Korea–Pagi itu sekitar pukul sepuluh waktu Korea, sepasang polisi mengetuk pintu Masjid al-Ikhlas Yongin yang terletak di Provinsi Gyeonggi Do Korsel. Mereka mengaku ingin bertemu kawannya, seorang TKI bernama Siswanto, yang sudah belasan tahun merantau di Korea, sebab lusa kawannya akan pulang, mengakhiri perjalanan di Korea. Dan kedua polisi yang berusia 30 tahun ini datang untuk melepas kepulangan kawannya ke Indonesia.
Ustadz Alnofiandri Dinar, Dai Ambassador Corps Dai Dompet Dhuafa (Cordofa) yang tengah berdakwah di Korea Selatan sempat berdialog dengan mereka tentang Islam. Tampak dari wajah mereka rasa ingin tahu tentang Islam lebih banyak, karena semua ajaran Islam itu bagus, logis, humanis, bersih, penuh kehangatan, kebersamaan, dan menentramkan hati.
Hal ini serupa dengan yang diungkapkan oleh Fatima An, salah seorang polisi tersebut, ia berujar tertarik dengan Islam karena melihat orang-orang Islam yang saya temui sangat ramah dan punya jiwa sosial yang tinggi.
“Di media-media saya sering perhatikan umat Islam yang saling bantu dan berkorban untuk saudara-saudaranya. Padahal menurut saya mereka belum tentu saling kenal. Tapi kenapa mereka mau saling berbagi? Saya pikir pasti ada dorongan tersendiri di dalam dirinya,” ujanya.
“Setelah mengenal Islam baru saya tahu, ternyata Islam yang membuat mereka berperilaku tolong-menolong. Saya tidak percaya sama sekali tuduhan Islam sebagai agama terotis,” lanjutnya.
Sang kekasih pun menimpali, Saad Kim, ia berkata, “saya sering mengalami stress karena berbagai persoalan hidup saya, karena pekerjaan, wanita, teman, dan lain-lain. Bahkan saya pernah hampir bunuh diri. Di saat saya mengalami stres yang sudah memuncak saya lihat beberapa orang Islam yang sedang menuju tempat ibadah mereka. Saya perhatikan apa yang mereka lakukan dan saya amati bagaimana mereka bersikap sesama mereka. Saya lihat mereka sangat akrab dan penuh kehangatan ketika bertemu sesama mereka. Tidak terkesan ada beban kehidupan yang mereka tanggung.”
Setelah menghela napas ia pun melanjutkan lagi pernyataannya, “Padahal mereka jauh- jauh datang ke Korea hanya untuk bekerja sebagai buruh pabrik. Apa yang membuat mereka memiliki sikap hidup seperti itu? Saya pun mulai mencari tahu tentang islam dan akhirnya merasa sangat tertarik dengan ajarannya.”
Alhamdulillah mereka kemudian menjadi muallaf sejak sekitar 2 bulan lalu, setelah berdialog sekitar 1 jam dengan jamaah tabligh asal Indonesia yang sedang i’tikaf di Masjid al-Ikhlas Yongin. Waktu itu mereka masih ingin banyak penjelasan tentang Islam, lalu datang ke Masjid. Alhamdulillah ada brother-brother yang menyambut mereka bersedia menjelaskan banyak hal yang ditanyakan.
Setelah menjadi muallaf, mereka diberi nama Fatima An dan Saad Kim, dengan harapan semoga sepasang kekasih ini mampu meniru Fatimah anak Rasul dan Sa’ad bin Abi Waqqas, sahabat Rasul yang mulia.
Mereka terus berusaha mempelajari Islam dengan manfaatkan media, termasuk datang ke Masjid al-Ikhlas Yongin, yang dirintis dan dikelola oleh saudara-saudara dari Indonesia. Mereka juga terus berkomunikasi dengan sesama muallaf Korea lainnya.
Ketika akan meninggalkan masjid, Siswato, memberikan sebuah mushaf al-Qur’an terjemahan bahasa Korea kepada Fatima An dan Saad Kim. Semoga hidayah al-Qur’an terus menyinari hati mereka dan semakin meningkat pemahaman mereka terhadap ajaran islam. Mudah-mudahan mereka mampu menjadi duta Islam di negeri sendiri dan menjadi sebab muallafnya banyak penduduk Korea lainnya. Aamiin.
Ini satu di antara peran muslim Indonesia dalam mengIslamkan dan membina muallaf di Korea. Semoga keberadaan 58 masjid yang dikelola oleh WNI di Korea menjadi cahaya hidayah bagi masyarakat Korea lainnya.
Baca Juga: Buka Bersama Masyarakat Pedalaman Halmahera dan Muallaf Suku Terasing Togutil