Pemimpin Tidak Boleh Arogan
Pelajarai seni leadership Rasulullah SAW agar bisa menjadi pemimpin yang baik. Silakan simak artikel berikut!

Seorang pemimpin bukanlah sekadar sosok yang menempati posisi tertinggi, tetapi ia adalah pribadi yang dipilih karena memiliki keistimewaan dan keunggulan tertentu di antara orang-orang yang dipimpinnya. Ia dipercaya bukan hanya karena kemampuannya memerintah, melainkan karena kebijaksanaannya dalam menuntun, menimbang, dan meneladani.
Namun, menjadi pemimpin bukan perkara mudah. Setiap keputusan menuntut kesabaran, setiap langkah memerlukan kebijaksanaan. Ia sering berada di tengah pusaran kepentingan yang saling bertentangan, menghadapi tekanan dari berbagai arah, dan harus tetap tegak dengan hati yang lapang. Tidak semua keputusan mampu menyenangkan semua pihak, tetapi pemimpin sejati tahu bahwa keadilan kadang lebih penting daripada popularitas.
Dan di antara ujian terbesar seorang pemimpin adalah menghadapi tingkah laku bawahannya. Ada kalanya bawahan berbuat kesalahan, entah karena kelalaian, ketidaktahuan, atau bahkan kesengajaan. Saat itulah hati seorang pemimpin diuji, apakah ia akan terpancing amarah, atau justru menasihati dengan ketenangan dan kasih sayang. Pemimpin yang benar memahami, bahwa setiap kesalahan adalah ruang bagi perbaikan, dan setiap teguran yang tulus bisa menumbuhkan kedewasaan bersama.
Lalu muncul sebuah pertanyaan yang tak kalah penting: apakah Islam memberikan gambaran tentang sosok pemimpin yang ideal, yang layak dijadikan panutan sepanjang masa?
Jawabannya tentu ada! Islam tidak hanya berbicara tentang kekuasaan dan tanggung jawab, tetapi juga tentang akhlak dan keteladanan dalam memimpin. Gambaran pemimpin yang sempurna itu telah diperlihatkan secara nyata oleh Rasulullah SAW sejak lebih dari empat belas abad yang lalu. Beliau SAW merupakan seorang pemimpin yang menggabungkan kekuatan dengan kelembutan, ketegasan dengan kasih sayang, serta strategi dengan keikhlasan.
Mari kita renungkan firman Allah SWT yang menegaskan keagungan akhlak beliau dan menjadi fondasi bagi setiap pemimpin yang ingin menapaki jejak kepemimpinan yang diridai, sebagai berikut:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ.
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (Q.S. Ali Imran: 159).
Dari ayat diatas, setidaknya ada beberapa poin yang menggambarkan sosok Rasulullah sebagai pemimpin, diantaranya:
Lemah lembut dan Pemaaf.
Mengenai hal ini, Al-Baghawi menafsirkan:
فبما رحمة من الله و " ما " ) صلة كقوله ( فبما نقضهم ) ( لنت لهم ) أي : سهلت لهم أخلاقك وكثرة احتمالك ولم تسرع إليهم فيما كان منهم يوم أحد ، ( ولو كنت فظا ) يعني : جافيا سيئ الخلق قليل الاحتمال ، ( غليظ القلب ) قال الكلبي : فظا في القول غليظ القلب في الفعل ، ( لانفضوا من حولك ) أي : لنفروا وتفرقوا عنك ، يقال : فضضتهم فانفضوا أي فرقتهم فتفرقوا ( فاعف عنهم ) تجاوز عنهم ما أتوا يوم أحد. [1]
"Dengan rahmat Allah, Huruf ‘Maa’ nerupakan shilah seperti pada kata ‘fabima naqdhim’, maksudnya, engkau dipermudah untuk bersikap baik dan sabar terhadap mereka. Kamu tidak terburu-buru marah kepada mereka meskipun mereka berbuat salah pada peristiwa Perang Uhud. (Jika kamu bersikap kasar dan keras hati), maksudnya adalah bersikap buruk dan tidak sabar, seperti yang dijelaskan oleh Al-Kalbi: ‘Kasar dalam perkataan dan keras dalam perbuatan.’ (Jika kamu bersikap seperti itu, mereka pasti akan menjauh darimu), yaitu mereka akan pergi dan tidak mau mendekat. Dalam bahasa Arab, ‘Fadhadhtuhum’ artinya memisahkan mereka sehingga mereka akan berpencar. (Maka maafkanlah mereka), artinya kamu harus memaafkan apa yang mereka lakukan pada peristiwa Uhud."
Kita tentu masih ingat peristiwa bersejarah dalam Perang Uhud. Kekalahan yang dialami kaum Muslimin saat itu bukan karena lemahnya strategi Rasulullah SAW, melainkan karena sebagian pasukan tidak disiplin dalam menaati perintah. Rasulullah telah menempatkan para pemanah di atas bukit dan dengan tegas berpesan agar mereka tidak meninggalkan pos sebelum beliau memberi izin. Namun, ketika melihat para sahabat lain mulai mengumpulkan ghanimah (harta rampasan perang), mereka tergoda. Kekhawatiran tidak kebagian ghanimah dan dugaan bahwa perang telah usai membuat mereka turun dari bukit, meninggalkan posisi penting yang semestinya dijaga.
Kesalahan itu berakibat fatal. Bukit yang kosong segera dikuasai pasukan musuh, dan dari posisi strategis itulah mereka dengan mudah memanah pasukan Muslimin. Banyak sahabat gugur, dan situasi perang pun berbalik merugikan kaum Muslimin.[2]
Sebagai seorang pemimpin, Rasulullah SAW tentu merasa sedih dan kecewa. Beliau menyaksikan bagaimana kelalaian sebagian pasukan membawa dampak besar bagi umat. Namun, di tengah kekecewaan itu, Allah SWT menurunkan bimbingan yang luar biasa: agar beliau tetap bersabar, bersikap lemah lembut, dan memaafkan kesalahan mereka. Inilah salah satu momen paling indah dalam sejarah kepemimpinan Rasulullah, yaitu ketika kasih sayang mengalahkan amarah dan kelembutan menjadi bukti kekuatan sejati.
Namun, kita perlu berhati-hati dalam memahami peristiwa ini. Jangan sampai kita menafsirkan sikap lembut Rasulullah SAW sebagai bentuk toleransi terhadap kesalahan tanpa batas. Ada konteks dan hikmah yang harus dipahami secara utuh.
Pada saat Perang Uhud, para pemanah tidak sepenuhnya menyadari konsekuensi dari ketidaktaatan mereka. Mereka terjebak dalam kekeliruan penilaian dan tergoda oleh situasi sesaat. Ketika menyadari kesalahannya, mereka begitu menyesal dan diliputi rasa malu yang mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah yang membuat Rasulullah SAW memaafkan mereka — karena di balik kesalahan itu, ada penyesalan tulus dan kesadaran yang mengantarkan pada perbaikan diri.
Perlu diingat, hal ini tentu berbeda dengan kondisi di masa kini, ketika sebagian orang berbuat salah dengan penuh kesadaran seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau tindakan merugikan yang dilakukan secara sengaja. Dalam kasus seperti ini, seorang pemimpin tidak hanya berhak, tetapi juga wajib menegakkan sanksi demi keadilan dan kebaikan bersama.
Memaafkan tidak berarti membiarkan pelanggaran tanpa akibat, dan bersikap tegas tidak berarti kehilangan kasih sayang. Di sinilah seni tertinggi dalam kepemimpinan: mampu menimbang antara kelembutan hati dan ketegasan prinsip, sebagaimana Rasulullah SAW telah mencontohkannya dengan penuh kebijaksanaan.
Kelembutan hati Rasulullah SAW dan sikap beliau yang penuh maaf menjadi pelajaran yang amat berharga bagi para sahabat yang pernah berbuat salah. Dari kasih sayang itulah tumbuh kesadaran mendalam dan taubat yang tulus. Mereka benar-benar menyesali perbuatan mereka dan bertekad untuk tidak mengulanginya. Kelembutan itu bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan jiwa yang mampu menaklukkan hati tanpa pedang, dan menumbuhkan ketaatan tanpa paksaan.
Bayangkan seandainya Rasulullah SAW bersikap keras, arogan, dan penuh amarah. Bisa jadi para sahabat merasa terasing, kehilangan semangat, bahkan menjauh dari beliau dan bahkan mungkin juga menjauh dari Islam itu sendiri. Tetapi dengan kasih sayang dan kebijaksanaan, Rasulullah justru menguatkan iman mereka, memulihkan semangat juang, dan mempererat persaudaraan dalam satu barisan yang kokoh.
Inilah pelajaran agung bagi setiap pemimpin di sepanjang zaman, yaitu kekuasaan tanpa kelembutan hanya melahirkan ketakutan, sementara kekuasaan yang dibalut kasih sayang melahirkan kepercayaan. Seorang pemimpin sejati tidak menaklukkan dengan ancaman, tetapi menuntun dengan keteladanan. Rasulullah SAW telah menunjukkan bahwa hati yang lembut jauh lebih kuat daripada tangan yang keras.
Suka Bermusyawarah
Meskipun Rasulullah SAW adalah pemimpin yang dijamin oleh Allah SWT dalam setiap langkah dan keputusan, beliau tidak pernah bersikap pasif atau merasa cukup dengan petunjuk Ilahi semata. Dalam urusan sosial dan kemasyarakatan, beliau justru diperintahkan oleh Allah untuk selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam Islam bukanlah bentuk kekuasaan tunggal, melainkan tanggung jawab kolektif yang dibangun di atas kebersamaan, penghargaan terhadap pendapat, dan keterbukaan terhadap masukan.
Almarhum Syaikhunal Jalil menafsirkan ayat ke-159 dari Surah Ali Imran, khususnya pada bagian tentang perintah bermusyawarah (wa syāwirhum fil amr), sebagai berikut:
وكان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم فعلا يشاور أصحابه في الأمور كلها، تطييبا لقلوبهم، وليستن الناس بفعله، قال الحسن رضي الله عنه: قد علم الله أن ما به إليهم حاجة، ولكن أراد أن يستنّ به من بعدهم.
وقال النبي صلّى الله عليه وسلّم فيما ذكره الماوردي: «ما تشاور قوم إلا هدوا لأرشد أمرهم»
وقال أبو هريرة رضي الله عنه فيما رواه الترمذي: «لم يكن أحد أكثر مشاورة من رسول الله صلّى الله عليه وسلّم». [3]
“Rasulullah SAW memang benar-benar menerapkan musyawarah dengan para sahabatnya dalam segala urusan, sebagai bentuk penghormatan terhadap mereka dan agar umat meneladani sikap beliau. Al-Hasan ra. berkata: “Allah sebenarnya tahu bahwa Nabi tidak membutuhkan pendapat mereka, tetapi Allah menghendaki agar musyawarah itu menjadi teladan bagi orang-orang setelah beliau.”
Nabi SAW juga bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh al-Mawardi: “Tidaklah suatu kaum bermusyawarah kecuali mereka akan dituntun kepada keputusan yang paling benar.”
Dan Abu Hurairah ra. meriwayatkan dalam hadis yang dicatat oleh at-Tirmidzi: “Tidak ada seorang pun yang lebih banyak bermusyawarah daripada Rasulullah.”
Pemimpin Yang Memiliki Tekad Kuat dan Tawakkal Kepada Allah
Ayat ke-159 Surah Ali Imran juga menggambarkan bahwa Rasulullah SAW diperintahkan untuk menjadi pribadi yang tangguh — seorang pemimpin yang memiliki azam (tekad dan cita-cita) yang kuat, serta bersandar penuh kepada Allah setelah mengambil keputusan hasil musyawarah. Ayat ini menegaskan bahwa kekuatan spiritual dan mental merupakan dua pilar utama dalam kepemimpinan Islam.
Dari ayat ini pula, kita belajar bahwa seorang pemimpin tidak hanya harus mampu mendengarkan dan bermusyawarah, tetapi juga harus memiliki visi yang jelas, misi yang terarah, dan keberanian untuk menanggung risiko dari keputusan yang diambilnya. Kepemimpinan bukan sekadar tentang membuat keputusan yang populer, melainkan tentang berani bertanggung jawab atas kebenaran yang diyakini.
Tawakal bukan berarti menyerah pada keadaan, tetapi menyerahkan hasil kepada Allah setelah segala upaya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Inilah keseimbangan indah antara usaha dan iman, antara strategi dan doa, yang tentunya menjadi ciri khas kepemimpinan Rasulullah SAW dan menjadi pedoman bagi setiap pemimpin yang ingin meneladani beliau.
Wallahu A’lam.
Foto : Freepik
__________
[1] Al-Baghawi, Al-Husain Ibn Mas’ud, Tafsir Al-Baghawi Ma’alim At-Tanzil, Dar Thaiba, Riyadh, Cetakan Pertama, 1409 H/1989 H, Juz 2, Hal. 123-124.
[2] Lihat.Ar-Rahiq Al-Makhtum Sirah Nabawiyah Muhammad SAW oleh Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri (terjemahan), Darul Haq, Jakarta, 1446 H, Hal. 372.
[3] Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, Dar Al-Fikir, Damaskus, Cetakan ke-10, 1430 H/2009 M, Juz 2, Hal. 469.