-->

Tradisi Baju Lebaran

Selain tidak boleh lapar dan berkeliaran mengemis, sangat umum jika umat Islam, terutama di Indonesia mengenakan baju baru di hari Raya. Tidak hanya anak kecil, remaja, orang dewasa dan bahkan yang sudah sepuh sangat biasa berbaju baru. Jadi, seakan-akan tidak jadi lebaran jika tidak ada baju baru! Jika ditanya, apakah tradisi berbaju baru di Hari Raya itu ada kaitannya dengan lebarannya Rasulullah? Ayo, simak artikel berikut!

Da'i Ambassador

Hari Raya Idul fitri adalah hari penuh kebahagian dan keceriaan bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia. Karena hari bahagia, maka syariat mengharamkan puasa di hari itu. Semua orang harus makan dan minum, tidak boleh ada satu pun yang kelaparan. Dan yang lebih tidak boleh lagi, di hari bahagia itu ada pengemis karena alasan lapar.  Oleh karena itu, di dalam Islam, ada kewajiban membayar zakat fitri (zakat fitrah) yang salah satu tujuannya adalah agar tidak ada orang yang meminta-minta di hari Raya.

Selain tidak boleh lapar dan berkeliaran mengemis, sangat umum jika umat Islam, terutama di Indonesia mengenakan baju baru di hari Raya. Tidak hanya anak kecil, remaja, orang dewasa dan bahkan yang sudah sepuh sangat biasa berbaju baru. Jadi, seakan-akan tidak jadi lebaran jika tidak ada baju baru!

Jika ditanya, apakah tradisi berbaju baru di Hari Raya itu ada kaitannya dengan lebarannya Rasulullah? Jika itu pertanyaannya, kami mencoba mengetengahkan satu hadis sebagai berikut:

إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالْوُفُودِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فَلَبِثَ عُمَرُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَلْبَثَ ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجُبَّةِ دِيبَاجٍ فَأَقْبَلَ بِهَا عُمَرُ فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ قُلْتَ إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ وَأَرْسَلْتَ إِلَيَّ بِهَذِهِ الْجُبَّةِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِيعُهَا أَوْ تُصِيبُ بِهَا حَاجَتَكَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Syu’aib, dari Az Zuhri, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Salim bin ‘Abdullah bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar berkata: “‘Umar membawa baju jubah terbuat dari sutera yang dibelinya di pasar, jubah tersebut kemudian ia diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata: “Wahai Rasulullah, belilah jubah ini sehingga tuan bisa memperbagus penampilan saat salat ‘Ied atau ketika menyambut para delegasi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata kepadanya: “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan mendapatkan bagian (di akhirat)”. Kemudian ‘Umar tidak nampak untuk beberapa waktu lamanya menurut apa yang Allah kehendaki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mengirimkan kepada ‘Umar sebuah jubah yang terbuat dari sutera. Maka Umar pun membawanya menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata: “Wahai Rasulullah, tuan telah memberikan pakaian ini untukku, padahal tuan telah berkata: “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan mendapatkan bagian (di akhirat)”. Lalu mengapa tuan mengirimnya buat saya?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepadanya:“Juallah, atau beliau mengatakan, dengannya engkau bisa memenuhi kebutuhanmu.” (HR. Bukhari no. 896).

Pada hadis di atas, Sahabat Umar RA menawarkan kepada Rasulullah untuk mengenakan jubah pada Hari Raya dan juga di saat menyambut para tamu yang datang ke Madinah. Hanya saja karena jubah yang ditawarkan terbuat dari sutra, Rasulullah menolak. Sangat besar kemungkinan Rasulullah menerima pemberian Umar RA jika yang diberikan adalah jubah atau pakaian yang tidak terbuat dari sutra. Syariat tidak memperkenankan kaum pria mengenakan pakaian terbuat dari sutra asli dan emas. Adapun sutra sintetis ( ukan terbuat dari kepompomg ulat sutra), tentu boleh saja. Lalu mengapa Sayyiduna Umar RA mmberikan Rasulullah sesuatu yang tidak diperkenankan syariat ? Jawabannya mudah, bisa saja Umar RA belum mengetahui pengharaman sutra untuk kaum pria. Jika beliau sudah mengetahui pengharamanya ya tentu saja tidak mungkun melakukan hal demikian.

Dengan begitu, kebiaasaan untuk berhias di Hari Raya sudah menjadi hal yang umum di zaman Beliau SAW. Kita pun juga tentunya sangat baik untuk berhias pada Hari Raya dengan tujuan mengikuti sunah Beliau. Pakaian yang kita kenakan adalah pakaian terbaik dan tidak mesti baru. Apakah harus dengan jubah sebagaimana hadis di atas? Ya tentu tidak juga. Yang penting berhias. Boleh jubah, bolah baju koko, boleh kemeja, boleh dasi, boleh sarung, boleh celana panjang. Boleh jas atau atau apa saja yang penting pakaian terbaik yang kita miliki. Lebih dianjurkan lagi memakai wewangian.

Jadi, yang paling pokok sebetulnya bukan masalah baju baru. Yang menjadi sunnah adalah berhias. Yang namanya berhias, bisa dengan baju baru dan juga tidak baru. Sifatnya kondisional saja, jika mampu dan ada kelonggaran rezeki, silakan beli baju baru untuk hari raya. Namun jika tidak, jangan memaksakan membeli baju baru, apalagi harganyanya mahal dengan cara berhutang!

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ، إِنَّماَ الْعِيْدُ لِمَنْ طاَعَتُهُ تَزِيْدْ.

"Hari raya bukanlah milik orang yang mengenakan baju baru, akan tetapi hari raya milik orang yang ketaatannya bertambah".

Wallahu A’lam.

Bagikan Konten Melalui :