Kabar Terbaru

Ikut Rasulullah atau Ikut Ulama?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Mohon maaf pak Ustaz, izinkan saya bertanya mengenai dalil dalam beragama.

Seringkali amaliah ibadah sehari-hari saya dikomentari dan dikritik oleh teman saya, padahal dulunya teman saya itu sama amaliah ibadahnya dengan saya. Dulu kami sama-sama qunut subuh, sama-sama maulidan, sama-sama tahlilan, sama-sama cium tangan guru kalau salaman.

Kami sudah lama tidak bertemu. Tapi entah mengapa saya tidak mengerti kok sekarang dia sepertinya anti dengan amaliah kami itu. Jika kami bertemu, hampir saja kami bertengkar. Tidak henti-hentinya dia mengkritik bahkan jika boleh dikatakan “mengolok-olok atau merendahkan” amalan yang dulu kami lakukan bersama-sama.

Dia mengatakan bahwa amalan kami dulu tidak ada dalilnya, tidak ada dasarnya, tidak dicontohkan Rasulullah dan sebagainya. Karena saya awam, saya tidak bisa berkata banyak, saya hanya mengingatkan dia agar tidak sombong dan menghargai amalan orang lain yang tentu ada gurunya. Saya tegaskan saya awam dan hanya mengikuti apa yang diajarkan oleh guru dan orang tua saya. Bukannya dia mereda atau menyadari kekeliruannya, dia “ngegas” dan berkata nyinyir kepada saya: “Mau ikut Rasulullah apa ikut ulama?” Ikut Rasulullah sudah pasti benar dan masuk surga! Ulama itu manusia dan banyak salahnya. Ulama ga boleh bikin syariat! Sayangkan ibadah seumur hidup tapi salah dan masuk neraka??”

Mendengar perkataannya itu, sakit sekali hati saya. Seakan-akan guru-guru saya itu salah mengajarkan umat dan masuk neraka. Seakan-akan guru-guru saya itu adalah “sekawanan kambing bodoh” yang tidak kenal syariat.

Tapi jujur, saya jadi agak sedikit bimbang sekarang. Apakah tahlilan, qunut subuh, maulid, ratiban dan amalan-amalan lainnya itu adalah “amalan salah” dan mengakibatkan masuk neraka? Apakah saya dan kiai-kiai saya termasuk penebar ajaran sesat dan memang harus dijauhi dan mengakibatkan umat masuk neraka?

Demikian, Pak Ustaz. Saya berharap sekali agar pertanyaan saya ini dijawab. Terima kasih.

 

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Pertanyaan Anda termasuk pertanyaan sangat sensitif dan kami harus menjawabnya dengan sangat hati-hati agar tidak terkesan membela pihak-pihak tertentu dan na’udzubillah bisa memperkeruh suasana.

Apakah mengamalkan sesuatu itu harus berdalil? Jawabannya sudah pasti iya! Agama itu syariat, dan sudah pasti berdalil, baik dari Al-Qur’an mapun As-Sunnah. Tidak ada syariat jika tidak ada dalil. Hal ini disepakati oleh seluruh ulama di dunia, sampai kapan pun dan di mana pun.

Cuma masalahnya, para ulama tidak semuanya seragam dalam memahami suatu dalil. Terkadang dalilnya sama, tapi pemahamannya yang berbeda. Karena tidak mesti sama pemahaman, walhasil ijtihad mereka juga tidak seragam. Hal itu sudah sangat biasa dalam dunia fikih. Jika Rasulullah masih hidup sampai saat ini, tentu bisa bertanya langsung mengenai suatu hukum. Karena tidak mungkin, maka mau tidak mau para ulama harus berijtihad.

Untuk memudahkan pemahaman, saya akan contohkan bagaimana para ulama berbeda dalam menentukan kesimpulan suatu perkara. Yang paling kentara perbedaan pendapatnya adalah masalah apakah bersentuhan kulit dengan lain jenis yang bukan mahram mengakibatkan batal wudu atau tidak dalam lintas mazhab.

Berikut perbedaan ulama 4 mazhab dalam masalah benrsentuhan kulit. Bahasan ini kami kutip dari Kitab Fikih Perbandingan Mazhab, Al-Fikih Al-Islami Wa Adillatuh yang disusun oleh Alm. Prof. Dr. As-Syaikh Wahbah Az-Zuhaili.

Madzhab Hanafi.

Ulama hanafiyah berijtihad bahwa menyentuh kulit lain jenis yang bukan mahram atau juga sentuhan kulit antara suami dan istri tidaklah membatalkan wudu’. Mereka berdalil bahwa yang dimaksud “Aw laamastumun Nisa” pada penggalan Q.S. An-Nisa: 43 artinya adalah “jika kamu bersetubuh dengan istrimu.” Jadi menurut mereka, menyentuh kulit lain jenis tidaklah batal wudu. Yang membatalkan adalah karena jima’.

Mazhab Maliki dan Hambali.

Kedua mazhab ini berpendapat bahwa makna “menyentuh perempuan” dalam surat AnNisa ayat 43 di atas adalah dengan makna sebenarnya, yaitu menyentuh kulit antara laki-laki dan perempuan, bukan mengartikannya dengan jima’ sebagaimana yang diartikan ulama mazhab Hanafi.

Menurut kedua mazhab ini, arti menyentuh perempuan adalah menyentuh perempuan dengan syahwat. Maksudnya adalah seorang laki-laki yang menyentuh kulit perempuan dengan syahwat (nafsu), maka batal wudunya. Para ulama mazhab ini berdalil dengan beberapa hadis sebagai berikut:

عَنْ إبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّي وَلا يَتَوَضَّأُ رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ

Artinya :

“Dari Ibrahim At-Taymi dari Aisyah RA bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium sebagian dari istri-istri beliau kemudian beliau salat tanpa berwudu” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i).

Hadis lainnya, masih riwayat Aisyah RA :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Suatu malam aku kehilangan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidur, kemudian aku mencarinya, lalu tanganku mengenai kedua telapak kaki beliau sebelah dalam ketika beliau sedang di tempat sujud”.(HR. Muslim dan Tirmidzi)

Dari kedua hadis di atas, tentu dapat dipahami bahwa bersentuhan kulit antara Rasulullah SAW dengan Aisyah RA tentu tidak dalam keadaan syahwat. Dengan demikian, menurut mazhab ini , makna “menyentuh perempuan” dalam surat An-Nisa ayat 43 diartikan dengan “menyentuh kulit perempuan dengan syahwat”. Dengan begitu, bersentuhan kulit antara istri atau suami apabila disertai dengan syahwat adalah membatalkan wudu. Tapi apabila bersentuhan kulit tidak disertai dengan syahwat maka tidak membatalkan wudu.

Namun, Mazhab Malik dan Hambali agak sedikit berbeda menghukumi persentuhan kulit laki-laki dan perempuan sebagai berikut :

  • Mazhab Maliki tidak membatasi apakah yang disentuh itu perempuan, laki-laki, anak kecil yang belum balig, menyentuhnya dengan penghalang atau tidak. Patokannya adalah menyentuhnya dengan diiringi syahwat.
  • Mazhab Hambali mensyaratkan bahwa yang disentuhnya itu adalah khusus perempuan (laki-laki tidak ternasuk) dan tidak menggunakan penghalang. Apabila seorang laki-laki bersentuhan kulit dengan perempuan dan disertai syahwat dan tanpa penghalang, maka batal wudunya walau pun kulit perempuan yang disentuhnya itu adalah jenazah.

Mazhab Syafi’i

Mazhab ini berpendapat bahwa menyentuh kulit perempuan tanpa penghalang adalah batal wudu, baik diiringi syahwat atau tidak. Mazhab ini membatasi batalnya persentuhan dengan:

  • Batal apabila menyentuh yang bukan mahram. Yang dimaksud mahram di sini adalah mahram yang disebabkan karena keturunan (anak dengan orang tua, kakak dengan adik dll), atau karena persusuan, atau karena hubungan pernikahan (menantu dengan mertua). Adapun pesentuhan suami dan istri adalah batal.
  • Menyentuh lawan jenis yang bukan mahram tidak membatalkan apabila ia adalah anak kecil yang belum balig dan secara adat tidak menimbulkan syahwat.

Dalil mazhab ini adalah :

  • Maksud “menyentuh perempuan” dalam surat An Nisa ayat 43 adalah menyentuh kulit, bukan jima’. Mazhab ini mengartikan kata tersebut secara tekstual, bukan kontekstual atau majas.
  • Adapun hadis Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian salat tanpa wudu lagi adalah hadis lemah dan mursal sehingga tidak bisa dijadikan dalil.
  • Ada pun hadis Aisyah RA bahwa kedua telapak kaki Rasulullah SAW perah tersentuh tangan Aisyah RA ketiau beliau SAW sujud, diduga bahwa persentuhan tersebut disertai penghalang sehingga tidak langsung terkena kulit antara keduanya. Penghalang itu bisa saja kain atau selimut Aisyah RA.

Dari satu contoh yang kami paparkan di atas, maka:

  • Para ulama adalah pewaris nabi. Yang namanya pewaris, tentu mengikuti yang mewarisi, yaitu Rasulullah. Lihatlah bagaimana para ulama sangat hati-hati dalam menentukan suatu hukum. Mereka sudah pasti berdalil dan sudah pasti mengikuti Rasulullah. Jadi, jika ada pertanyaan seperti ini misalnya, “Mau ikut Rasulullah apa mau ikut Ulama?” maka pertanyaan tersebut adalah pertanyaan sangat bodoh. Pertanyaan atau statement semacam ini sangat berpotensi memecah belah umat dan sangat memaksakan agar orang yang ditanya menjadi ragu terhadap guru yang mengajarkannya atau ulama yang mengajarkannya.
  • Merasa benar dengan amalan yang dilakukan memang harus. Tapi merasa paling benar dan orang lain salah itu jelas kesombongan. Perbedaan penafsiran terhadap suatu teks ayat atau hadis itu suatu keniscayaan. Suatu kelompok tidak boleh memonopoli penafsiran dan menganggap bahwa penafsiran atau pemahaman teks tersebut adalah pemahaman Allah dan Rasul-Nya. Akibatnya, kelompok lain dituduh tidak memahami dalil dan tidak ikut dalil, tidak ikut Rasulullah.
  • Amalan seperti Yasinan, maulidan, Tahlilan, Qunut Subuh dan lain-lain seperti yang sudah umum dilakukan oleh mayoritas umat Islam Indonesia tentu bukan karangan. Amalan tersebut sudah dilakukan oleh ulama-ulama sejak dulu. Di antara mereka banyak yang ahli Ushul Fikih, ahli Fikih, ahli Tafsir, ahli Hadis dan ahli-ahli lainnya. Tidak mungkin mereka “Los Dalil” dan bertentangan dengan Rasulullah.
  • Anda tidak perlu risau, teruskan saja amalan –amalan yang diajarkan oleh ulama-ulama Anda. Anda harus ekstra sabar meladeni teman Anda tersebut. Hindari perdebatan dan tetap jaga silaturahim dengannya.

Wallahu A’lam.

 

Foto : Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *