Memaksimalkan Lima Hal Dalam Kehidupan
Pesan Rasulullah tidak pernah lekang oleh zaman. Simak salah satu pesan mendalam melalui salah satu hadis beliau dalam artikel berikut!
 
        Cinta kasih Rasulullah SAW kepada umatnya begitu besar, melampaui batas yang dapat kita pahami. Setiap langkah, setiap perkataan, dan setiap tindakan beliau dipenuhi dengan perhatian dan kasih sayang yang tulus kepada umatnya. Dalam setiap pesan kehidupan yang beliau sampaikan, ada kedalaman yang mampu menggugah hati dan pikiran kita. Salah satu contohnya adalah pesan yang terdapat di dalam hadis berikut:
أَخْبَرَنِي الحَسَنُ بْنُ حَكِيمٍ المَرُوزِيُّ، أَنبَأَ أَبُو المَوَجَّهِ، أَنبَأَ عَبْدَانُ، أَنبَأَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهمُ عَنْهُما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وآله وسلم لِرَجُلٍ وَهُوَ يُعِظُهُ: "اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاءَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ". "هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ". (أخرجه الحاكم)[1]
"Telah mengabarkan kepadaku al-Hasan bin Hakim al-Marwazi, telah memberitakan kepada kami Abu al-Muwajjah, telah memberitakan kepada kami Abdan, telah memberitakan kepada kami Abdullah bin Abi Hind, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: Rasulullah ﷺ berkata kepada seorang lelaki ketika beliau memberi nasihat kepadanya: 'Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, hartamu sebelum datang kemiskinanmu, waktu luangmu sebelum datang kesibukanmu, dan hidupmu sebelum datang kematianmu.' "Hadis ini sahih menurut syarat kedua imam (Bukhari dan Muslim) dan keduanya tidak mengeluarkannya." (HR. Al-Hakim). Hadis ini juga diriwayatkan oleh para imam hadis lainnya.[2]
Tegasnya, ada lima pesan mendalam, yaitu:
Pertama, masa muda sebelum datang masa tua.
Masa muda adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah berikan kepada kita. Sebuah masa yang penuh dengan potensi, peluang, dan semangat. Jika masa muda dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk berbuat kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah, maka di masa tua nanti, kita akan merasakan kenikmatan yang hakiki. Kita sering kali merasa kagum ketika melihat para profesional muda yang berbakat, yang mampu menunjukkan kemampuan luar biasa di usia muda. Kelak, mereka akan menjadi sosok yang menginspirasi sebagai profesional senior.
Namun, ada yang lebih mengagumkan dari hal itu, yaitu melihat kaum muda yang bertakwa kepada Allah. Mereka yang sejak muda telah menjaga kebaikan, ibadah, dan ketakwaan, akan merasakan hasilnya ketika usia mereka telah menua. Bahkan ketika tubuh mereka tidak lagi kuat untuk melangkah ke masjid atau menghadiri kajian, karena fisik yang semakin lemah atau bahkan pikun, mereka tetap memperoleh pahala yang sama seperti saat mereka melakukannya di masa muda. Itulah rahmat Allah yang begitu luas. Sebagaimana firman-Nya:
إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ.
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya.” (Q.S. At-Tin: 6).
Menurut sebagian ulama, salah satu penafsiran yang sangat menggetarkan dari ayat ini adalah bahwa pahala bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh tidak akan terputus, meskipun mereka telah menua dan tubuh mereka tidak lagi mampu melakukan amal ibadah seperti dulu. Kendala fisik dan usia yang renta tidak menghalangi rahmat Allah yang melimpah. Sebaliknya, ini adalah bentuk apresiasi yang tak terhingga dari Allah atas kebiasaan baik yang telah mereka jalani di masa muda.
Allah, dalam kebesaran-Nya, menghargai setiap langkah kebaikan yang kita lakukan, bahkan ketika tubuh kita mulai rapuh dan tak lagi mampu beribadah seperti dulu. Pahala tetap mengalir, seolah-olah kebiasaan baik itu telah tertanam kuat dalam diri kita, menjadi bagian dari hidup yang tak pernah terputus. Inilah rahmat Allah yang luar biasa, yang akan terus menyertai kita, bahkan ketika kita sudah tidak lagi mampu melakukan amal saleh seperti yang kita lakukan di masa muda.
 Al-Imam An-Nasafi menafsirkan ayat di atas sebagi berikut:
قوله تعالى : إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات فلهم أجر غير ممنون قوله تعالى : إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات فإنه تكتب لهم حسناتهم ، وتمحى عنهم سيئاتهم قاله ابن عباس . قال : وهم الذين أدركهم الكبر ، لا يؤاخذون بما عملوه في كبرهم .
وروى الضحاك عنه قال : إذا كان العبد في شبابه كثير الصلاة كثير الصيام والصدقة ، ثم ضعف عما كان يعمل في شبابه أجرى الله - عز وجل - له ما كان يعمل في شبابه . وفي حديث قال النبي - صلى الله عليه وسلم - : إذا سافر العبد أو مرض كتب الله له مثل ما كان يعمل مقيما صحيحا . وقيل : إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات فإنه لا يخرف ولا يهرم ، ولا يذهب عقل من كان عالما عاملا به . وعن عاصم الأحول عن عكرمة قال : من قرأ القرآن لم يرد إلى أرذل العمر . وروي عن ابن عمر عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال طوبى لمن طال عمره وحسن عمله . وروي : إن العبد المؤمن إذا مات أمر الله ملكيه أن يتعبدا على قبره إلى يوم القيامة ، ويكتب له ذلك .[3]
“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka bagi mereka pahala yang tidak terputus. Maksunya adalah bahwa orang-orang yang beriman dan beramal saleh, amal kebaikan mereka dicatat dan amal keburukan mereka dihapus. Ibnu Abbas berkata: “Mereka adalah orang-orang yang sudah mencapai usia lanjut, dan tidak akan diperhitungkan atas apa yang mereka lakukan ketika mereka sudah tua."
"Ad-Dhahhak meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa jika seorang hamba di masa mudanya banyak beribadah, shalat, puasa, dan bersedekah, kemudian di masa tuanya dia menjadi lemah dan tidak bisa melakukan amal yang sama, maka Allah akan menuliskan pahala sebagaimana yang dia lakukan di masa mudanya. Nabi SAW bersabda, "Jika seorang hamba bepergian atau sakit, maka Allah akan menuliskan baginya seperti apa yang ia kerjakan ketika dia muqim dan dalam keadaan sehat."
 "Ada juga yang mengatakan bahwa orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya tidak akan kehilangan kecerdasannya meskipun sudah lanjut usia. Dari A’sim al-Ahwal, ia meriwayatkan bahwa siapa saja yang membaca Al-Qur'an, maka ia tidak akan dikembalikan ke usia yang paling lemah (pikun, pent). Dari Ibn Umar, ia meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Beruntunglah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya."
"Diriwayatkan juga bahwa jika seorang hamba yang beriman meninggal, maka Allah memerintahkan malaikat untuk terus beribadah di sisi kuburnya hingga hari kiamat, dan bagi hamba tersebut akan dicatat pahala yang terus mengalir."
Kedua, waktu sehat sebelum sakit
Sakit adalah kondisi yang membawa seseorang pada titik kelemahan yang tak terhindarkan. Tubuh yang sebelumnya segar, penuh energi, dan siap menjalani berbagai aktivitas, tiba-tiba saja berubah menjadi lemas, tak bertenaga, bahkan kehilangan selera makan dan minum. Waktu yang biasanya digunakan untuk bergerak dan beraktivitas, kini lebih banyak dihabiskan untuk beristirahat. Bahkan, dalam beberapa kondisi, sakit dapat membawa seseorang berada ambang kematian dan siap berpindah alam.
Di saat tubuh tengah terbaring lemah, segala hal yang dulunya tampak mudah, seperti melaksanakan ibadah, kini terasa berat dan penuh kesulitan. Rasa malas, bahkan rasa enggan untuk beribadah hadir, menggantikan semangat yang dulu begitu menyala. Bukan hanya urusan ibadah, segala aktivitas penting seperti pekerjaan, kegiatan akademik, bahkan urusan kenaikan pangkat harus ditunda dan terhenti sejenak sampai kondisi tubuh pulih kembali.
Melalui kondisi ini, kita dapat memahami pesan Rasulullah SAW yang sangat dalam. Islam tidak hanya mengajarkan kita untuk menjaga kehidupan spiritual, tetapi juga menekankan pentingnya kesehatan dan perawatan diri. Di tengah kesibukan duniawi dan ibadah, umat Islam juga diajarkan untuk merawat tubuh, menikmati nikmat sehat, dan menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Sakit bukan hanya sekadar ujian, tetapi juga sebuah peringatan bagi kita untuk menghargai nikmat kesehatan yang sering kali kita abaikan. Itulah pentingnya merawat diri, menjaga tubuh, dan bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah.
Ketiga, waktu kaya sebelum datang kemiskinan.
Islam tidak melarang umatnya untuk menjadi kaya, bahkan sangat kaya, asalkan kekayaan itu diperoleh dengan cara yang halal dan diberkahi oleh Allah. Kekayaan itu bukan tujuan akhir, melainkan sebuah amanah yang harus digunakan dengan penuh tanggung jawab.
Namun, bukan hanya soal boleh atau tidaknya menjadi kaya, Islam juga memberikan petunjuk tentang bagaimana cara menggunakan dan mengalokasikan harta yang kita miliki. Kekayaan adalah nikmat yang tidak diberikan kepada setiap orang. Oleh karena itu, bagi mereka yang diberi kesempatan oleh Allah untuk merasakannya, mereka wajib mensyukuri nikmat tersebut. Salah satu cara terbaik untuk bersyukur atas kekayaan adalah berjihad di jalan Allah dengan menggunakan harta yang dimiliki.
Salah satu contoh jihad yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan beasiswa kepada penuntut ilmu. Beasiswa ini menjadi modal investasi yang tidak hanya bermanfaat bagi penerimanya, tetapi juga terus mengalirkan pahala kepada pemberinya, bahkan setelah ia meninggal dunia. Pahala ini akan terus mengalir akibat manfaat dari ilmu yang diamalkan oleh penuntut ilmu yang dulu dibiayainya. Betapa indahnya amal jariah yang tak pernah terputus.
Saking pentingnya sedekah dan amal yang berkelanjutan, Allah menggambarkan penyesalan yang mendalam bagi mereka yang semasa hidupnya jarang bersedekah. Penyesalan itu datang setelah kematian, ketika segala peluang yang ada sudah hilang. Sebagaimana Allah firmankan dalam ayat-Nya:
وَأَنفِقُوا۟ مِن مَّا رَزَقْنَٰكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِىَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَآ أَخَّرْتَنِىٓ إِلَىٰٓ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ ٱلصَّٰلِحِينَ.
“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), "Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.” (Q.S. Al-Munafiqun: 10).
Penggunaan harta yang salah, tentu sangat merugikan dan berujung penyesalan. Alih-alih memperoleh pahala dari hartanya, justru malah bertambah dosa dan kebangkrutan. Lihatlah penjudi akut, pengguna narkoba dan miras. Dulu bergelimang harta. Namun kini berada pada kondisi yang sangat memperihatinkan. Harta ludes, masuk penjara atau meringkuk di kasur akibat over dosis namun tidak mampu menjalani rehabilitasi yang harganya selangit itu, na’udzubillah!
Jelas sudah! Melalui hadis ini, Islam juga berbicara masalah pengelolaan keuangan dan kekayaan, bukan hanya berbicara masalah ritual yang itu-itu saja!
Keempat, masa luang sebelum sempit.
Nasihat ini tentunya lebih berbekas bagi kaum muda atau remaja, karena masa pendidikan adalah masa yang paling maksimal dalam hidup. Di masa muda, segala potensi dan semangat untuk belajar sedang berada di puncaknya. Oleh karena itu, jangan sia-siakan kesempatan emas ini. Sebisa mungkin, raihlah pendidikan setinggi-tingginya, karena inilah saat yang tepat untuk mengukir prestasi dan menuntut ilmu sebanyak-banyaknya.
Masa muda adalah waktu yang penuh dengan peluang untuk memperoleh gelar akademik, bahkan hingga jenjang S3. Ini adalah kesempatan yang sangat mungkin untuk diraih. Namun, ketika usia mulai bertambah, ketika seseorang telah bekerja dan menikah, tantangan untuk meraih gelar akademik semakin banyak. Menikah, memiliki anak, dan bekerja tentu membawa tanggung jawab besar yang bisa membuat proses pendidikan terasa lebih berat. Meskipun begitu, bukan berarti itu mustahil. Hanya saja, semangat dan ketekunan yang lebih besar diperlukan, serta kemampuan untuk mengatur waktu dengan bijak.
Kelima, masa hidup sebelum datang kematian.
Mati adalah titik akhir dari kehidupan dunia yang fana ini. Tidak ada yang dapat hidup selamanya dan tidak ada yang bisa kaya selamanya. Ketika seseorang meninggal, segala kemewahan dan harta benda yang ia miliki seperti rumah-rumah megah, kendaraan mewah, bahkan segala kekayaannya, semuanya harus ia tinggalkan. Apa yang tersisa? Tidak lebih dari kain kafan yang menutupi tubuh yang lemah, dan ruang sempit di dalam tanah yang hanya cukup untuk tubuhnya, dengan ukuran tak lebih dari 2 x 1 meter. Sungguh ironis, seorang yang dulu begitu kaya, yang memiliki istana dan kemewahan, kini harus rela menjadi miskin dan tak lebih dari tubuh yang terbungkus kain putih dan tentunya sendirian di dalam tanah.
Begitu juga dengan si miskin. Ketika ia mati, maka segala kelaparan dan kelelahan mencari nafkah, yang mungkin selama hidupnya menjadi beban berat, seketika akan hilang. Di akhirat, tidak ada lagi rasa lapar atau keletihan. Semua penderitaan dunia yang ia rasakan telah berakhir.
Beruntunglah orang yang sepanjang hidupnya sibuk dengan ibadah dan amal saleh. Mereka yang menjadikan setiap detik kehidupan mereka sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk menabur kebaikan, dan untuk berinvestasi untuk kehidupan yang kekal. Ibadah mereka, kebaikan mereka akan menjadi bekal yang tak akan pernah habis. Di alam kubur dan kehidupan akhirat, mereka akan merasakan kekayaan sejati, kekayaan yang tak bisa dihitung dengan materi. Mereka akan merasakan kedamaian dan kenyamanan yang abadi, yang jauh lebih berharga daripada apa pun yang pernah mereka miliki di dunia.
Wallahu A'lam.
Foto : Freepik
________
[1] Al-Hakim, Abu Abdillah An-Naisaburi, Al-Mustadrak Ala Shahihain, Cairo, Cetakan Pertama, 1417 H/1997 M, Juz 4, Hal. 447.
[2] Diriwayatkan juga oleh Ibn Abid Dunya dalam Qasr Al-Amal dan juga oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.
[3] Al-Qurthubi, Muhammad Ibn Ahmad Al-Anshari, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Dar Alam Al-Kutub, Riyadh, 1423 H/2003 M, Juz 20, Hal. 115.
