Kabar Terbaru

Islam Sebagai Rahmat

Alam surat al-Anbiya ayat 107, Allah SWT menjelaskan bahwa tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai rasul adalah sebagai rahmat bagi sekalian alam. Ketika menafsirkan kata rahmatan lil ‘ālamīn, Al-Sa’diy, seorang mufasir kontemporer, mengatakan bahwa

“Nabi SAW diutus sebagai rahmat bagi seluruh manusia. Barang siapa yang beriman kepada Nabi, maka ia akan bahagia dan selamat, tetapi sebaliknya, siapa yang tidak beriman, maka ia akan gagal dan merugi.” Oleh karena itu, kata rahmat dapat diartikan kebahagiaan (al-sa’ādah) dan keselamatan (salamah).

Islam, sebagai sebuah agama (al-dīn), menjanjikan kebahagiaan dan keselamatan (salvation). Bahkan Islam menawarkan konsep kebahagiaan yang holistik dan visioner, yaitu bukan hanya kebahagiaan di dunia yang fana ini, akan tetapi kebahagian yang kekal di akhirat kelak. Sementara, keselamatan yang juga merupakan arti salah satu dari akar kata al-Islam itu sendiri, yaitu salama(h), lebih merupakan keselamatan dan sekaligus sebagai gerbang menuju kebahagiaan di akhirat.

Kebahagiaan dan keselamatan yang ditawarkan Islam ini tentu hanya akan didapat ketika seseorang mengikuti aturan Islam. Islam itu sendiri adalah seperangkat aturan Ilahi (wad’un ilāhiyyun). Maka rahmat (kebahagiaan dan keselamatan) ini akan terasa oleh seseorang ketika ia tunduk patuh secara total kepada aturan Allah SWT. Dengan kata lain, “ketundukan” yang juga merupakan pengertian dari salah satu akar kata al-Islam, yaitu aslama, adalah kunci seseorang akan mendapat rahmat Allah SWT.

Dalam kajian hukum Islam, seorang Muslim mukallaf (yang terkena beban hukum/taklif) tidak bisa terlepas dari lima macam hukum, yaitu wajib, sunnah, mubah (boleh), makruh, dan haram. Seorang yang menginginkan kebahagiaan dan keselamatan, maka ia mesti memperhatikan kelima hukum tersebut dalam seluruh aspek kehidupannya. Ia harus menjalankan yang wajib, memperbanyak yang sunnah, tidak berlebihan dalam hal yang mubah, menghindari yang makruh, dan menjauhi yang haram.

Kalau kita perhatikan, tujuan ditetapkannya syariat Islam (maqāshid al-syari’āh) sebenarnya dalam rangka menciptakan kebahagiaan dan keselamatan bagi umat manusia. Abū Ishāq al-Syathibiy, seorang ahli Ushul fiqh, dalam kitabnya al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Syarī’ah menyebutkan ada lima tujuan atau maksud ditetapkannya syariat Islam, yaitu menjaga agama (hifdz al-dīn), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga akal (hifdz al-‘aql), menjaga keturunan (hifdz al-nasab), dan menjaga harta (hifdz al-māl).

Lima hal ini sesungguhnya sangatlah prinsip ketika kita mendambakan kebahagiaan. Karena sejatinya, ketika kelima prinsip ini terealisasi, maka akan muncul tatanan masyarakat yang aman, tentram, damai, sehat, adil, makmur, dan diridhai Allah SWT. Dengan itu semua maka lahirlah kebahagiaan (al-sa’ādah) dan keselamatan (sālamah).

Dengan prinsip menjaga agama (hifdz al-dīn), syariat Islam bertujuan untuk memelihara agama ini dari berbagai pemahaman dan aliran yang menyimpang. Syariat menuntut agar agama ini dipahami dan diamalkan dengan baik dan benar. Jika kalian tidak tahu maka tanyakan kepada ahlinya, demikian dikatakan dalam al-Qur’an (QS. al-Nahl: 43). Dengan prinsip ini pula, hukum syari’at memagari orang untuk berpindah agama (murtad) (HR. Bukhari no. 6878).

Dengan prinsip menjaga jiwa (hifdz al-nafs), syariat Islam menjaga hak manusia yang paling asasi, yaitu terpeliharanya jiwa. Oleh karena itulah maka Islam melarang orang membunuh orang lain. Di dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa barang siapa yang membunuh orang lain tanpa alasan yang benar, maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia (QS. al-Māidah: 32). Dan bagi pelaku pembunuhan, hukumannya adalah dibunuh lagi (qishash) (QS. al-Baqarah: 178).

Dengan prinsip menjaga akal (hifdz al-‘aql), syariat Islam memelihara manusia dari berbagai hal yang dapat merusak akalnya. Karena itulah maka Islam mengharamkan khamar (narkoba), seperti dijelaskan dalam surat al-Maidah: 90. Dengan prinsip menjaga keturunan (hifdz-al-nasab), maka Islam mengharamkan berbuat zina (QS. al-Nūr: 2) dan memerintahkan untuk menikah (QS. al-Rūm: 21 dan al-Nisā: 3). Karena dengan begitu, dimungkinkan lahirnya keturunan yang baik dan terpelihara.

Dan dengan prinsip menjaga harta (hifdz al-māl), syariat Islam menjamin kepemilikan harta dan menjaganya dari tidakan-tindakan bathil yang bermaksud untuk menguasai harta tersebut (QS. al-Baqarah: 188). Oleh karena itulah, seperti dijelaskan oleh al-Sa’diy dalam kitab tafsirnya, Islam melarang seseorang melakukan penipuan, ghashab (mengambil tanpa permisi walaupun tidak bermaksud untuk mencurinya), pencurian, penyuapan, riba, dan semacamnya.

Dari pembahasan di atas, maka jelaslah visi dan misi Islam sebagai rahmatan lil ‘ālamīn. Islam adalah agama yang menawarkan sebuah sistem komprehensif yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan keselamatan. Untuk itu, Islam dengan prinsip-prinsip penetapan hukumnya (maqāshid al-syari’āh), berusaha menata perilaku manusia dan menjaganya dari perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan masalah di tengah masyarakat. Islam menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Jika kita lihat fakta di masyarakat, memang isu yang tercakup dalam prinsip-prinsip syariat Islam (maqāshid al-syari’āh) inilah yang selalu menjadi pusaran masalah di tengah masyarakat. Kita bisa saksikan misalnya: munculnya aliran atau gerakan keagamaan yang menyimpang (untuk tidak mengatakan tersesat), kejahatan yang sampai pada tahap menghilangkan nyawa anak manusia, peredaran narkoba yang justru malah kian merajalela, paham, perilaku, dan gerakan homoseksual/lesbian yang terus menggila, dan maraknya korupsi yang tidak pernah bisa direda.

Itu semua fakta penyakit masyarakat yang menjadi biang kesengsaraan bahkan kehancuran bangsa.
Kita sendiri mungkin bukan pelaku itu semua, tetapi kita harus senantiasa ingat firman Allah SWT yang memperingatkan bahwa akibat perbuatan maksiat itu bukan hanya menimpa pelakunya, tetapi bisa juga menimpa orang-orang shaleh di sekitarnya (QS. al-Anfāl: 25).

Oleh karena itu, maka kita tidak boleh berdiam diri menyaksikan kemaksiatan-kemaksiatan tersebut. Kita mesti berbuat sesuatu. Ubahlah kemunkaran dengan kekuatan (kekuasaan), dengan lisan (nasihat), atau dengan hati (merasa tidak senang) (HR. Muslim no. 49). Jagalah diri dan keluarga, termasuk juga lingkungan kita dari perbuatan-perbuatan maksiat tersebut (QS. al-Tahrīm: 6).

Alhasil, kita harus selalu berusaha menjauhi larangan Allah SWT (kemaksiatan), termasuk mengingatkan dan mencegah orang dari berbuat maksiat (nahy munkar), dan selalu berusaha untuk tunduk patuh pada aturan Allah SWT, beriman dan bertaqwa kepada-Nya, juga mengajak orang untuk melakukannya (amar ma’ruf). Ketika kita melakukan yang terakhir ini, maka janji Allah adalah terbukanya pintu keberkahan dari langit dan bumi (QS. Al-A’rāf: 96). Inilah rahmat dari Allah bagi sekalian alam (terutama manusia). Kebahagiaan dan keselamatan yang akan dirasakan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.

Wallāhu a’lam bi al-shawāb.

Oleh: Cucu Surahman, S. Th.I., M.Ag., MA

Download Versi Buletin dan Buletin Jumat Lainnya di sini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *