Ini adalah hari pertama ku memasuki dunia dakwah, atau lebih tepatnya dunia Lembaga Dakwah Kampus. Aku benci mengakuinya, tapi aku benar-benar merasa belum siap untuk ini. Yang aku tahu, orang-orang di lembaga ini semuanya sangat menjaga jarak antara laki-laki dan perempuan. Belum lagi yang katanya mereka adalah calon penerus alim ulama, artinya pemahaman mereka tentang agama sungguh sesuatu banget.
“Hai adikku yang manis, yang cantik dan suka menabung, jangan bengong gitu dong!” kakakku tiba-tiba menyentak. “Nanti ayam tetangga mati loh.”
“Apa sih, enak aja! Siapa juga yang bengong, cuma termenung kok.” jawabku ketus.
Ih aku sebal sekali dengan kakakku yang satu ini. Suka sekali mengganggu kalo ngeliat aku bengong sedikit.
“Jadi, bagaimana ? masih tetap mau lanjut gabung dengan LDK ?” kali ini dia bertanya sambil mengelus rambutku yang kini tertutup lembaran kain tebal. Biasanya kalo sudah bertanya sambil mengelus rambutku, kakakku seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan, mungkin bisa dibilang yang sedang aku khawatirkan.
“Aku, bingung ka. Aku ga percaya diri. Aku takut ga di terima di sana.”
Ia diam saja. Aku terus berbicara.
“Kak, kira-kira orang kayak aku pantes gak yah untuk berdakwah. Aku bahkan untuk berteman dengan orang-orang LDK aja merasa belum pantas. Kakak kan tahu, aku berjilbab dan bergaun panjang aja umurnya masih seumur biji jagung. Dulu aku lebih banyak mainnya. Sama laki-laki pun aku ga kenal batasan aurat.”
Kami terdiam.
“Tapi kak, waktu di pengajian kemarin, bu guru bilang hidayah Allah itu datang untuk siapa pun yang Dia kehendaki. Adik jadi berpikir, kalau orang dapet hidayah itu berarti dia berubah jadi baik kan ? apa artinya adik juga termasuk orang-orang yang Allah kasih hidayah ?”
Kakakku masih diam saja, kini aku berdiri di sampingnya dan menggenggam erat tangannya. Meski terkesan mengabaikan, aku tahu dia masih mendengarkan.
“Kak, jika memang begitu. Aku akan berusaha untuk menjaga sebaik mungkin hidayah yang sudah Allah kasih ini. Aku juga berjanji, aku akan menjadi seperti kakak. Menjadi seorang da’i yang tidak pilih-pilih. Menjadi da’i yang penuh kasih sayang. Aku janji, aku akan menjadi seorang muslimah tangguh seperti ibu.”
Tiba-tiba kakakku menghentikan langkahnya yang kemudian memelukku, mengusap dahiku dan menatapku lamat-lama. Ah, indah sekali tatapannya. Baru kali ini aku menyadari, ternyata kakakku memiliki tatapan yang begitu syahdu. Dan, dia tersenyum!
“Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepadamu duhai adikku tercinta.”
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju kampusku. Sepagi ini, kakakku akan mengenalkanku kepada teman-teman LDK-nya sebagai anggota baru. Kini semua rasa kekhawatiranku sirna sudah. Aku memang bukan yang terbaik untuk menjalankan amanah dakwah ini, tapi aku belajar bahwa dakwah tidak peduli tentang siapa. Ia hanya ingin tahu apakah kamu siap untuk mengemban amanah ini ? dan aku telah siap untuk itu.
“Kak, aku sayang kakak. Cariin suami yang baiknya kayak kakak dong.” Aku berbisik padanya.
(M. Azzam/Cordofa)