Pernahkah kau merasa dikecewakan oleh dia yang selalu di sisimu?
Dunianya mendadak seolah kehilangan cahaya. Padahal dia masih bisa melihat.
Berulang dipanggilnya nama lelaki itu hingga suara parau.
Kenapa? Apa yang terjadi?
Peristiwa di hadapannya sulit dipercaya. Masih mungkinkah berharap ini cuma mimpi?
Tetapi semua ini nyata dan jelas, sejelas sinar rembulan yang berpendar di tengah gulitanya malam.
Laki-laki itu ingin mengejar istri dan anak-anak tercintanya yang beberapa menit lalu diseret paksa memasuki sebuah mobil jip hitam. Tetapi betapa berat kaki ini diajak melangkah. Meski aku tidak begitu merasakan sakitnya, apa sebegitu parahnya luka dan syok yang dirasakan tubuh ini usai dihajar habis-habisan? Seperti ada pasak tak kasat mata memasung pada titik dia terjerembap.
Hari ini, malam terasa lebih dingin dari biasanya. Lidah hewan-hewan malam pun seolah membisu. Tidak ingin melibatkan diri mereka dalam tragedi itu. Melihatnya pun enggan.
Buliran bening yang sekuat tenaga ditahan, menitik saat mereka beradu pandang, dalam ingatannya.
Kenapa?
Mata yang sedianya selalu memandang teduh dan tak beriak, kali ini dibayangi kecemasan. Ia sangat khawatir pada apa yang akan terjadi pada istri dan anak-anaknya. Dia tidak menyangka bahwa ia begitu kejam.
Kenapa kamu melakukan ini kawan?
Lelaki itu dan keluarganya bertatapan dalam jarak yang kian kabur, sebelum sepasang tangan kukuh lain mendorong kasar kepala lelaki merona merah. Amarah.
Kini mata mereka kembali beradu pandang.
“Kenapa kamu juga melibatkan keluargaku?” lelaki itu tetap mencoba menahan agar lidah tetap santun, meski matanya menatap nanar dan hatinya berdebur kencang.
Pria itu, si pemilik tangan kukuh lainnya, menekuk kakinya rendah, “Maafkan aku kawan. Bukannya aku tidak menghormatimu, tapi, seperti yang kau tahu, sepertinya aku memang tidak ditakdirkan untuk hidup di jalan dakwah. Yang memerintahkanku untuk melakukan hal ini padamu adalah dia yang tak mampu kubantah titahnya.”
“Meskipun kamu tahu Allah ada di atas segalanya?” ia mencoba mendebat.
“Ya, meski aku tahu Allah ada di atas segalanya. Aku yakin Dia juga bisa membuatku malah jadi membantumu dan melawan kehendak orang itu.” “Tapi kawan, aku tidak bisa melihat-Nya. Sedangkan aku belum cukup kuat sepertimu untuk mengharap perlindungan dari yang tak mampu kulihat.” “Selamat tinggal kawan. Aku tidak memaksamu untuk memaafkanku.”
Pelan benaknya berusaha mencerna peristiwa yang berlangsung cepat ini. Sia-sia. Pikirannya buntu. Yang lelaki itu temukan, amarahnya kini berubah menjadi rasa iba dan bersalah.
Apa yang terjadi pada kawan dan dirinya sekarang adalah murni kesalahannya. Mengapa selama ini dia hanya berdakwah pada mereka yang tidak begitu dia kenal. Pada orang-orang yang jaraknya jauh dengannya. Kenapa ia tidak menyadari, kalau kawan yang selama ini dia anggap sebagai kawan seperjuangan, ternyata lebih membutuhkan dirinya daripada orang-orang itu.
Sungguh, jalan dakwah ini begitu berat ditempuh. Ya Allah, kalau bukan karena-Mu, mungkin aku akan menjadi orang yang lebih buruk darinya. Semoga Engkau berkenan untuk terus membimbingku dan memaafkanku atas segala kesalahan yang ku lakukan.
(M. Azzam/Cordofa)