Kabar Terbaru

Golongan yang Mendustakan Agama

“Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Mereka itulah yang menghardik anak yatim, dan mereka tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Maa’uun [Barang-barang yang Berguna] 107 : 1-3)

Tidak salah kiranya, apabila Al-Qur’an memberikan perhatian lebih kepada kedua golongan manusia di atas, anak yatim dan orang miskin.

Sebab, mereka inilah segelintir golongan yang tidak jarang dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang yang tipis rasa kemanusiaannya. Merekalah yang begitu merasakan pahit-getirnya kehidupan demi sesuap nasi untuk keberlangsungan hidup mereka.

Mereka bersama dengan golongan kaum mennegah ke bawah lainnya acap kali disebut dengan kaum marjinal, yaitu mereka yang termarjinal (terpinggirkan) dari kehidupan masyarakat. Kedua golongan (anak yatim dan orang miskin), Rasulullah Muhammad SAW adalah sosok yang sangat dekat dengan mereka. Ibaratnya, kedekatan Beliau antara kedua ibu jari, jari tengah dan telunjuk. Bahkan, Beliau tidak sungkan untuk berjalan dengan mereka dalam suatu kesempatan.

Penyebutan ‘anak yatim’, ialah bagi mereka yang belum mencapai usia baligh yang dikatakan sebagai anak yatim. Sedangkan mereka yang sudah baligh ataupun dewasa, tidak dapat dikatakan yatim lagi. Kata ‘yatim’ bentuk jamaknya ‘yatama’, yang berarti anak-anak yatim, yaitu anak-anak di bawah umur (belum baligh) yang kehilangan ayah yang bertanggung jawab dalam perbelanjaan dan pendidikannya.

Dalam Al-Qur’an, mengenai anak yatim di antaranya terdapat dalam QS. Al-Baqarah [Sapi Betina] 2 : 83, 177, 215, 220 ; QS. An-Nisaa [Wanita] 4 : 2, 3, 6, 8, 10, 36, 127 ; QS. Al-Anfaal [Rampasan Perang] 8 : 41 ; QS. Al-Hasyr [Pengusiran] 59 : 7 ; QS. Al-Maa’uun [Barang-Barang yang Berguna] 107 : 2.

Sementara itu, kata ‘miskin’ memiliki bentuk jamak ‘masakin’ yang artinya orang-orang miskin. Sedangkan kata ‘miskin’ sendiri bisa berarti diam atau orang yang patut dikasihani. Dalam penggunaannya, makna kedua lebih sering dipakai.

Mengenai orang-orang miskin terdapat di antaranya dalam QS. Al-Baqarah [Sapi Betina] 2 : 83, 177, 215 ; QS. An-Nisaa [Wanita] 4 : 36, QS.Al-Maaidah [Hidangan] 5 : 95, QS. Al-Maa’uun [Barang-Barang yang Berguna] 107 : 3. Pada hakikatnya, antara miskin dan faqir/fakir tidak ada bedanya, yaitu sama-sama membutuhkan bantuan orang lain untuk kelangsungan hidup.

Hanya, jika fakir ialah orang yang tidak memiliki mata pencaharian yang layak untuk dapat mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya, sedangkan miskin kondisinya “satu tingkat di bawah” fakir. Miskin tidak memiliki sumber pencaharian sama sekali, sehingga (maaf) terkadang mereka tidak segan untuk meminta-minta atau mengemis kepada orang lain.

Karena itu, kedua istilah tersebut sering digabung menjadi fakir-miskin, padahal, seharusnya dipisahkan antara keduanya. Sehingga, orang fakir belum tentu miskin, namun orang miskin pasti fakir, bahkan lebih dari itu. Dalam Al-Qur’an sendiri, antara istilah ‘miskin/masakin’ dipisahkan dengan huruf ‘athaf (penghubung antara dua kata/kalimat), ‘wa’ yang artinya ‘dan’.

Oleh karena itu, apabila kita termasuk dalam kategori masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi lebih, hendaklah kita berlaku ma’ruf (baik, santun) kepada anak yatim dan orang miskin. Sebab, keduanya jika dalam keadaan dianiaya/teraniaya, maka do’a mereka mampu “menggoyangkan” arsy, dengan kata lain do’a mereka langsung dikabulkan.

Pernah ada kisah, ada dua orang anak sedang berselisih hingga salah satunya menangis. Anak yang menangis kemudian mengadu kepada ibunya yang saat itu tengah hamil muda. Tanpa basa-basi, si ibu langsung melabrak anak yang satunya (yang ternyata seorang yatim), padahal si ibu tidak mengetahui persoalan sebenarnya.

Anak yatim itu dijewer telinganya oleh si ibu dengan sangat keras, sehingga menyebabkan telinga si yatim berdarah. Waktu berlalu, dan si ibu telah melahirkan. Namun, ada keanehan yang terjadi pada diri sang jabang bayi, yaitu ia tidak memiliki telinga sebelah kiri, persis dengan telinga yang dulu dijewer oleh si ibu. Astaghfirullah. Semoga kita terhindar dari peristiwa demikian dan dapat mengambil i’tibar (pelajaran) darinya.

Wallahu a’lam bish-shawab.
■ Penulis : Muchammad Febriyanto

Download Versi Buletin dan Buletin Jumat Lainnya di sini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *