Hartawan yang Dermawan
Di tengah teriknya sang mentari di kota Nabi yang diberkahi, kepulan debu yang bergulung-gulung membuat takut setiap maya yang memandangnya. Berlari kian kemari memasuki setiap gang rumah-rumah di kota Madinah. Menyapa setiap makhluk yang bernapas. Ada apa gerangan? Badai pasirkah yang akan datang?
Semua penduduk kota berhamburan keluar melihat fenomena yang terjadi. Setelah ditelusuri, kepulan debu itu bukanlah badai pasir yang ditakuti. Debu tersebut berterbangan mengiringi kedatangan kafilah dagang yang datang dari negeri Syam. Sebuah kafilah yang dipunyai oleh salah seorang pendamping sang manusia agung. Yaitu, seorang sahabat besar Rasulullah baru tiba dari negeri yang jauh lengkap dengan barang dagangannya yang dibawa oleh 700 ekor unta.
Lalu untuk siapakah semua harta benda ini?
Siapakah dari penduduk Madinah yang memborong semua barang dagangan ini?
Apakah penduduk Madinah akan mendapatkan bagian dari semua ini?
Lalu sang pemilik barang ini turun dari hewan tunggangannya, menyapa semua orang yang menanti kehadirannya. Dengan senyuman yang mengembang di sela-sela jenggotnya, ia menemui para pembesar kota dan Ummul Mu’minim, Aisyah r.a. dengan lembut dan hati-hati diiringi kata-kata yang sopan dan tegas, lelaki ini berkata, “Ketahuilah Bunda, semua kafilah dengan muatannya ini, saya persembahkan untuk perjuangan di jalan Allah”.
Abdurrahman bin ‘Auf, dialah sang pemilik semua harta ini. Kejeniusan dan kepiawaiannya dalam berbisnis telah menjadikan ia sebagai salah satu orang terkaya di Madinah setelah sebelumnya datang dari kota Makkah hanya dengan baju yang menempel di badannya. Kekayaan yang ia dapatkan tidak menjadikan ia lupa kepada yang Maha Memberi. Namun hartanya ini menjadikan ia semakin dekat kepada Allah, Dzat Maha Kaya.
Bagi Abddurrahman, bisnis adalah sebuah cara untuk menjalankan tanggungjawab dan membantu orang lain. Harta melimpah yang ia miliki tidaklah ditumpuk untuk kepentingan pribadinya. Namun untuk dinikmati bersama serta mendekatkan diri kepada Allah. Ada yang mengatakan bahwa semua penduduk Madinah pada masa itu menikmati harta Abddurahman bin ‘Auf. Sepertiga hartanya dipinjamkan kepada mereka, sepertiganya lagi digunakan untuk melunasi hutang-hutang mereka, dan sepertiganya lagi dibagi-bagikan kepada seluruh penduduk Madinah dan sekitarnya.
Baca Juga: Seadil-adilnya Dakwah Bernegara
Ia sadar bahwa semuanya diperoleh berkat karunia Allah yang tidak ada habis-habisnya. Ia tidak mau menjual kekayaan akhirat dengan secuil kekayaan dunia yang tidak bisa dibawa mati ini. Harta kekayaan yang ia miliki ini tidak mampu mengurangi, apalagi merusak iman yang ada di dalam dadanya. Tidak menimbulkan sifat sombong dan kikir sebagaimana yang biasa terjadi pada orang kaya lainnya.
Selain 700 ekor unta beserta barang bawaannya yang ia bagikan kepada seluruh penduduk Madinah ini, Abdurrahman bin ‘Auf juga sering menginfaqkan hartanya di jalan Allah dan keperluan perjuangan Islam. Ia pernah menjual tanahnya senilai 40 ribu dinar, kemudian membagikannya kepada seluruh keluarganya dari keturunan Bani Zuhrah. Kemudian ia pernah menyumbang 500 ekor kuda untuk keperluan perang, dan dilanjutkan lagi dengan sumbangan 1.500 ekor kuda beserta muatan dan perlengkapannya untuk keperluan Jihad Fi Sabilillah.
Ketika ajal akan datang menjempuutnya, Abdurrahman mewasiatkan 50 ribu dinar untuk keperluan Jihad Fi Sabilillah, 400 dinar untuk setiap pahlawan Badar yang masih hidup, dan sisa hartanya disedekahkan untuk kepentingan dakwah Islam. Semua hartanya ia dapatkan dengan jalan halal dan berkah. Tidak secuil pun hartanya disusupi oleh harta haram yang sangat dibenci oleh Allah.
Beginilah hidup manusia mulia pendamping manusia agung ini. Diberikan kekayaan dunia, ia lebih memilih hidup sederhana dan mempersembahkan hartanya di jalan Allah. Tidak setitik pun dunia ada dalam hatinya. Baginya, bisnis yang terbaik itu adalah berbisnis dengan Allah, menjual dunia untuk akhirat. Wallahu ‘alam.
Baca Juga: Mencari Pahlawan Indonesia