِيهَا بِسْمِ ٱللَّهِ مَجْر۪ىٰهَا وَمُرْسَىٰهَآ إِنَّ رَبِّى لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٤١﴾.
Dan dia berkata, “Naiklah kamu semua ke dalamnya (kapal) dengan (menyebut) nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. Hud: 41).
وَهِىَ تَجْرِى بِهِمْ فِى مَوْجٍ كَٱلْجِبَالِ وَنَادَىٰ نُوحٌ ٱبْنَهُۥ وَكَانَ فِى مَعْزِلٍ يَٰبُنَىَّ ٱرْكَب مَّعَنَا وَلَا تَكُن مَّعَ ٱلْكَٰفِرِينَ ﴿٤٢﴾.
“Dan kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, ketika dia (anak itu) berada di tempat yang jauh terpencil, “Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.” (Q.S. Hud: 42).
قَالَ سَـَٔاوِىٓ إِلَىٰ جَبَلٍ يَعْصِمُنِى مِنَ ٱلْمَآءِ قَالَ لَا عَاصِمَ ٱلْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ ٱللَّهِ إِلَّا مَن رَّحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا ٱلْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ ٱلْمُغْرَقِينَ ﴿٤٣﴾.
Dia (anaknya) menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!” (Nuh) berkata, “Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka dia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan. (Q.S. Hud: 43).
Karena memang kesalehan tidak otomatis terwarisi, maka didiklah anak kita dengan maksimal. Bekali mereka dengan pendidikan agama yang sangat memadai. Dan jangan lupa berdoa kepada Allah agar mereka menjadi anak saleh dan memiliki keturunan yang saleh. Jangan sepelekan doa! Orang beriman dan bertakwa selalu berdoa penuh harap dan khusyu agar doa mereka dikabulkan. Simak firman Allah berikut:
وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا ﴿٧٤﴾.
Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Furqan: 74).
Semoga Allah menganugerahkan kita anak dan keturunan yang saleh, aamiin!
Wallahu A’lam.
Foto : Freepik