Kabar Terbaru

Iman dan Nafsu

Manusia adalah makhluk Allah SWT yang sangat mulia di antara makhluk-makhluk lain yang diciptakan-Nya. Ingatlah, ketika para malaikat ‘memprotes’ Allah yang hendak menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Mengapa tidak dari golongan malaikat yang tentu saja tidak pernah ingkar terhadap perintah-perintah Allah.

Allah menjawab ‘protes’ malaikat itu dengan lugas, “Sesungguhnya, Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Maka, saat Nabi Adam mampu menyebutkan nama benda-benda yang diperintah Allah, para malaikat itu pun memberikan rasa ta’zhim (penghormatan) kepada Adam, kecuali iblis yang kemudian diusir dari surga.

Karena itulah, manusia harus bisa memposisikan dirinya secara arif dan bijaksana sebagai makhluk yang diberikan kelebihan dibandingkan makhluk ciptaan-Nya yang lain. Memang hal ini tidak mudah, karena manusia tidak lepas dari berbagai bentuk godaan ataupun cobaan dalam mengarungi kehidupan. Manusia tidak seperti malaikat yang senantiasa sanggup mentaati Allah.

Begitu pula, manusia bukanlah sebangsa syetan yang selalu mangkir dari-Nya. Akan tetapi, disebabkan manusia diberikan dua anugerah, yaitu iman dan nafsu, sehingga dengan kedua anugerah tersebut, kemungkinan manusia dapat cenderung kepada kebaikan, atau sebaliknya kepada keburukan.

Kita pahami bersama, bahwa antara iman dan nafsu, bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda. Walaupun dengan kedua sisi yang berbeda, namun mata uang tersebut tetap berfungsi sebagai alat pembayaran. Nah, antara iman dan nafsu semestinya tidak berjalan sendiri-sendiri, tetapi hendaknya terjalin komunikasi yang selaras, sehingga antara keduanya berjalan secara beriringan.

Dengan begitu, manusia diharapkan mampu mengendalikan hati—sebagai tempat iman dan nafsu—untuk kegiatan yang positif, berbuat kebajikan, bukan menyalahi norma-norma yang telah ditetapkan-Nya. Pengendalian hati ini berkaitan erat dengan hubungan seseorang dengan Sang Khaliq, Allah.

Semakin dekat dirinya kepada Allah, Insya Allah akan terus terjaga dari berbagai kenikmatan duniawi yang melenakan. Ia tidak akan mudah menuruti rayuan syetan untuk berbuat maksiat kepada-Nya. Dengan keterjagaan demikian, maka kedamaian dan ketenangan hidup senantiasa menjadi kehidupannya ; tidak merasa resah ataupun gelisah.

Keadaan seperti itu, diartikan bahwa keimanan seorang hamba tengah berada pada tingkat yang baik. Antara iman dan nafsu, sisi keimanan mengungguli nafsu, sehingga nafsu dapat terkontrol, tidak lepas begitu saja seperti anak panah yang lepas dari busurnya.

Rasulullah pernah bersabda, “… Al-Iman yazid wa yanqush.” (Iman itu bisa naik dan turun). Hal ini merupakan realita, sebab seseorang bisa saja hari ini kualitas imannya dalam kondisi yang fit, sedangkan keesokan harinya dalam keadaan berkebalikan 180 derajat, kecuali para rasul/nabi dan malaikat. Tingkat keimanan kita dapat berkurang beberapa persen dari sebelumnya, dan ini bukannya tanpa sebab.

Sebab utama ialah kita belum mampu mengoptimalkan diri untuk beribadah kepada Allah, selain itu bujuk rayu syetan yang tidak boleh diabaikan. Kecerdikan syetan terkadang melebihi manusia. Kok bisa? Tentu bisa! Kita perhatikan, manusia dengan mudahnya melangkahkan kaki ke tempat-tempat maksiat serta untuk berbuat hal-hal yang dilarang agama.

Syetan dengan kelihaiannya membungkus sesuatu yang buruk dengan keindahan yang menipu. Seseorang tahu diskotek merupakan sarang maksiat, ia tahu judi tidak akan membuat orang menjadi kaya, ia tahu shalat merupakan perkara yang wajib dilaksanakan.

Tetapi ia hanya sekedar tahu, belum bisa memahami sepenuhnya. Seperti angin lalu saja, tidak berbekas, tidak paham akan hakikatnya, sehingga ketika ia ke diskotek, dengan entengnya berkelit hanya untuk refreshing (menyegarkan pikiran dari kepenatan).

Ketika berjudi, dengan berseloroh, bahwa ia ingin menjadi kaya, bosan dengan kemiskinan, ingin memiliki barang-barang yang belum dimilikinya. Saat shalat, dengan ringannya berkata, “Ah..! Shalat kan bisa nanti-nanti…. nanti kalau sudah tua bertobat… banyakin shalat. Sekarang masih muda.., enjoy dulu aja…! Atau dengan menunda-nunda shalat, sehingga tidak jarang kebablasan.

Bahkan seperti berputus asa mengatakan, “Buat apa shalat…? Kalau kita masih suka maksiat. Sama aja itu dengan boongin Allah. Udah aja sekalian enggak shalat.., kan beres… soalnya kita kan bukan malaikat…, coba kalau kita malaikat…” dan seterusnya.

Oleh karena itulah, kita harus waspada terhadap segala tipu daya syetan yang menjerumuskan manusia dalam kesesatan. Sebab, syetan tidak pilih-pilih, tidak pandang bulu dalam melancarkan aksinya. Orang yang hendak berbuat kebaikan pun, misalnya bersedekah mampu diperdayanya, hingga ia tidak jadi melakukannya, ataupun apabila jadi bersedekah, telah bercampur dengan sifat riya’ (ingin dipuji) dan sombong.

Bahkan, orang pintar yang bergelar profesor sekalipun, bisa dikalahkan olehnya dengan teori-teori ‘suka membawa duka’. Derita di dunia, Celaka di akhirat! Na’udzu billah min dzalik….! Apabila iman berfungsi dengan baik, maka malapetaka akibat nafsu dapat diminimalisasikan.

Wallahu a’lam bishshawab.
■ Penulis : Irhandi

Download Versi Buletin dan Buletin Jumat Lainnya di sini

One thought on “Iman dan Nafsu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *