CORDOFA – Mewarnai rambut seakan telah menjadi tren tersendiri di zaman ini. Hal tersebut tidak hanya di kalangan muda-mudi, tetapi juga merambah ke kalangan yang sudah lanjut usia. Sebenarnya ini bukan kenyataan yang baru terjadi, karena memang sudah pernah ada di zaman Nabi Saw. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah boleh mewarnai rambut menurut Sunnah Nabi Saw? Pertanyaan ini akan dijawab dengan penjelasan berikut.
Hadis riwayat Imam Muslim dan Ibn Majah
Apabila mewarnainya dengan warna selain hitam –seperti merah, putih dan kuning- maka tidak diragukan lagi kebolehannya. Ini sesuai dengan kisah Abu Quhafah yang ikut serta dengan Nabi Saw saat Fath (Penaklukan) Makkah tahun 8 H. Abu Quhafah saat itu datang dalam keadaan rambut dan jenggot yang telah diwarnai dengan warna putih. Setelah itu, Nabi Saw mengomentari penampilan Abu Bakar dengan bersabda:
غَيِّرُوا هَذَا بِشَىْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ. (رواه مسلم/5631).
“Warnailah ini (rambut dan jenggot) dengan sesuatu (pewarna), namun hindarilah warna hitam.” (HR. Muslim/5631).
Hadis ini menegaskan bahwa pewarnaan rambut dengan warna apa pun selain hitam adalah boleh. Adapun warna hitam dilarang oleh Nabi Saw dengan bentuk larangan (shighat al-nahy), yaitu sabdanya wa-jtanibu (hindarilah). Larangan ini mengindikasikan keharaman menggunakan warna hitam terhadap rambut dan jenggot. Pemahaman ini berasal dari kaidah hukum yang telah disepakati oleh ulama, yaitu:
الأَصْلُ فِي النَّهْيِ التَّحْرِيمُ إِلاَّ لقَرِيْنَةٍ
Pada dasarnya, suatu larangan memfaedahkan keharaman, kecuali jika ada qarinah (indikasi yang menyertainya).
Qarinah bisa diketahui dengan keberadaan dalil-dalil lain, baik dari al-Qur’an ataupun hadis-hadis yang mengandung penjelasan berbeda terhadap permasalahan yang sama. Qarinah akan menyebabkan hukum asal dari suatu larangan dan perintah suatu ayat atau hadis menjadi gugur, sehingga muatan hukumnya menjadi lebih fleksibel. Perintah dapat menjadi sekedar anjuran tidak wajib (mustahab), atau larangan dapat menjadi tidak dianjurkan atau dibenci (makruh). Terkadang malah menjadi sebaliknya, yaitu larangan menjadi dibolehkan bahkan dianjurkan seperti hadis larangan Nabi Saw untuk ziarah kubur. Setelah itu malah Nabi Saw memerintahkannya karena dapat mengingatkan hati kepada akhirat.
Dalam hal ini, muncul pertanyaan baru “Apakah ada dalil lain yang bertentangan dengan hadis ini”, sebaliknya “Apakah ada dalil lain yang menguatkan hadis ini”.
Adapun hadis yang secara zahir terkesan bertentangan adalah hadis Shuhaib al-Khayr yang meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda:
إِنَّ أَحْسَنَ مَا اخْتَضَبْتُمْ بِهِ لَهَذَا السَّوَادُ . أَرْغَبُ لِنِسَائِكُمْ فِيْكُمْ وَأَهْيَبُ لَكُمْ فِيْ صُدُوْرِ عَدُوِّكُمْ. (رواه ابن ماجة/3625)
“Sesungguhnya sebaik-baik warna yang kamu gunakan (untuk rambut dan jenggot) adalah hitam, karena dapat menyenangkan pasanganmu, dan menggentarkan musuhmu.” (HR. Ibn Majah/3625).
Kandungan hadis ini menegaskan bahwa hitam adalah warna terbaik untuk mewarnai rambut. Ini dikarenakan rambut yang diwarnai dengan warna hitam mempunyai dua kelebihan, yaitu menyenangkan pasangan dan menggentarkan musuh di perperangan. Pasangan menjadi senang karena melihat suami atau istrinya terlihat lebih muda, sedangkan musuh menjadi gentar karena melihat para pejuang -yang berambut hitam- terkesan muda sehingga terlihat kuat. Tetapi, apakah hadis ini dapat menjadi qarinah yang dapat menggugurkan keharaman mewarnai rambut dan jenggot dengan warna hitam?. Suatu hadis hanya dapat menjadi qarinah terhadap suatu perintah atau larangan, apabila kualitasnya shahih (kuat) atau minimal hasan (bagus).
Namun bagaimana kualitas hadis ini? Ini permasalahan utamanya. Ternyata kualitas hadis ini tidak sampai derajat shahih maupun hasan, sebaliknya hadis ini adalah dha‘if (lemah). Kelemahan tersebut bukan pada Imam Ibn Majah (pengarang kitab hadis Sunan Ibn Majah), tetapi pada periwayat (rawi) yang terdapat dalam jalur sanadnya. Rawi yang lemah tersebut adalah Daffa‘ bin Daghfal al-Sadusi. Ini sesuai dengan keterangan ulama hadis seperti Imam Ibn Abu Hatim al-Razi dan Ibn Hajar al-‘Asqalani.
Berdasarkan itu, hadis riwayat Ibn Majah -mengenai kebolehan memakai warna hitam- tidak memenuhi persyaratan untuk dianggap bertentangan dengan hadis riwayat Imam Muslim yang melarang pemakaian warna hitam. Dua hadis atau lebih hanya dapat dianggap saling bertentangan (mudhtharib) apabila kualitasnya sama, yaitu sama-sama shahih atau hasan. Imam al-Nawawi dan al-Suyuthi menjelaskan salah satu kaidah dalam ilmu hadis adalah apabila terdapat dua hadis atau lebih yang bertentangan dengan kualitas yang sama atau berdekatan, maka hadis tersebut mudhtarib (saling bertentangan). Oleh karena itu, hadis riwayat Ibn Majah di atas tidak dapat menjadi qarinah yang dapat menggugurkan hukum asal dari keharaman mewarnai rambut dan jenggot dengan warna hitam.
Dengan demikian, apabila ada pendapat yang membolehkan pemakaian cat hitam untuk rambut dan jenggot, maka dapat dipastikan bahwa pendapat tersebut lemah dan tidak boleh diikuti. Ini dikarenakan pendapat tersebut didasarkan kepada hadis yang lemah.
Adapun hadis yang menguatkan hadis Muslim di atas sangat banyak. Di antaranya ada yang sekedar menyebutkan perintah mewarnai rambut –selain warna hitam agar berbeda penampilan dengan Yahudi- sebagaimana terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan di antaranya ada yang secara langsung menyebutkan dosa dan ancaman memakai warna hitam. Dalam hal ini, kami hanya akan menukil hadis yang menyebutkan dosa dan ancaman mengenai hal ini.
يكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِى آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لاَ يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ. (رواه أبو داود/4218، والنسائى/5075 وهذا صحيح).
“Pada akhir zaman nanti akan muncul suatu kaum yang (rambutnya) bersemir dengan warna hitam seperti tembolok merpati. Mereka itu tidak akan mencium bau surga.” (HR. Abu Dawud/4218, dan al-Nasa’i/5075, kualitas shahih).
Hadis ini menunjukkan bahwa aktivitas mewarnai rambut akan terjadi di akhir zaman. Ramalan Nabi Saw tersebut sangat benar, sebagaimana dapat kita saksikan di zaman kita sekarang. Saat ini adalah akhir zaman. Adapun ancaman bagi para pelakunya adalah tidak akan mencium bau surga, lalu bagaimana mungkin dapat memasukinya.
Perbedaan Pendapat Ulama
Perbedaan pendapat dalam memahamai larangan memakai cat hitam dalam mewarnai rambut wajar terjadi. Ini dikarenakan ada hadis yang berbeda dengan hadis riwayat Muslim. Namun karena tidak semua fuqaha (ahli fiqih) itu ahli dalam menentukan kualitas periwayatan hadis, maka di antara mereka ada yang -secara tidak sengaja ataupun tidak- menggunakan hadis yang dha‘if sebagai sandaran dalam berfatwa. Kita tentu tidak dapat melarang dan mencela mereka karena melakukan ini, karena selain mereka telah mati, mereka juga mempunyai manhaj (sistem) ijtihad yang berbeda-beda –dan barangkali kita tidak memahaminya-. Namun kita dapat memberikan penilaian berdasarkan kajian yang mendalam bahwa pendapat mereka dianggap kuat sehingga dapat diikuti, atau pun lemah sehingga harus ditinggalkan. Tentu saja, hal ini tidak mudah dilakukan alias hanya ngomong serampangan. Tetapi ini mesti dilakukan dengan mekanisme yang lebih ketat dan teliti.
Ini sebagaimana dilakukan oleh Imam al-Nawawi –yang digelari sebagai penggabung hadis dan fiqih (jami‘ bayn al-hadits wa-al-fiqh)-. Imam al-Nawawi menyadari bahwa jangankan dengan mazhab lain, bahkan dalam mazhab al-Syafi‘i pun terdapat dinamika perbedaan pendapat mengenai ini. Bagi orang yang memiliki kemampuan seperti Imam al-Nawawi, maka wajib baginya untuk meneliti kembali perbedaan pendapat tersebut. Alhasil, Imam al-Nawawi mendapatkan bahwa Imam al-Ghazali dan al-Baghawi menilai mewarnai rambut dengan warna hitam adalah makruh (dibenci). Adapun Imam al-Mawardi mengatakan hukumnya haram, kecuali ketika berjihad di perperangan. Adapun yang semasa dengan Imam al-Syafi‘i, terdapat Imam Ishaq bin Rahawayh yang membolehkannya hanya bagi seorang istri untuk berhias di hadapan suaminya. Dalam hal ini, Imam al-Nawawi menanggapi bahwa yang benar (shawab) hukumnya adalah haram. Imam al-Nawawi juga menjadikan hadis riwayat Imam Muslim, Abu Dawud dan al-Nasa’i tersebut sebagai pijakan dalam berfatwa.
Dalam hal ini, pendapat al-Nawawi terlihat lebih hati-hati dan teliti, karena berdasarkan dalil yang shahih.
Kesimpulan
1) Hadis mengenai larangan mewarnai rambut dan jenggot dengan warna hitam adalah shahih (kuat), sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Muslim dalam Shahih Muslim.
2) Hadis mengenai kebolehan dan manfaat mewarnainya dengan warna hitam adalah dha‘if (lemah), -yaitu riwayat Ibn Majah- karena terdapat rawi yang lemah di dalamnya yang bernama Daffa‘ bin Daghfal al-Sadusi.
3) Pendapat yang membolehkan warna hitam secara mutlak adalah pendapat yang keliru. Adapun pendapat yang membolehkan untuk kondisi tertentu –seperti ketika berjihad atau istri berhias untuk suaminya- masih dapat ditoleransi, meskipun hadis yang menjadi sandaran tidak shahih.
4) Pendapat yang benar adalah mewarnai dengan warna hitam adalah haram, sesuai dengan larangan yang terdapat dalam riwayat Imam Muslim dan ancaman tidak mencium bau surga sebagaimana terdapat dalam riwayat Imam Abu Dawud dan al-Nasa’i. Wa-Allah a‘lam bi al-shawab.