Big Bos Rasjo Dan Penjual Kopi Keliling

Brak! Suara bantingan pintu masuk rumah bak istana itu berbunyi sedemikian keras. Tapi suara tidak tidak membuat seluruh penghuni rumah menjadi kaget atau takut. Jangankan penghuni inti rumah, para pembantu, tukang kebun dan seluruh satpam penjaga rumah juga biasa-biasa saja.
Ternyata suara sangat keras itu sudah biasa terdengar. Pelakunya hanya dua saja, kalau bukan Pak Rasjo tentu isterinya yang hobi arisan kelas kakap itu, Bu Jufi namanya.
Pak Rasjo adalah pengusaha “Kelas Paus” di Jakarta. Hampir semua bidang usaha dari mulai property, hiburan malam, hotel, oto bus dan konsultan bisnis. Nama Rasjo tentu sudah tidak asing di telinga para pelaku usaha besar.
Bu Jufi bukanlah seorang pengusaha seperti suaminya. Hobinya hanya bersenang-senang ria. Setiap hari kerjanya hanya arisan sana-sini, shoping, salon kongkow-kongkow bersama teman-teman arisannya di resto-resto atau coffe shop bergengsi. Kemanapun dia pergi, dua bodyguard selalu setia mendampingi. Jika ia jenuh, ia tinggal hubungi agen pariwisata untuk sekedar ngopi di New Zealand dan berenang di salah satu pantai Brazil. Ya begituh aktifitasnya.
Oh ya, tapi kenapa suara bantingan pintu itu sering kali terdengar di rumah mereka ya?
“Ah biasa, Bang. Paling Bapak dan Ibu lagi berantem. Untung pintunya mahal banget harganya, jadi ga ngaruh kalo sering dibanting! Kalo ga salah sih itu pintu harganya 200 jutaan. Saya tau dari mandor saat saya jadi tukang untuk bangun ini rumah,” kata Mas Dono kepada tukang somay langganannya. Dono sudah empat tahun menjadi Satpam di rumah besar itu.
“Saya ga pernah lihat keluarga ini harmonis seperti keluarga pada umumnya. Tapi saya salut sih sama Pak Rasjo, dia tetap setia sama isterinya itu. Padahal sih kalo dia mau kawin lagi juga bisa banget,” cerita Mas Dono melanjutkan.
“Ah sotoy lu!” Emang tau kalo Pak Rasjo kaga kawin lagi?” kata Bang Rospin si penjual somay yang sudah berusia 60 tahun itu.
“Tau dah, kayanya sih kaga. Soalnya sopir pribadinya kan sering ngobrol sama saya. Dia sendiri juga heran. Dia ga pernah nganter Pak Bos ketemu sama perempuan lain, apalagi dugem atau ke hotel untuk ngamar. Kaga pernah, Bang,” tukas si Satpam.
“Terus anak-anaknya gimana, Pam?” Apa soleh semua atau gimana?” tanya tukang somay mulai kepo.
“Boro-boro soleh. Anaknya cuma dua, lanang kabeh. Yang paling gede baru lulus kuliah kerjaannya 11-12 sama emaknya, Ngayab bae. Kalo pulang ke rumah deket subuh. Kemaren abis ditebus tuh sama Bapak gara-gara ikutan pesta nyabu di hotel bapaknya.” Kalo adiknya masih mendingan sih, baru semester tiga kayannya. Cuma ya gitu, kerjaannya main judi slot tiap waktu. Kemaren abis “disemprot” sama bapaknya gara-gara ada debt collector nagih 650 juta.” lanjut si Satpam.
“Waduh! Masih mendingan kite juge ye. Walaupun kita kaum ekspas (ekonomi ngepas). Anak-anak kita rajin sekolahnya, mau ke masjid dan kaga nongkrong di tempat macem-macem,” lanjut tukang somay menimpali.
Dari obrolan Satpam dan tukang somay tadi, tentu pembaca sudah bisa mengambarkan profil Pak Rasjo dan keluarganya bukan? Hehe..
Sudah tujuh tahun lebih air muka Pak Rasjo terlihat muram dan kaku . Tak sedikitpun nampak kecerian dari wajahnya yang dulu terlihat ramah dan murah senyum. Walaupun hidup bak sultan, nampaknya ia tidak bisa menikmati kekayaannya dengan leluasa.
Sebelum terlalu kaya seperti saat ini, pak Rasjo terlihat sangat menikmati hidupnya. Kala itu istri dan anak-anaknya sangat patuh. Keluarga Rasjo juga sangat harmonis dan sering terlihat liburan bersama.
Untung saja fisik Pak Rasjo sangat kuat. Jika tidak, mungkin ia sudah menderita strok karena selalu marah-marah jika pulang ke rumah. Dua jam mungkin terlalu singkat jika menyaksikan Rasjo dan istrinya bertengkar setiap hari.
“Din, kamu pulang aja duluan. Biar mobil saya aja yang bawa sendirian,” kata Pak Rasjo kepada Udin, sopir pribadinya.
“Bener nih, Pak? Saya boleh pulang duluan?” tanya Udin meyakinkan. Udin tidak berani bertanya alasan mengapa sang Bos tiba-tiba mau membawa sendiri mobilnya dan menyuruhnya pulang. Selama menjadi supir, baru kali ini sang Bos memerintahkannnya demikian.
Sudah dua jam lebih Rasjo menyetir mobil mewahnya itu tanpa tujuan. Selama menyetir, pikirannya kacau balau. Ia sangat jenuh dengan hidupnya belakangan ini. Ia kerap berpikir bagaimana caranya agar kehidupan dan keluarganya bahagia seperti dulu.
“Dug!!” Terdengar suara seperti mobil menabrak sesuatu di depannya. Seketika Rasjo menginjak rem sekecang-kencangnya. Ternyata mobil mewahnya menabrak dan merubuhkan sepeda penjual kopi keliling yang sedang menepi di pinggir trotoar.
Segera Rasjo turun dan membantu sang penjual kopi untuk merapikan daganganya.
“Maaf Pak, saya tidak sengaja menabrak Bapak. Saya tidak konsen bawa mobil. Sekali lagi saya mohon maaf, Pak!”
“Ga papa Pak, ga papa, ga ada yang rusak kok. Santai saja.” Ujar Pak Dirus, penjual kopi keliling yang ditabrak Rasjo.
Keduanya saling tatap dan sama-sama heran ketika wajah mereka mendekat dan saling berhadapan. Baik Rasjo maupun Dirus, seperti merasa tidak asing dengan wajah mereka satu sama lain.. Seakan-akan mereka pernah bertemu bahkan berteman beberapa tahun silam.
“Sebentar, sebentar… maaf, kamu Rasjo bukan ya?
“Iya, kamu Dirus bukan?
Spontan mereka saling berpelukan sangat erat dan kedua bola mata mereka terpejam cukup lama dan sangat basah tentunya.
“Ya Allah, Jo, alhamdulillah kita bisa ketemu lagi setelah 40 tahun berpisah. Alhamdulillah kamu sukses sekarang.”
“Ya, Rus, saya kangen banget sama kamu. Syukur kita bisa ketemu lagi sekarang.”
Ternyata dua sahabat itu secara tidak sengaja bertemu. Pertemuan mereka terasa begitu haru layaknya cerita sinetron yang banyak iklannya. Ya, Rasjo dan Dirus merupakan sahabat akrab sewaktu kecil. Persahabatan mereka terpisah sejak Rasjo dan kedua orang tuanya merantau ke Jakarta.
Spontan mereka berdua duduk di pinggir trotoar. Rasjo lupa jika sekarang ia adalah seorang “Real Big Boss” yang seharusnya gengsi duduk di tepi trotoar.
“Rus, maaf ya, bukan bermaksud apa-apa. Aku sangat mengharapkan kamu tidak lagi berjualan kopi keliling sampe larut malam begini. Kamu ikut gabung saja denganku. Kamu mau posisi apa saja sudah pasti kutempatkan. Kamu mau gaji berapa saja sudah pasti kupenuhi.” Bagaimana bisa aku membiarkan sahabat kecilku segitu kerasnya cari uang.”
“Makasih, Jo. nanti aku musyawarahkan dulu sama istriku. Jika dia setuju, ya aku mau saja jadi karyawanmu. Oh ya, gimana kabar keluargamu, Jo?”
Tetiba raut muka Rasjo berubah muram dan kaget dengan pertanyaan temannya itu.
“Aku pusing, Rus. Sudah tujuh tahun ini rumah tanggaku seperti neraka. Di rumah sudah tidak ada lagi kebahagiaan. Tidak ada satupun yang mau dengar perkataanku.”
“Istriku hobinya hanya senang-senang dan menghabiskan uang saja. Anak-anakku juga sama dengan ibunya. Aku jenuh. Aku pusing. Tidak mungkin kuutarakan masalahku kepada rekan bisnis, apalagi anak-anak buahku. Mereka sangat segan denganku, Rus.” Cerita Rasjo kepada teman kecilnya itu dengan wajah kusut tak karuan.
“Ya Allah.. seharusnya kamu dan keluargamu bahagia. Kasihan kamu, Jo. Alhamdulillah keluargaku baik-baik saja. Walapun penghasilan jual kopi seperti ini tidak seberapa dan tinggal di rumah kontrakan sumpek, kami sangat menikmatinya dengan rasa syukur.”
“Tolong aku, Rus. Aku ingin sekali keluargaku kembali harmonis seperti dulu sewaktu kami belum sekaya sekarang.”
“Baiklah, kalo begitu, jawablah deng jujur tanpa kau tutup-tutupi. Apakah kamu dan keluargamu jauh dari Allah?” tanya Dirus.
Plak! Pertanyaan Dirus seperti menampar pipi Rasjo dengan keras. Dia sama sekali tidak menyangka jika kalimat pertama yang keluar dari sahabatnya itu menyangkut hubungan dirinya dengan Allah. Betapa tidak, dia tidak merasakan kehadiran Allah di hatinya dan keluarganya itu sejak lama.
“Astaghfirullah, aku baru sadar sekarang, Rus. Sudah bertahun-tahun aku tidak salat. Sejak bisnisku meningkat, aku dan keluargaku sangat jauh dari Allah. Jika dihitung-hitung, kurang lebih sudah 10 tahun aku tidak salat dan lupa dengan Allah. Bukan hanya salat, puasa Ramadan juga begitu. Bahkan keluarga kami tidak sempat ikut salat idul fitri bertahun-tahun dengan alasan berlibur ke luar negeri.”
“Nah, itulah akar permasalahnnya. Jika Allah sudah jauh dari hati dan kehidupanmu, sudah pasti Allah mencabut keberkahan dalam hidupmu. Walapun kamu kaya raya, tapi apa gunanya jika tidak berkah? Syukur kamu masih hidup sekarang, Jo. Jika kamu mati sekarang, aku tidak bisa membayangkan bagaimana keadaanmu di alam kubur. Bagimana mungkin anak dan istrimu selalu mendoakanmu?”
“Sudahlah, masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya. Taubatlah sekarang juga. Perbanyak istighfar dan tentunya salat lima waktu. Jangan lupa untuk meng-qadha salatmu dan juga puasa Ramadanmu yang kau tinggalkan bertahun-tahun itu.”
“Doakan anak dan istrimu agar mereka juga turut kembali ke jalan Allah. Sudahlah, aku tidak perlu lagi bermusyawarah dengan istriku, Kuterima tawaranmu untuk bekerja denganmu. Aku harus menjadi pengawal pribadimu yang selalu mengingatkanmu agar tidak lalai kepada Allah.”
Mendengar perkataan sahabatnya itu. Wajah Rasjo yang semula nampak semrawut kini berubah tenang dan penuh kegembiraan. Semangatnya membara untuk kembali menjadi hamba Allah yang bersukur dan mengembalikan keluarganya menjadi keluarga sakinah, mawadah dan rahmah.
Wallahu A’lam.
Foto : Unsplash