Perceraian Bukanlah Permusuhan
Apakah islam mengajarkan kebencian pasca perceraian? Jawabannya tentu tidak! Hubungan pernikahan memang sudah tidak ada lagi karena perceraian, namun tidak diartikan sebagai permusuhan. Perceraian dilakukan dengan baik sebagaimana dulu ketika terjadi pernikahan. Simak artikel menarik ini untuk mengetahui lebih jauh!

Setiap pasangan suami istri tentu memiliki harapan dan cita-cita agar rumah tangga terus terbina. Tiada yang memisahkan mereka kecuali tutup usia. Namun tidak semua rumah tangga berjalan langgeng. Tidak sedikit rumah tangga yang harus berakhir dengan perceraian.
Hukum asal perceraian adalah mubah (boleh), sebagaimana hadis Nabi SAW:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ.
Dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Perkara halal yang paling Allah benci adalah perceraian." (HR. Abu Daud).
Makna mudah yang bisa dipahami dari hadis di atas adalah jangan mudah untuk bercerai, kecuali jika tidak ada jalan lagi untuk melanggengkan rumah tangga.
Berdasarkan hadis diatas pula, maka menurut Fiqh, hukum bercerai bermacam-macam, tergantung alasan yang melatar belakanginya. Hukum talaq (perceraian) bisa menjadi haram, makruh, sunah bahkan wajib.
Talak merupakan solusi terakhir ketika sebuah rumah tangga memang tidak bisa dipertahankan, bahkan jika dipertahankan justru berdampak negatif yang berkepanjangan seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang sangat parah dan mengancam keselamatan jiwa pada salah satu pasangan.
Dan yang perlu juga diperhatikan, tidak sedikit orang yang memiliki pandangan bahwa terputuslah silaturahmi antara mantan istri dan mantan suami. Bukan sampai disitu, bahkan tidak sedikit orang yang memutuskan tali silaturahmi antara mantan istri atau mantan suami dengan orang yang pernah menjadi mertua. Tak jarang juga hubungan antara mantan suami atau istri dengan ipar. Dan yang lebih ekstrim lagi, ada orang seorang ibu yang melarang anaknya bertemu dan bahkan menanamkan kebencian mendalam kepada ayahnya pasca perceraian.
Apakah islam mengajarkan kebencian pasca perceraian? Jawabannya tentu tidak! Hubungan pernikahan memang sudah tidak ada lagi karena perceraian, namun tidak diartikan sebagai permusuhan. Perceraian dilakukan dengan baik sebagaimana dulu ketika terjadi pernikahan.
Ada beberapa ayat di dalam Al-Qur’an yang mengisyaratkan bahwa istri yang ditalak harus diberikan haknya, baik di masa idah talak raj’i dan juga anjuran memberikan mut’ah, atau juga memberikan separuh mahar disebabkan perceraian tertentu. Mari kita bahas ayat-ayat tersebut dengan perlahan agar kita bisa memahami isyarat mendalam mengenai penghormatan kepada para istri yang tertalak!
Kewajiban memberikan nafkah kepada istri yang ditalak raj’i selama masa idah:
Firman Allah SWT:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا۟ عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُو۟لَٰتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا۟ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا۟ بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُۥٓ أُخْرَىٰ ﴿٦﴾.
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (Q.S. At-Talaq: 6).
Melalui ayat diatas, dapat dipahami bahwa suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya, dalam hal ini talak raj'i wajib menafkahi istrinya selama masa idah. Jika diambil hikmahnya, istri yang tertalak raj'i haram ditelantarkan dan disakiti. Hal ini jelas menunjukkan kepada kita bahwa perceraian bukanlah permusuhan antara mantan suami dengan mantan istri dan keluarganya.
Kewajiban memberikan harta mut'ah bagi isteri yang ditalaq.
Firman Allah SWT:
لَّا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا۟ لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلْمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلْمُقْتِرِ قَدَرُهُۥ مَتَٰعًۢا بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُحْسِنِينَ٦
"Tidak ada dosa bagimu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut'ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan." (Q.S. Al-Baqarah: 236).
Mut'ah merupakan harta yang diberikan kepada istri yang diceraikan oleh suaminya sebelum terjadinya jima' (hubungan badan). Menurut jumhur mazhab Syafi'i, mut'ah hukumnya wajib diberikan oleh suami, baik talak yang dijatuhkannya itu sebelum adanya persetubuhan maupun sesudahnya. Tidak semua talak berlaku mut'ah. Pembahasan khusus menganai hal ini insyaAllah akan dikemukakan pada tulisan-tulisan yang akan datang, InsyaAllah.
Harta mut'ah bisa saja kita artikan sebagai penghormatan atau juga kenang-kenangan kepada mantan istri dan keluarganya karena mereka bersedia menikah dengan sang suami. Untuk di Indonesia, besaran harta mut'ah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dan semakin jelas sudah, lagi-lagi ayat ini menunjukkan fakta yang tidak bisa dibantah bahwa tidak ada kezaliman atau permusuhan pasca perceraian.
Wallahu A'lam.
Foto : Freepik
Download di sini : http://bit.ly/download-alhadi-android