
Lelaki yang aku kenal itu seperti seekor burung yang terbang sendirian. Menempuh perjalanan panjang sendirian. Menjemput pagi, dan menyisir senja sendirian. Menerpa hujan, menerjang terik matahari, angin dingin, sendirian. Kepakan sayapnya terlihat tenang, tapi hatinya bergemuruh hebat. Terkadang matanya menatap kosong, namun penuh harap. Ia terbang hanya untuk mencari satu tujuan, yang tengah ia emban semenjak akad terikrar di lisan.
Ayahku yang aku cinta, ayahku yang aku damba..
Tantangan zaman kini kian berat terasa. Dan aku, sungguh tak berdaya hidup di dalamnya. Ayah, aku membutuhkanmu. Aku butuh tanganmu yang akan menuntunku meniti jalan yang Allah ridhoi. Ayah, aku membutuhkan pundakmu. Jika suatu ketika aku merasa lelah dan bingung dengan semua hingar bingar dunia, aku bisa bersandar di pundakmu sambil mendengarkan nasihatmu.
Ayahku yang selalu aku rindu.
Jika memang kehidupan dalam keluarga kecil kita bisa aku umpamakan seperti sekolah, maka ayah menjadi kepala sekolahnya. Aku muridnya dan ibu sebagai wali kelasku. Sungguh, kupikir ayah juga mengetahuinya, bahwa ibu sangat piawai dalam mendidikku, memberi teladan hidup padaku. Tidak ada keraguan dan kelalaian dalam proses belajar mengajar bersama ibu. Dan sangat aku akui, itu semua tidak lepas dari sistem pendidikan yang sudah kalian bentuk sejak awal persatuan kalian. Tapi, apa yang harus kami lakukan jika terjadi sesuatu hal diluar sistem kalian? hal baru yang tidak kalian kira sebelumnya. Kami membutuhkan kebijakanmu. Kami membutuhkan tegasmu untuk mengambil keputusan. Hanya saja, bila kamu tiada sering bersama kami, apa yang bisa kami perbuat?
Laki-laki yang aku kenal itu bagai seekor burung yang terbang sendirian. Sedikit sekali ia singgah, berhenti sejenak di sarang yang sudah lama ia buat.
Ia terbang sendirian mencari tujuan itu. Sayapnya terus mengepak, jarak tidak lagi terhitung, lelah telah menjadi teman.
Ayah...
Pulanglah. Kami memang sangat menginginkan perut yang senantiasa terisi, tapi bukan itu yang kami butuhkan. Bicaralah banyak-banyak dengan kami, aku sebagai anakmu juga membutuhkan tempat untuk mencurahkan isi hati, tempat untuk meluapkan perasaan.
Bangunkan untuk anakmu pondasi agama yang kokoh. Agar kelak aku bisa tumbuh besar menjadi pribadi yang arif lagi bijaksana seperti dirimu, kata teman-temanmu.
Semoga kamu segera pulang ayah, karena baginda Rasulullah Muhammad berpesan, manusia yang baik adalah mereka yang paling baik kepada keluarganya. (M. Azzam/Cordofa)
Bagikan Konten Melalui :