CORDOFA – Salah satu tradisi yang umat Islam lakukan –khususnya di Indonesia- pada bulan Dzu al-Hijjah adalah berkurban untuk orang tua atau keluarga yang telah meninggal dunia. Muslim yang baik tentu akan bertanya-tanya, apakah ada tuntunan dari Nabi Saw atau para sahabat mengenai masalah ini. Pertanyaan ini hampir setiap tahun disampaikan kepada kami. Oleh karena itu, kami akan mengemukakan beberapa dalil yang relevan dengan permasalahan ini.
Hadis ‘Ali bin Abu Thalib Berkurban untuk Nabi Saw.
Sejauh ini, tuntunan berkurban untuk orang yang meninggal hanya didapatkan dari sebuah riwayat yang bersumber dari ‘Ali bin Abu Thalib. Khalifah keempat ini berkurban untuk Nabi Saw, sedangkan Nabi Saw telah wafat. ‘Ali bin Abu Thalib mengamalkan hal ini dengan alasan Nabi Saw mewasiatkan kepadanya sebelum wafat.
Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dalam al-Sunan al-Tirmidzi. Adapun hadisnya adalah sebagaimana berikut.
قال الإمام أبو عيسى الترمذي حدثنا محمد بن عبيد المحاربي الكوفي حدثنا شريك عن أبي الحسناء عن الحكم عن حنش عن علي : أَنَّهُ كَانَ يُضَحِّى بِكَبْشَيْنِ أَحَدِهِمَا عَنِ النَّبِي صلى الله عليه و سلم وَاْلآَخَرِ عَنْ نَفْسِهِ فَقِيْلَ لَهُ فَقَالَ أَمَرَنِي بِهِ يَعْنِي النَبِيّ صلى الله عليه و سلم فَلاَ أَدَعُهُ أَبَدًا
Imam al-Tirmidzi mengatakan bahwa Muhammad bin ‘Ubayd al-Muharibi menceritakan dari Syarik bin ‘Abdullah dari Abu al-Hasna’ dari Hakam dari Hansy yang meriwayatkan bahwa ‘Ali bin Abu Thalib berkurban dengan dua kibas. Kibas pertama adalah kurban untuk Nabi Saw, dan yang kedua untuk dirinya sendiri. Lalu ada yang menanyakan alasannya melakukan itu, maka ‘Ali berkata: “Nabi Saw memerintahkanku untuk melakukannya, sehingga aku tidak akan meninggalkan amalan tersebut selamanya”. (HR. Al-Tirmidzi/1495).[1]
Pada dasarnya, hadis ini disebut mawquf (bersumber dari sahabat Nabi Saw), yaitu kepada ‘Ali bin Abu Thalib. Namun di akhir hadis disebutkan bahwa amalan ini merupakan perintah atau wasiat dari Nabi Saw. Oleh karena itu, inti dari hadis ini adalah marfu‘ (bersumber dari Nabi Saw).
Dalam hal ini, Imam al-Tirmidzi tidak menyebutkan kualitas hadis ini sebagaimana dilakukannya pada hadis-hadis yang lain. Ia hanya mengatakan bahwa hadis ini mempunyai riwayat tunggal (gharib). Selain itu, ia mengategorikan hadis ini ke dalam kompilasi hadis-hadis bermasalah yang berjudul al-‘Ilal al-Tirmidzi al-Kabir. Di dalam kitab al-‘Ilal tersebut diketahui bahwa hadis ini hanya diriwayatkan melalui satu jalur.[2]
Dalam redaksi lain, Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, Abu Ya‘la, al-Hakim dan al-Bayhaqi juga meriwayatkan hadis ini dengan redaksi yang berbeda, namun dengan sanad yang sama. Sama dalam pengertian jalur periwayatannya bertemu pada Syarik bin ‘Abdullah.[3]
Kualitas Sanad Hadis
Sebagaimana dikemukakan di atas, hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi dari Muhammad bin ‘Ubayd al-Muharibi (w. 245 H.) dari Syarik bin ‘Abdullah (w. 177 H.) dari Abu al-Hasna’ (w. 140-an H.) dari Hakam (w. 113 H.) dari Hansy (?) dari ‘Ali bin Abu Thalib. Para imam lain juga meriwayatkan hadis ini dari jalur Syarik bin ‘Abdullah. Oleh karena itu, perhatian terhadap sanad hadis ini dapat difokuskan kepada riwayat Imam al-Tirmidzi saja. Berikut ini akan dikemukakan kualitas dan komentar sederhana dari ulama yang ahli dalam mengritik sanad atau dikenal dengan jarh wa-al-ta‘dil. Dengan mengetahui komentar mereka, maka akan diketahui bagaimana kredibilitas dari periwayat sebagai informan hadis.
Pertama, Muhammad bin ‘Ubayd bin Waqid al-Muharibi dikategorikan oleh Imam Ibn Hibban sebagai perawi tsiqah (terpercaya). Adapun Imam Ibn Hajar menilainya shaduq (jujur). Berbeda dengan Imam al-Nasa’i –sebagaimana dinukil oleh al-Mizzi- mengatakan bahwa Muhammad bin ‘Ubayd tergolong la ba’s bi-hi (tidak bermasalah).[4]
Kedua, Syarik bin ‘Abdullah al-Nakha‘i dinilai terpercaya dengan kriteria tertentu. Ia kredibel dalam meriwayatkan hadis sebelum menjabatqadhi di Basrah dan Kufah. Al-Mizzi menyebutkan bahwa ia menjabat pada tahun 155 H. Ini berarti 22 tahun sebelum wafat (177 H.), Syarik mengalami penurunan kualitas hafalan, karena disibukkan masalah peradilan.
Ketiga, Abu al-Hasna’ adalah al-Hasan bin Hakam al-Kufi. Imam al-Tirmidzi pernah menanyakan tentang orang ini kepada Imam al-Bukhari. Imam al-Bukhari mengatakan bahwa ia tidak mengenal orang ini.[5] Ini mengindikasikan bahwa Abu al-Hasna’ memang tidak populer di kalangan ahli hadis. Oleh karena itu, Ibn Hajar menyimpulkan bahwa Abu al-Hasna’ tergolong majhul (tidak dikenal), tetapi dapat diperkirakan bahwa ia hidup pada angkatan ke-7.[6]
Keempat, al-Hakam yaitu Ibn ‘Utaybah al-Kindi. Ia terkenal sebagai ulama Kufah yang menggantikan kepopuleran Ibrahim al-Nakha‘i dan al-Sya‘bi. Oleh karena itu, kredibilitas al-Hakam tidak diragukan sama sekali dalam periwayatan hadis, meskipun ia pernah melakukan tadlis.[7]
Kelima, Hansy bin al-Mu‘tamir dinilai jujur (shaduq), namun sering memunculkan riwayat yang terdapat wahm (banyak keraguan) dan irsal(pemutusan sanad). Tidak diketahui tahun wafatnya secara pasti. Namun Imam Ibn Hajar mengatakan bahwa ia merupakan tabi‘in dari angkatan ketiga.[8] Selain itu, Ibn Hajar menambahkan bahwa Abu Nu‘aim dan Ibn Mandah keliru dalam menilainya sebagai sahabat. Kekeliruan tersebut dikarenakan Khanasy sering melakukan irsal, sehingga seakan ia langsung meriwayatkan dari sahabat Nabi Saw.
Dalam hal ini, al-Dzahabi memberikan penilaian terhadap hadis di atas yang melalui periwayatan al-Hakim dengan kualitas shahih.[9] Tetapi sebagaimana terlihat dari kondisi para periwayat, terdapat beberapa orang yang bermasalah. Pertama, Syarik bin ‘Abdullah yang mengalami penurunan kualitas hafalan. Adapun penerimaan Imam Muslim terhadap periwayatannya hanya sebagai riwayat tambahan (syawahid dan mutaba‘at). Kemungkinan lain adalah Imam Muslim meriwayatkan hadis ini sebelum Syarik mengalami masalah pada hafalannya. Kedua, Abu al-Hasna’ adalah tokoh yang majhul. Ketiga, Hanasy bin al-Mu‘tamir tidak pernah bertemu dengan ‘Ali bin Abu Thalib, sehingga hadisnya terputus. Dapat diperkirakan bahwa ada sekitar dua orang yang digugurkan secara berturut-turut oleh Khanasy, yaitu periwayat antara dirinya dan ‘Ali bin Abu Thalib.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hadis ini dari aspek keguguran sanad (saqth al-isnad) tergolong hadis mu‘dhal, karena ada dua periwayat yang digugurkan secara berurutan. Selain itu, terdapat periwayat yangmajhul, sehingga ada kemungkinan dianggap munqathi‘ (terputus). Adapun dari aspek kecacatan hafalan periwayat, maka hadis ini adalah munkarkarena terdapat periwayat yang mempunyai hafalan buruk, yaitu Syarik bin ‘Abdullah. Permasalahan seperti ini memang biasa terjadi pada hadis-hadis bermasalah. Dalam hal ini, kategorisasi mu‘dhal, munqathi‘, dan munkarmerupakan penamaan terhadap hadis lemah (dha‘if). Berdasarkan ini, hadis ‘Ali bin Abu Thalib menyembelih untuk Nabi Saw setelah wafat adalah dha‘if. Namun kelemahannya tidak sampai kepada derajat matruk (semi palsu) danmawdhu‘ (semi palsu).
Perbedaan Pendapat dalam Membolehkan Berkurban untuk Orang Yang Meninggal
Secara harfiah, hadis di atas hanya menyontohkan berkurban untuk orang meninggal yang pernah mewasiatkannya. Ini dikarenakan kurban untuk orang lain yang masih hidup, mesti dengan izinnya. Adapun izin orang yang telah meninggal adalah wasiat darinya. Namun bagaimana dengan berkurban terhadap orang meninggal yang tidak mewasiatkannya.
Dalam hal ini, Imam al-Timidzi mengatakan bahwa di antara ulama salaf ada yang membolehkan berkurban untuk orang yang telah meninggal, dan sebagian ulama salaf lain tidak membolehkannya.Tentu saja mereka yang membolehkan ini karena berpegang dengan hadis ‘Ali bin Abu Thalib. Meskipun hadis ini lemah, keterangan Imam al-Tirmidzi menunjukkan bahwa sebagian ulama salaf ada yang berkurban untuk orang meninggal.
Di samping itu, Imam al-Bayhaqi mengatakan bahwa jika hadis di atas valid(in shahha) maka dapat dijadikan dalil berkurban untuk orang yang telah meninggal.[10] Kalimat in shahha ini menunjukkan bahwa Imam al-Bayhaqi tidak menilai hadis tersebut shahih. Oleh karena itu, hadis ini bagi Imam al-Bayhaqi tidak dapat dijadikan sebagai dalil berkurban untuk orang meninggal.
Terlepas dari perdebatan tersebut, Imam Abdullah bin al-Mubarak -sebagaimana dinukil oleh Imam al-Tirmidzi- memberikan solusi:
أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يُتَصَدَّقَ وَلَا يُضَحَّى عَنْهُ وَإِنْ ضُحِى فَلَا يُأْكَلُ مِنْهَا شَيْئًا وَيُتَصَدَّقَ بِهَا كُلُّهَا.
“Aku lebih senang bersedekah dibandingkan berkurban atas nama orang meninggal. Namun jika ada yang tetap ingin berkurban untuk orang yang meninggal, maka tidak boleh memakan dagingnya sama sekali. Tetapi, semua daging kurban itu mesti disedekahkan”.[11]
Imam al-Suyuthi pernah ditanya mengenai masalah ini, lalu ia menyebutkan riwayat di atas dan beberapa pendapat ulama. Di antara mereka adalah Imam al-Bulqayni yang berpendapat bahwa jika hadis ini shahih maka hanya berlaku khusus untuk Nabi Saw.[12] Ini berbeda dengan Imam al-Bayhaqi yang berandai-andai jika hadis valid, maka dapat dijadikan dalil kebolehan melakukannya secara umum. Imam al-Nawawi menegaskan bahwa inilah yang menjadi dalil Imam Abu al-Hasan al-‘Abbadi dari kalangan Syafi‘iyah dalam membolehkan berkurban untuk orang yang meninggal.[13] Adapun Imam al-Nawawi sendiri lebih cenderung tidak membolehkan, kecuali orang yang meninggal tersebut berwasiat untuk itu.[14]
Kesimpulan:
1) Ada hadis yang menyebutkan tuntunan berkurban untuk orang meninggal, yaitu riwayat Imam al-Tirmidzi. Namun kualitas hadisnya dha‘if (lemah).
2) Sebaiknya tidak berkurban untuk orang meninggal kecuali jika diwasiatkannya, sebagaimana tidak berkurban untuk orang lain kecuali dengan izinnya.
3) Lebih utama bersedekah untuk orang meninggal daripada berkurban. Adapun jika tetap berkurban, maka tidak memakan sama sekali dari semblihannya.
[1] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, iv/84.
[2] Al-Tirmidzi, al-‘Ilal al-Tirmidzi al-Kabir, 88.
[3] Ahmad, Musnad, i/107; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, iii/50; Al-Hakim,al-Mustadrak, v/255; Abu Ya‘la, Musnad, i/355; Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, iv/288.
[4] Ibn Hibban, Tsiqat (Haydar Abad: Da’irat al-Ma‘arif al-‘Utsmaniyah, 1975), ix/108; Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal tahqiq: Basysyar ‘Awwad Ma‘ruf (Beirut: Mu’assah al-Risalah, 1980), 26/71; Ibn Hajar, Taqrib al-Tahdzib, tahqiq: ‘Abd al-Qadir ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), ii/110.
[5] Al-Tirmidzi, al-‘Ilal al-Kabir dengan penyusunan sesuai tema-tema fiqih oleh Abu Thalib al-Qadhi (Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.t.), 88.
[6] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, xxxiii/248; Ibn Hajar, Taqrib al-Tahdzib, ii/384.
[7] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, vii/119.
[8] Ibn Hajar, Taqrib al-Tahdzib, i/249.
[9] Al-Dzahabi, Talkhish bersamaan dengan karya al-Hakim, al-Mustadrak,v/255.
[10] Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, iv/288.
[11] Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, iv/84.
[12] AL-Suyuthi, al-Fatawa al-Fiqhiyah dalam al-Hawi al-Fatawa tahqiq: ‘Abd al-Latif Hasan ‘Abd al-Rahman (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000), i/238.
[13] Al-Nawawi, Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab, viii/407.
[14] Al-Nawawi, al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.), 142.