Huh! Deg-degan.
Itulah yang saya rasakan ketika sampai di Bandara Internasional Hong Kong, melewati bagian imigrasi untuk mendapatkan stempel
visa on arrival agar dapat izin masuk ke kota di negara tersebut. Ada hikmah dari wajah saya yang oriental dan berpakaian
casual tapi sopan, sehingga mudah dan lancar saat di depan petugas imigrasi yang tengah mencocokkan wajah dan paspor, tidak ada
interview khusus.
Sesampainya di bandara, para visitor atau turis harus menulis di atas potongan kertas berukuran seperempat quarto yang berisi tentang data diri sesuai dengan keterangan paspor dan mencakup alamat tinggal ketika di Hong Kong.
Negara ini memiliki perbedaan waktu satu jam lebih dulu daripada Jakarta. Waktu di Hong Kong sama dengan waktu Indonesia bagian tengah (WITA), seperti tempat tinggal saya di Bontang. Sehingga sesampainya di sini, saya tidak mengalami kebingungan karena perbedaan waktu yang banyak. Berkomunikasi dengan anak dan istri di Bontang pun dapat berlangsung dengan baik, tidak seperti ketika saya tinggal di Italia dan Belanda pada tahun-tahun sebelumnya yang mengalami perbedaan waktu sampai enam jam, ini menyulitkan komunikasi secara langsung, yaitu di Indonesia terjaga sedangkan di wilayah Eropa sedang masuk waktu istirahat.
Berpuasa di Hong Kong merupakan pengalaman pertama. Tetapi saya sudah banyak mendapatkan referensi kisah-kisah menarik dan menginspirasi dari teman-teman dai yang bertugas di sini sebelumnya. Menurut mereka, saudara-saudara muslim Indonesia di Hong Kong dapat menjalankan puasanya dengan baik dan khidmat, padahal waktu berpuasa di Hong Kong lebih panjang daripada di Indonesia, yakni 15 jam. Akhirnya saya pun merasakan berpuasa bersama WNI di Hong Kong, yaitu mulai berkumandang subuh dari 4.11 sampai waktu maghrib pada pukul 18.58. Saudara-saudara sesama iman ini menahan haus dan lapar sambil bekerja, tapi semua dilakukan dengan penuh ceria demi kebahagiaan keluarga di Indonesia.
Warga Indonesia yang tinggal di Hong Kong memiliki semangat besar untuk menimba ilmu dari dai-dai Indonesia. Pada tahun ini saja, Dompet Dhuafa mengurus Dai Ambassador sebanyak 4 orang (ini pun sepertinya masih kurang) untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan yang dikenal dengan Islam
Rahmatan lil ‘alamin dan akan disebar ke berbagai majelis taklim BMI yang ada di Hong Kong. Sebagaimana
hastag Dompet Dhuafa tahun ini, 25 tahun membentang kebaikan, jumlah dai yang dipilih pun berjumlah 25 orang dari hasil seleksi 700 orang seluruh Indonesia. Ada pun Dai Ambassador Hong Kong yang terpilih terdiri dari tiga ustadz dan seorang ustadzah yang berasal dari provinsi dan kota berbeda-beda. Saya Khumaini Rosadi berasal dari Bontang Kalimantan Timur, Islmail Hasan berasal dari Madiun Jawa Timur, Dzulfirman berasal dari Padang Sumatera Barat, dan Eva Muslifah berasal dari Bogor Jawa Barat.
Populasi muslim Buruh Migran Indonesia (BMI) menurut Ilham—Pimpinan Dompet Dhuafa cabang Hong Kong, sekitar 140.000 lebih. Ia pun menyampaikan, karnaval menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan minggu lalu diikuti oleh sekitar 1.500 BMI.
“Ini menunjukkan semangat yang begitu besar berpuasa di Hong Kong, meskipun terlihat hanya sekitar 5 sampai 8 persen dari 140.000 BMI yang ada di Hong Kong,” ujarnya.
Ramadhan karim, semoga menjadi berkah untuk semua dan mendapatkan Ridho Allah SWT.
Aamiin.
Baca Juga:
25 Dai Ambassador Dompet Dhuafa Terpilih Untuk Dakwah di 18 Negara
Bagikan Konten Melalui :